Minggu, 11 Desember 2016

Catatan Sedih

Aku mau menulis, tapi apalagi?
Bagaimana lagi kesedihan ini kubagi?

-----

Sembari mendengarkan sebuah rekaman lagu yang bercerita tentang pengantar tidur, aku mengingatmu. Aku mulai menyesali berlalunya tiga tahun tanpa pernah sungguh-sungguh mengenalmu, bersamamu. Aku rasa karena setiap orang dan setiap hubungan punya masanya sendiri, dan kau ada di penghujung. Aku ingat percakapan kita suatu malam, tentang Awal dan Akhir. Kau bilang hiduplah diantaranya. Lalu, bagaimana mungkin jika kau saja hadir pada Akhirnya?

-----

Beberapa waktu ini berat untuk kita. Kita adalah segelintir yang tersisa dari pejuang lain yang dipaksa kehidupan untuk berhenti berjuang di tengah-tengah. Ditempa kehilangan banyak hal dan rasa lelah, kau menyelesaikan masamu. Aku masih punya satu tahun genap untuk kuhadapi. Kau pernah bertanya, bagaimana jadinya kita tanpa semua ini. "Apa maksudmu? Siapa maksudmu?" kataku kala itu. 

Sesuatu yang menjadikan kita ada, sesuatu yang membentuk kita, yang membuat kita jatuh cinta sedalam ini. 

-----

Aku hanya begitu sedih mengetahui kau harus pelan-pelan mulai berhenti. Cresscendo. Lalu tinggal aku yang tidak terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Kau menyebalkan, tapi akan sangat-sangat-sangat kurindukan. Terima kasih atas malamnya! Aku.. tidak menyesali apapun.

-----

Tulisan yang buruk.

Kamis, 17 November 2016

Selipan Kotor

Beberapa hari ini ingin menulis, bukan hanya karena menstruasi dan hormon, lebih tepatnya karena banyak hal berseliweran di kepala. Seorang teman membagikan catatan yang ia buat sendiri untuk teman-temannya belajar materi UTS. Menurutku, itu yang namanya heroik. Ketika kita melakukan yang terbaik dan memberi seluas-luasnya, tanpa pernah berfikir tersusul atau diungguli. Jadi teringat kata orang tua, "Ilmu itu seperti lilin. Ketika kau menyalakan sumbu lilin lain, kau tidak perlu takut cahayamu redup." Padahal di kelas ia bukan gadis yang cemerlang, tapi hatinya baik luar biasa.

Susah sekali rasanya hidup tanpa uang, ya? Jangankan kebutuhan sekunder, kebutuhan primer saja kadang masih kurang. Aku tidak mau jadi hamba uang, tapi bagaimana ya? Ambisiku untuk kompetisi tahun depan sangat besar, menggebu-gebu setiap hari seperti dentum. Aku bisa saja menangis karena menyanyikan lagu tertentu bersama seorang dua orang teman. Ada bucket list yang sebentar lagi akan dicoret. Dikelilingi oleh orang-orang dengan bakat dan suara merdu, dan berita kemarin itu: bulan Oktober tahun depan, kita akan lomba ke Belgia.

Menemani seorang teman mengunjungi dokter, lalu pulang dan makan di warteg sehabis mengeluarkan uang sebesar tiga ratus lima puluh tujuh ribu rupiah. Membantu teman mengajar paduan suara SMA, dan menyanyikan bagian Sopran dalam O Nata Lux yang tinggi. Lalu seorang diantaranya menyapaku lewat pesan di ponsel, "Kak, boleh foto dan profil kakak kami muat dalam buku program konser kami?"

Melihat dan menyaksikan segala kekacauan 4 November 2016, menjadi sangat takut karena keturunan Tionghua. Massa yang berseliweran, bukan hanya pada laman media sosial, tapi di depan muka sendiri. Mereka memakai peci hitam dan baju putih panjang, serta membawa bendera entah apa. Dari jauh terlihat sangat suci. Setelah mencaci maki pak gubernur, mereka teriakkan "Allahu Akbar!"

Bertemu dengan kawan lama dari sang ibu pada suatu jamuan pesta. Menyadari bahwa ibuku tidak suka berbasa-basi dengan orang-orang kaya. Bisa kutebak, sih. Dalam pikiran mereka pasti bukanlah apa yang terucap. Waktu itu lucu, ya. Bukan hanya mendewasakan tetapi juga mengkerdilkan pikiran. Setelah lama tidak berjumpa, meninggalkan luka atas kemunafikan masing-masing, berani-beraninya bertanya, "Apa kabar?" Sungguh, sangat, menggelikan. Pilihan yang tepat, Mom.

Melayani seorang kawan baik meredakan insekuritas diri dan pikiran negatif tentang suatu penyakit kelamin. Menemani seorang sahabat yang sedang mempertanyakan agama dan konsep ketuhanan untuk mendoakan nenek yang ia kasihi. Serta mengambil waktu dari jam-jam terlelah dan kesendirian untuk meladeni celoteh teman yang introvert. Karena ia telah keluar dari zona nyamannya.

Suatu pagi bangun dari tidur dan menghirup aroma masakan, mendengar bunyi kuali dan oseng-oseng, serta mendapatkan buah pir sebagai hidangan penutup. Makan makanan yang sama setiap kali pulang ke rumah, semata karena ayah ibuku tahu aku suka sekali. Dibelikan banyak suplemen kesehatan, dijejali makanan dan susu, karena kesehatan adalah yang utama katanya.

Mengecat rambut, mendapatkan hibah baju-baju yang membuatku merasa cantik, serta mulai ahli dalam membuat alis dalam waktu 2 menit. Melihat adanya tanggal kadaluarsa pada powder perona pipi, dan memadatkan serpihan yang lepas dengan dua jari. Setiap hari berusaha bangun lebih pagi, agar punya waktu merias diri dan berlama-lama melihat cermin, ternyata tidak sejelek yang aku kira.

Menghabiskan waktu seharian di pusat perbelanjaan dengan seorang sahabat: menikmati semangkuk udon panas dan bakpao isi telor asin. Merencanakan hal baru untuk dilakukan dalam waktu dekat, dan berbincang tentang tugas akhir dan kehidupan sashimi girl di Jakarta. Lalu menertawakan pandangan beberapa oknum yang menganggap LGBT adalah virus menular. Sadar dan bersyukur kami tumbuh di lingkungan yang membuat otak lebih cerdik, bukan semakin dungu.

Mengetahui bahwa lingua franca berarti bahasa pergaulan, dan bahwa Bob Sadino telah menginspirasi banyak pihak termasuk orang-orang mancanegara. Biar aku saja yang mengambil peran sebagai pihak yang tidak mengathui siapa dia dan apa karyanya.

Menemukan banyak keindahan di diri setiap orang, aroma berbeda yang tubuh seseorang keluarkan, pandangan dan pola pikir... bagaimana mungkin aku tidak menuliskan ini semua?!


Selasa, 25 Oktober 2016

What Makes Me Happy #12

The art of holding hands.

I always fond of the idea of unity when people hold their hands together.
They would breath the same anxiety of their uncomfortable partner, while
excitement would play around, makes them groggy and nervous.
Yesterday, I held his hand. This guy, whom I tried so hard to love, but can't.
We were sitting next to each other. It was raining outside as we sat on a bus on our way home.
Strange. I don't feel homesick at all. It feels like the touch of our hands onto each other,
makes right everything that is not. He took my left hand, held it tight, filling the spaces..
We were listening to the same song beat. We sang along as our fingers entwined.
He uplifted it in the air when he tried to dance, and took it back close to his heart.
We talked in low voices, as he teased me and came back holding my hands tighter.
We were so close, his scent stained on my shirt, inside my palm, on my mind.
This is nice, right? Holding hands, unrequited love. I don't know which side.
I looked out the window and traced the raindrops. My vision blurred,
I saw only the reflection of us. I rubbed my thumb unto his,
softly reminded myself: When the road ends, we will too.

Jumat, 14 Oktober 2016

What Makes You Happy #11

Hatiku sedang berbahagia. Beberapa hari terakhir, aku begitu meresahkan tugas sponsorship. Intinya begitu, lah. Aku tidak suka dibebani secara finansial untuk sesuatu yang belum pasti. Mengingat ini akan mempengaruhi nilai akhir salah satu mata kuliahku semester ini, aku rasanya hendak menangis. Hari ini tiba-tiba seseorang menelpon. "Saya Nicholas, dari EF," katanya. Aku tidak biasanya mengangkat telfon dari orang yang tidak kuketahui. Aku juga jarang hanya duduk diam memperhatikan awan di siang bolong libur harianku. Tapi hari ini lain. Ah, iya. Lalu ia bilang tertarik untuk menjadi sponsor. Kami janjian bertemu di kampus (aku tidak perlu berkunjung ke perusahaan dan merogoh kocek uang saku!), sekaligus menandatangani MoU (langsung!). Aku tidak biasanya membahas hal sereceh ini, karena tidak bisa jadi cantik entah sepandai apa aku menulis. Tapi aku sungguh bahagia. Aku jadi teringat malam-malam resah ketika aku bicara sendiri: ya Tuhan, luputkanlah semester tujuh daripadaku. Seperti seseorang pernah berkata, "Jika kau menghargai ilmu, ilmu akan kembali menghargaimu.", begitu juga adanya dengan segala sesuatu.

Kepada Putri, aku juga takut hantu. Sering sekali kala malam aku membayangkan hantu wanita tersenyum sambil melotot, anak kecil dengan pupil mata hitam yang berdiri menoel-noel ujung jari kaki, atau.. kebanyakan wujud anak-anak yang berdarah atau tubuh abnormal lain. Aku selalu takut dengan hantu anak-anak. Mungkin karena mereka tidak tahu konsep kehidupan, tidak tahu kemana harus pergi setelah dijemput kematian, karena mereka tidak tahu mereka terbentuk dari rasa percaya, yang tiba-tiba menjadikan mereka ada dari partikel energi di udara. Ah, aku bisa membicarakan teoriku begitu panjang. Intinya malam itu aku terkejut-kejut mendengar ketukan di pintu, yang ternyata hanyalah teman satu kost yang memberikan obat tetes mata. Baik sekali, bukan? Wujud hantu-hantu itu hanya ada di kepala, atau tentu saja di pojok kamar mandi jorok yang membuatmu klaustrofobik. Jika di malam lain kau juga tidak bisa tidur untuk alasan yang sama, selalu ingat pukul tiga lebih satu, mereka sudah berhenti berlalu-lalang. Lalu kita bisa tidur setelah itu.

Aku juga menghabiskan beberapa malam mengunjungi kafe sepi bersama lingkaran kecilku. Itu lagi, itu lagi. Memesan menu yang sama, topik yang berbeda. Aku selalu suka musim hujan, seiring aroma tanah basah yang masuk dari celah jendela kamar yang tidak pernah aku tutup. Dan rasanya waktu-waktu ini adalah yang paling tepat untuk pergi dari sibuk dan rasa sepi. Entah karena suatu pekerjaan berat telah terselesaikan, atau konsep penghargaan bentuk tubuh yang semakin hari semakin kupahami, rasanya ringan sekali mengetik sore ini. 



Akhirnya aku berhasil menjadikan Spotifyku premium selama-lamanya! Dan benar-benar membuat playlist personal yang sudah sejak lama aku pikirkan. Road Trip at Night. Untuk kalangan sendiri. Terima kasih, Oktober. Hujanmu sungguh-sungguh menjadikanku lebih hidup.

Senin, 12 September 2016

What Makes You Happy #10

Kurang dari seminggu lagi liburan selesai. Rasanya berat sekali harus berpura-pura menyukai semua orang, mencari teman baru di lingkungan belajar ras-ras yang kompetitif, serta berusaha mengambil hati dosen yang seringkali kupikir kinerjanya tidak sesuai dengan gelar yang mereka sandang. Tidak terasa aku memasuki tahun terakhirku! Wow. Sebentar lagi aku resmi jadi pengangguran. Aku tidak pernah menyukai perintah dari orang yang tidak kompeten (dimana kita tahu sekarang sedikit sekali mereka yang cerdas dan bijaksana, dunia dimenangkan oleh orang kaya dan anak-anak mereka), juga tidak puas mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan suasana hati dan kesukaanku. Ini juga yang beberapa lama aku pikirkan dengan matang: sulit sekali jika aku harus hidup mengikuti norma (sekolah, kuliah, lulus, kerja, menikah) hanya untuk menyenangkan hati masyarakat, dan betapa lelahnya segala kepura-puraan ini. Harus sampai kapan? Ah, aku harus segera merencanakan liburan.

Aku setuju dengan kemampuan menulis yang terkikis setelah lebih dari 3 minggu. Bahkan buatku, jangankan tiga. Satu minggu tanpa aksara sudah merupakan tindak pembodohan diri, kau tahu? Biasa aku mensiasatinya dengan bicara sendiri. Orang tuaku pikir aku gila--terutama ketika aku kedapatan, dan malu sekali rasanya! Tapi sering kali, kurasa aku butuh berceloteh dengan diriku ketika itu menyangkut hal-hal yang luar biasa membebani, seperti salah satu postingan dari akun pembela satwa liar di Instagram yang baru-baru ini kuikuti, pernikahan dini yang kuhadiri, atau pola hidup vegan temanku yang mengejutkan. Aku berterimakasih atas self independence ku yang melonjak begitu tinggi, sungguh. Aku merasa lebih kuat menjadi diri sendiri.

Entah sejak kapan, aku semakin jauh dengan si "sumber inspirasi". Kami tidak saling benci, juga tidak bermasalah. Aku hanya.. pada akhirnya mendapati diriku tidak lagi bebas ketika bersamanya, juga terkungkung dengan ketakutan membuatnya bosan. Alhasil kami tidak lagi bicara. Kami saling menyapa dan berteguran, kami juga menanggapi satu sama lain jika salah satu mengajukan pertanyaan, atau pernyataan.. Hanya saja kami tidak lagi punya keinginan untuk memulai dan peduli. Mungkin ini yang mereka katakan, 'setiap hubungan punya tanggal kadaluarsa,' dan aku rasa.. aku tidak apa-apa jika ia tak ada. Ia bukan lagi satu-satunya sumber inspirasi yang aku punya.

Aku bertanya-tanya, kemana bagian diriku yang cengeng dan manja itu? Hal ini seharusnya meresahkanku, tetapi tidak. Aku juga seharusnya hancur setengah mati. Tetapi tidak. Aku berasumsi bahwa kini aku sudah lebih dewasa dalam menyikapi kesendirian.

Oh iya, kau ingat postingan terakhirku? Aku dan temanku kini menjadikan pertengkaran kami lelucon bodoh yang hanya kami yang paham. Kau tahu maksutku, bukan? Syukurlah.

Sabtu, 03 September 2016

What Makes You Happy #9

Begitu banyak hal terjadi tanpa jeda waktu aku untuk mensyukurinya.
Aku ingat sekali minggu lalu: ketika aku berterima kasih dalam doa syukur mingguanku,
bahwa saat ini aku sedang tidak bergantung pada siapapun, bahwa aku dikelilingi teman-teman yang kusukai, juga hobi dan cita-cita jangka panjang yang kuusahakan. Kondisi keuanganku tidak baik memang, tapi juga tidak buruk. Aku punya kesibukan yang menyenangkan, dan ditempatkan dalam komunitas yang membuatku berkembang.
Lalu aku ingin sekali segalanya seperti ini saja. Sungguh, semua sudah cukup.

Sampai akhirnya untuk suatu hal yang begitu sepele dan tidak terduga, aku bermasalah dengan salah satu kawan baik. Awalnya kurasa aku hanya akan mengacuhkan sampai semua reda dengan sendirinya, tapi aku begitu tertekan dengan pikiran dan respon negatif yang hanya ada di pikiranku saja. Aku tahu aku harus selesaikan apa yang dapat kutangani. Maka aku mengajak dia bicara. Baru saja.

Aku belum tahu apa jawaban dan pandangannya tentang permintaan maafku. Belum tahu apakah keadaan akan kembali seperti semula, apakah kita akan menertawakan kejadian ini di kemudian hari sebagai teman baik, atau malah hanya akan semakin parah..

Tapi aku sudah menelan egoku sendiri dan berkawan dengan perasaan mengalah yang jarang sekali aku lakukan. Oleh karenanya, apa yang membuatku senang adalah bahwa aku tahu, kedewasaanku tumbuh dari bagaimana aku mengutamakan teman-teman, ketimbang diriku sendiri. Aku sudah mengalah demi terjaganya suatu pertemanan.

Toh, aku sudah lupa mengapa aku bisa begitu marah pada awalnya. Sekarang yang kurasa hanyalah bahwa aku rindu.

Jumat, 05 Agustus 2016

What Makes You Happy #8

Have you ever looked at something amazing and wonder how would you feel if that was you? I have. The first time I watched a classical choir concert, I was so.. mesmerized by the way they sing. I am so content, so captivated. And then I told myself, one day you're gonna grow up doing things like that.

It's day minus one before my concert today. I'm going to sing solo the last song on the end of the first round. Last night I skipped practice session due to sore throat and I found a stain of blood when I coughed. I think my throat hurts so bad and I need to keep myself hydrated all the time. I know it sounded serious and all, but no. Tonight on practice, they replaced me with another good singer, a friend of mine, a senior. I know it's a very tense situation and show must go on.. But hold it right there. That's my spot. That's my dream. I'm so done with the idea of probably this isn't for me. I'm meant to do this. I will do it. I have prayed dearly for it all my life. I have asked the universe to let me have this moment..

So this is it. I'm doing my solo.

Rabu, 27 Juli 2016

What Makes You Happy #7

Put, aku numpang nulis duluan, ya!

Akhir-akhir ini aku sibuk sekali. Tapi untunglah, aku disibukkan dengan hal yang kucintai. Aku baru sadar betapa minimnya jumlah keluhanku dibanding dengan tawa receh selepas jadwal latihan yang padat atau kebahagiaan mencicipi makanan baru. Aku bertemu banyak orang baru yang menyenangkan selepas pekerjaan yang jadi ajang tambah-tambah uang jajan: lewat lagu dan musik. Aku bertemu musisi hebat dan menjadi teman mereka. Banyak bicara soal rahasia awet muda dengan gitaris bernama Andri, aku baru tahu ia sudah menikah dan usianya 31, for God's sake, ia tampak seperti 23 tahun! Aku juga berteman dengan Daniela, seorang expat Spanyol yang meminta bantuanku untuk melakukan transkrip data. Aku pikir akan selesai sampai 8 rekaman kemarin, hingga akhirnya Daniela menghubungiku lagi untuk mengerjakan 3 rekaman terakhirnya. Aku butuh uang, jujur saja. Jadi kukatakan iya. Semesta selalu saja punya saja untuk memenuhi kebutuhan materialmu, jika kau bersungguh-sungguh melakukannya sepenuh hati. Don't you think?

Akhir-akhir ini, aku bisa menghasilkan banyak uang dari apa yang aku cintai, aku sungguh bersyukur atas hal itu.

Aku juga semakin menghargai persahabatanku dengan teman-teman terdekat, bahwa mereka akan sakit hati jika kutinggal demi pacar, atau kubatalkan begitu saja rencananya menjelang hari H. Aku tahu bahwa aku harus mengucapkan terima kasih jika aku dibantu, atau maaf jika aku salah. Hal-hal kecil yang sering aku lupakan jika aku berhadapan dengan sahabat sendiri--tentu saja karena kupikir mereka akan mengerti. Aku tetap wanita yang sulit dan menyebalkan. Tapi aku berusaha untuk menjaga semuanya seimbang.. kuharap begitu.

Kemarin malam, seseorang memberikanku kertas kecil, isinya Small Talks (The Real Group). Aku terima tanpa tahu untuk apa, kemudian aku dengarkan. Sekumpulan suara-suara surga, aku senang mendengarnya! Dalam waktu singkat lagunya mengalun-alun terus dipikiranku. Aku rasa kau juga mungkin suka.

Sebentar lagi aku konser. Aku takut sekali. Ada bagian solist di akhir babak satu dimana aku harus menyanyikannya. Aku tidak percaya kenapa begitu banyak keberuntungan di hidupku yang jahat. Aku jadi takut. Jangan sampai karma burukku tumpah ruah di hari dimana seharusnya aku paling bahagia.


Life's been so good lately. Life's been so busy, but good. 

So good. Thank You, God.

Rabu, 20 Juli 2016

What Makes You Happy #6

Sudah begitu lama tidak bicara, tidak ada aksara.
Aku sibuk, aku lupa hidup, terkutuk.

Lama sekali rasanya posting sebanyak 15 kali ini selesai.
Sampai-sampai aku lupa apa saja yang membahagiakan belakangan ini.
Tapi.. mari kujabarkan satu persatu dalam spasi.


Bulan malam ini pukul tujuh lebih sekian.
Wirvan Liegestu, sarjana kemarin sore.
Reffrain lagu Mandarin yang kunyanyikan dengan baik.
Bunga rampai.
Latihan rutin hari Kamis.
Sahabat seperti Fadjri.
Lembar-lembar musik Daniel Elder.
Udara malam ketika kipas anginku rusak.
Rinaldy Zulkarnain.
Expo.
Paduan Suara.
7 dan 14 Agustus, sebentar lagi!
Pembicaraan yang menarik dengan Tunggul.
Ibu kost kembali dari kampung.
Masa akhir gym.
Penantian akan hari wisuda Tevinstein Amos.
Makan buffet gratis bersama Anggia Moelini.
Selesainya laporan magang.
Kompetisi foto Indomaret.
Drama pertengkaran wanita kampung di depan kost.
Nomor-nomor halaman
yang dikerjakan Andreas Michael.
Mengukur baju pernikahan.
Nyamuk yang mati kupukul satu jari.
Tulisan Putri.


Ada banyak, Put. Aku lupa. Tapi hal-hal diatas, membuatku bahagia luar biasa.

Kamis, 30 Juni 2016

What Makes You Happy #5

Dear, Me in the alternate universe.
I'm sorry for your inability to wake up today.
Or that you would not know how it feels like to have your mom and dad prepare your foods when you wake up, waited for you to finish your chores,
just so they can eat together with you.
You would not know how it feels to tell them things, and the joy of seeing them so alive, the joy of knowing that they're here.
It feels like a grand festivity, deep down here, you know?
Of course, of course you don't.
You probably wouldn't bump into some hobbies, or passions, or things you'd be willing to do,
even if you're not paid. Not being able to have somebody admire your works, always been the one who admires others'. You probably are sticking to the monotonous life of yours. Safe, but not an enjoyable ride either.
You probably wouldn't know how it's like to have a group of friends who loved you, whom you also loved. Would not witness the teary moment of helping one of them when they were having the worst financial issue. You wouldn't have anybody told you, 'you are so lucky to have them.'
You were probably so rich, yet you were not loved.
You would probably circled by lots of people, but afterall you were alone.
I am thankful that I am not you.

Kamis, 09 Juni 2016

What Makes You Happy #4

Kepada Putri.


Aku juga hendak menuliskan hal yang sama, kau tahu, tentang pertemuan kita.
Apa kabar? Kamu kurus sekali sekarang, pun begitu cantik ketika aku melihatmu kala itu.
Apa yang kau kerjakan? Apakah kau bahagia?
Apa kau menikmati waktu-waktu yang kau habiskan bersama orang lain?
Aku harap demikian.

Kemarin itu aku sedang rapat mempersiapkan konserku ke Semarang.
Aku begitu menikmati segala kepusinganku minggu-minggu ini.
Setelah melalui hari-hari magang yang jauh lebih menyulitkan, aku merasa ini jadi tidak ada apa-apanya. Dan aku menikmati diriku yang produktif, setidaknya aku menghasilkan sesuatu.
Jam tidurku mulai kacau dan excitement terhadap sesuatu yang entah apa keeps me awake at night.
Aku harap aku bisa lebih kurus, dan lebih sehat tentu saja. Supaya aku bisa lebih melihat diriku sebagai ciptaan yang juga cantik.


Putri.
Aku senang di usia muda kau menemukan dirimu dalam tulis-menulis dan kata-kata.
Saat pertama kali aku mulai menulis, atau membaca novel dewasa di usia yang tidak seharusnya,
aku pikir hanya aku yang bisa jatuh cinta dengan tulisan liar dan mengekspresikan diri lewatnya.
Jadi ketika aku membuat blog ini--yang kini kutinggalkan karena aku aktif
menulis di Steller--aku tidak yakin akan ada yang membaca selain diriku.

Ketika akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi surat menyurat dengan lelakiku itu (yang tentu saja sifatnya satu arah. Lucunya, aku harap ketika aku mati ia akan membacanya meski terlambat),
you told me not to stop.

Terima kasih, ya, Put!
Karena tulisanmu yang inspiratif, yang cerdas, yang tidak main-main.
karena ajakanmu yang menguatkanku untuk menulis hal-hal baik ini,
terutama atas waktumu, yang kau habiskan untuk mebaca cerita-ceritaku yang sederhana.

Sungguh, aku bahagia sekali punya pembaca setia.
Meski hanya kamu, satu!



Terus berbahagia, oke?

Minggu, 05 Juni 2016

What Makes You Happy #3

Aku bukan penggemar agama, dan topik tentang itu selalu berbau sensitif untukku. Aku senang memiliki Tuhan, tetapi jujur saja aku tidak pandai dalam beragama. Semakin dewasa aku semakin menyadari bahwa agama adalah institusi buatan manusia yang bisa saja salah. Ungkapan seperti "jangan suka merasa agamamu yang paling benar," adalah ungkapan yang utopis untukku. Tentu saja aku, kamu, mereka, kita semua, merasa bahwa agama kitalah yang paling benar. Bukan berarti yang lain salah, tetapi milik kita yang terbenar, bukan? Jika tidak demikian, untuk apa kita hanya memeluk satu agama tertentu? Kenapa tidak semuanya, atau malah tidak usah sama sekali? Agama ada hanya untuk memberi reward atas hal baik yang kita lakukan, dan hukuman atas perbuatan jahat yang orang lain lakukan terhadap kita. Manusia takut hal yang mereka lakukan berbuah sia-sia, takut kebahagiaan yang sama diterima oleh orang yang kita rasa lebih hina dari kita sendiri. Sementara kita lupa bahwa Tuhan adalah Tuhan yang sama yang mengasihi semua orang sama rata..  Betapa aku merasa konsep keagamaan ini seringkali dibuat jadi begitu munafik oleh sebagian orang (yang katanya taat beragama): bahwa menjalankan perintah agama hanyalah ekspresi rasa takut mendapat dosa dan berlomba-lomba mencari pahala. Ah, tapi ini hanya luapan pikiranku yang liar saja, begini-begini aku masih takut dengan tradisi. Sebut saja aku ini seorang yang konservatif.

Kemarin Minggu, aku menghabiskan sepanjang hari bersama Amanda. Kami mengikuti misa di Katedral, datang 1 jam lebih awal. Aku terkesima dengan suara burung gereja yang saut menyaut di bangunan tua yang megah itu. Tradisional sekali kalau aku bilang bahwa suatu hari aku ingin menikah disana. Tapi toh, aku tidak lagi menjadikan pernikahan sebagai sebuah tujuan dan ritmik kebahagiaanku tidak berpusar disekeliling lelaki atau pasangan hidup. Aku bahagia meski aku sendiri saja.

Di depanku duduk satu keluarga, ayah ibu dan tiga anaknya. Anak terkecil dalam keluarga itu sangat tampan, aku yakin ketika beranjak dewasa ia jadi rebutan gadis-gadis seusianya. Tapi tentu saja, ia tetap anak kecil yang berisik dan rewel. Aku ingat, ingin sekali menegur orang tuanya yang diam-diam tidak berbuat apa-apa untuk menenangkan anaknya yang lasak, tetapi lupa bahwa harus sabar dan toleransi. Intinya aku menelan egoku mentah-mentah. Aku juga berdoa dalam intensi pribadi dalam doa umat, agar Tuhan memberikanku hati yang mau belajar bersabar dalam sehari-hari, since I've been so temperamental all my life.

Anak itu tidak kunjung diam dan semakin berisik ketika Perjamuan Kudus yang tenang. Aku sabar.
Kami pergi makan bakwan malang di bilangan Pasar Baru. Ada wanita berhijab tertawa bersama kawannya. Tawanya menyebalkan sekali, sungguh! Aku sabar.
Aku bertemu pengendara motor yang bodoh luar biasa. Aku sabar.
Setidaknya aku tidak mengeluh..


Ternyata begitu. Ketika kita memohon kesabaran, Tuhan tidak serta merta memberikannya. Tetapi Tuhan memberikan serangkaian kejadian untuk kita bersabar, agar kita belajar.

Begitu pula adanya dengan segala sesuatu yang pernah kita minta.




Lesson learned!

Kamis, 02 Juni 2016

What Makes You Happy #2

I once found a writing that said,

"Find what you love, and let it kill you." -- Bukowski.

I thought, things that we love won't get us killed.
I find it masochistic, the emphasizing period of loving something too hard,
that it makes us sick. Something that is too much is not good, agreed.

Today I lost my voice again, it's husky already but it gets even more now.
I sang my heart out 6 hours this day, straight from three to nine.
My heart is filled with beautiful melodies and happy things.
I also enjoyed every goosebumps one song can bring.
But my throat hurts as fuck now. I need to make an extra effort to even just talk normally.
It's okay, though..

I love singing so much, and I will let it kill me anyway.



You were right, Mr. Bukowski. You were right.

Rabu, 01 Juni 2016

What Makes You Happy #1

Selamat malam, aksara. Lama kita tidak bicara, aku rindu.

Aku telah tiba di hari yang kunantikan.

Aku menyelesaikan periode magang 15 hari lebih cepat, dan hari-hari burukku kemarin itu sedang berusaha aku lupakan. Oh, tentu saja bertemu dengan orang-orang yang kau rasa 'salah', adalah berkat terselubung dari pembelajaran hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku rasa, untuk bertemu orang-orang jenis itu atau berada pada satu situasi yang tidak mengenakkan adalah bentuk karma dari siklus sikapku. Semoga semuanya sudah terbayar lunas seiring berakhirnya waktu ini.

Aku selalu sadar bahwa uang adalah salah satu motivas terbesar dan orientasiku dalam mencari bahagia. Beberapa hari terakhir ini, aku menemukan caranya dalam membahagiakan yang jarang sekali aku rasakan sebelumnya. Aku mentraktir keluargaku makan malam. Bahagiaku datang dari senyum sipit mami dan papi yang berkata, "serius, nih? Makasih, ya." yang kususul tawa malu-malu seiring kukatakan, "pesen aja yang banyak, Fany yang bayar."

Hari ini aku kehilangan ponselku. Aku lupa sedang mengisi baterai ponsel saat rapat di ruang kemahasiswaan. Aku main pergi saja setelah rapat. Lalu ponselku hilang, lenyap. Aku kalang kabut seperti gadis kesetanan. Sampai-sampai aku tidak sadar ada 4 orang teman yang membuntutiku naik turun gedung mencari orang untuk disalahkan. Padahal aku jarang bicara dengan mereka, tetapi mereka peduli.. Tentu saja aku nyaris menangis. Aku jadi mengira-ngira sendiri. Orang baik di sekelilingmu itu banyak. Dan sebagian mereka bahkan bukan sahabat karibmu. Dunia ini, relasi ini, hari-hari ini, adalah sungguh sesuatu yang kusyukuri.

Oh iya, ponselku ada di tangan sekuriti, yang akhirnya dikembalikan padaku pukul sepuluh lebih lima.


Dan tentu saja untuk Christya Putri, yang memilihku untuk menjadi teman menulisnya dalam memaknai kehidupan dan mengisi diri penuh-penuh dengan ucapan syukur atas perihal sederhana. Menarik sekali betapa kemampuan tulisan mampu menyentuh hati setiap orang. Begitupun milikku, begitupun milikmu.




Berbahagialah!


Senin, 02 Mei 2016

Dalam Perjalanan ke Kampus


Aku ingin sekali menulis. Ketika di jalan pulang, menyusuri selasar jalan malam di bangku belakang ojek motor sepulang hari yang melelahkan. Bagaimana, ya. Akhir-akhir ini inspirasiku luntur. Banyak sekali hal-hal receh berseliweran di kepala. Sepulangnya ke rumah, aku terlalu lelah untuk bercengkrama dengan diri sendiri, seperti ini. Rasanya aku tidak lagi punya waktu untuk bersosialisasi. Aku melewati hari seiring keindahan dan hal kecil bermakna dengan lelah dan acuh tak acuh. Sampai pada suatu titik aku tahu harus berhenti sesaat, mengisi penuh-penuh tenagaku dengan Inspirasi. Bisa aku katakan waktu-waktu ini adalah masa tersulit di kehidupanku. Entah kapan aku bisa memaknainya sebagai pembelajaran. Bagiku sampai saat ini, rasanya seperti kutukan. Tetapi toh aku tidak bisa lakukan apa pun juga, selain belajar menerima dan yakin bahwa ini tidak selamanya.

----

Aku pergi ke sudut Jakarta yang lebih gelap. Dimana banyak orang berselimutkan asap jalan dan topeng-topeng berwajah masam. Mau tidak mau aku menyudutkan benak pada cengkrama atau tawa meledak anak-anak pinggiran, yang tidak tahu apa-apa tentang merosotnya perekonomian tahun ini, atau uang tabungan untuk membeli mimpi. Berhati-hati aku perhatikan mereka, seolah mereka hilang dalam satu kedipan mata. Aku sedang membawa debar hidupku yang kian malam kian lemah, yang perlu kuisi dengan keindahan sebelum meledak lalu hilang ke alam semesta. Di tengah kota jahat yang tidak perduli siapapun, aku berharap apa? Inspirasiku berceceran dimana-mana, sedikit-sedikit dan saru dengan latar belakang. Aku harus secepatnya tiba sebelum jantungku mati! Satu dua kali setiap minggu, aku bernyanyi untuk hidup. Menghirup dan menghembuskan nada-nada, kadang-kadang dengan hati sedih. Aku menuangkan celoteh dalam bentuk cantik lelaguan, yang bagi sebagian orang dianggap bodoh. Untuk apa, mereka akan berkata. Lebih baik kau pulang dan tidur. Sebagian lainnya tersentuh di ulu hati, lalu semakin menjadi-jadi dalam rupa-rupa berbeda di diri setiap mereka. Pekerjaan hidup ini menguras waktu dan energiku. Sejak awal mula aku sudah tahu akan sangat melelahkan, tetapi bukankah itu harga kehidupan?

Beberapa saat lagi matahari terbenam. Ayo cepat, sebelum malam tiba mari kita minum air kehidupan. Eliksir yang meredam gerogot sakit di tengah-tengah jantung perasaan. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Sebentar lagi sudut ini sedikit lebih terang, meski malam pada akhirnya merebut paksa sisa cahaya satu-satunya yang ia punya. Pelan-pelan kuletakkan sisa hariku pada Inspirasi. Lalu menggumamkan serapah seperti jampi. Dalam balutan jubah doa, tuturku semoga aku tetap hidup sampai semua ini selesai.






Jumat, 29 April 2016

Project Hatred

You're like the sanctuary of my soul.
A place of refuge, place of safety.
A fountain that brings pleasure not only to the body,
but also to the eyes.
Ringing bell that echoes
with serene tone that lets me know



"you will be fine."

Rabu, 20 April 2016

Naked.

There was a time when we were mesmerized of each other. Wondering, how could somebody be as amazing as us. How was life before us? How we thank every universe that we united, that we flared up even brighter, that we blossomed into somebody better.

Us.


I have radiated all my marvels. My senses, truest self, and sparks. I ran out of wonders to give to you now. Well, at least we both know there is no such thing as endless wonder. Amusement dies, love disappears, wonder fades out. We don't talk cause we read minds. We don't ask cause we both already knew. This silence. This subtle. This peaceful state of us.

I have peeled off your skin. That now I can only see your reality. You are not a flesh nor a bone.
You are an impeccable soul that illuminates the door of my heart.


Even in your darkest times.
Still, I think you're as wonderful as I first saw you.

Kamis, 31 Maret 2016

Current Situation

Sedang dipersiapkan oleh semesta
untuk kebahagiaan dan berkat yang lebih besar.
Pada waktu yang tepat!



Bersabarlah, Stefany.

Rabu, 30 Maret 2016

Counting Blessings

Baiklah. Sudah begitu lama rasanya tidak bicara pada diri sendiri. Bukannya aku tidak mau, tapi energiku terkuras habis oleh sesuatu yang bukan mauku. Aku banyak pekerjaan hari ini, tetapi aku paksakan untuk membuat ini karena aku nyaris gila. Jika bukan karena ingat keringat orang tua yang susah payah membiayai kuliahku, aku sudah tidak ada disini. Aku tidak boleh lupa, bahwa aku harus rela menerima ketidaknyamanan yang sementara untuk perbaikan yang permanen. 

Terkadang kita harus tahu bahwa berkat datang dalam berbagai bentuk. Dalam ajakan teman untuk bergaul, dalam sapaan orang tua yang lelah sepulang kerja, 'bagaimana pekerjaanmu hari ini?', dari makanan gratis yang kau dapat dari teman sepekerjaan, atau sesederhana bernyanyi setiap hari Senin dan Selasa. Berkat bukan hanya ada pada tubuh kecil mungil, wajah cantik, dan gelimang harta. Jikapun aku tidak memiliki ketiganya, setidaknya aku masih diriku. Ambil waktu sebentar dan resapi hal ini: aku masih punya diriku. Setidaknya aku pribadi yang selalu paham, bahwa berkat bukan hanya melulu perihal koneksi dan kenalan. Berkat juga datang lewat teman-teman yang ada di saat tersulit, di jam-jam tersibuk, dan dalam cerita tengah malam yang tidak bermutu. Aku menghitung berkatku sebesar itu. Lalu aku merasa jauh lebih baik karena aku paham.

Ada kalanya hari-hari begitu buruk hingga aku sesak napas. Dalam proses ditempa seperti ini, aku belajar bahwa kebencian dapat begitu tidak menyehatkan. Materi bukan teman yang selamanya, bukan yang membuatku mencapai tempat tertinggi dalam Hierarki Kebutuhan Maslow: aktualisasi diri. Dalam proses sulit ini, aku belajar mengenal diriku dan berkaca. Aku juga belajar banyak tentang kehidupan, tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih baik. Juga tentang Tuhan dan agungNya yang seringkali oleh beberapa oknum tanpa sadar, dilecehkan habis-habisan. Begitu banyak perspektif yang bisa berubah dalam periode beberapa bulan. Lalu berkat-berkat eksternal itu terlihat lebih nyata sekarang. Memang benar orang bilang, jika tidak ada langit gelap, kau tidak akan bisa melihat bintang.

Aku tidak bisa menjamin hari esok, tetapi aku yang memiliki hari ini. Aku bisa menjamin rasa sayang yang kurasakan pada orang tuaku, teman-teman, dan Tevinstein Amos hari ini. Aku bisa menjamin rasa syukurku karena mereka ada hari ini.  Aku tidak pernah begitu spiritual dan relijius sebagai individu, tetapi Tuhan, dimanapun Engkau ada, terima kasih sudah mewujudkan diri lewat berkatku hari ini. Aku hanya tau hari ini, tapi aku harap besok juga demikian.




Dua setengah bulan lagi, Stefany. Semangatlah!

Senin, 21 Maret 2016

Kodaline - All I Want



It's not because you are better than anyone else, that I loved you.
It's because I love you, that you've made me a better person.
Loving you transformed me, to loving myself even more.


As I'm typing this, I wonder how life was without ever knowing you.


Thank you so much for existing. 

Kamis, 17 Maret 2016

Entwined.

I read the word somewhere.
I felt something so weird, so weird that it warms my heart.
Entwined. It's like my soul unto yours.
It's like Saturday nights and Sunday evenings
that echo and follow, always.

I saw you yesterday.
I'll meet you tomorrow.
In between, I am entwined
to the promise that I will see you again.

Your big day is getting closer.
I can't wait to witness it with you.
Entwined, deeper, harder,
I don't mind how painful it must be
when one day we have to let go.
I entwined myself in you.

I'm tangled.

Selasa, 15 Maret 2016

Aku (Dia) dan Buku.

Aku mungkin akan memulai opini ini dengan sok tahu.
Aku mungkin akan menuliskannya dalam sajak-sajak tak berima, kosong, receh.
Maka lebih baik aku berubah dulu menjadi gadis itu, si orang ketiga yang serba tahu segalanya.



Anak kecil itu meraba-raba dunia dalam genggaman tangannya. Sesekali jarinya menyentuh ilustrasi buruk rupa yang dibuat seadanya oleh si penulis, sesekali menimbang-nimbang lebih banyak mana: kapas satu truk, atau batu satu karung. Ia menelaah pelan-pelan bacaannya sepulang sekolah, duduk di beranda rumah yang panas. Ia lihat ibunya meracau di belakang dapur, membuat lumpia dan susu kedelai. 
"Pintar, belajar yang benar," ibunya akan berkata, "jadi orang pandai, Nak. Jangan seperti Ibu."
Sementara ia diam, duduk baca buku. Lari dari tanggung jawab bersih-bersih rumah.

Gadis itu berlari bersama kisah-kisah sihir dalam novel terjemahan yang ia pinjam di perpustakaan sekolah. Ia juga menangisi tokoh wanita ketika putus asa ditinggal kekasihnya dalam roman picisan jaman dulu. Di usianya yang masih belasan, belum masuk sekolah menengah pertama, kepada buku ia meletakkan cintanya. Begini. Ia menemukan puisi dan keindahan kata-kata, suatu perjumpaan yang menyenangkan dan membekas. Awalnya mereka bertemu di waktu-waktu kosong dalam lembar koran Minggu milik ayahnya. Lalu sang kata membakar semangatnya lewat buku motivasi dari seorang teman yang sekarang entah dimana. Ia mencari melodi untuk puisi indah Chairil Anwar yang ia temui di buku Bahasa Indonesia, berusaha paham lewat musikalisasi. Kata-kata telah membuatnya hanyut kemana-mana, meski sesekali tidak paham apa maknanya. Terkadang seperti mencintai buku yang rumit, ia mencintai kata-kata sesederhana kata itu ada.

Tidak pernah ia belajar tentang dunia dari ibu bapaknya. Ibunya terlalu lelah untuk mengisahkan dongeng pengantar tidur, dan ayahnya tidak tahu cerita-cerita luar biasa dari penjuru dunia. Sejak kecil gadis itu tumbuh bersama buku. Memahami kemampuan tulisan dan kata-kata dalam mengobrak-abrik alam emosinya. Tidak hanya ia tahu dunia, tetapi juga konspirasi alam semesta dan antariksa. Tidak hanya tertawa karena catatan dan jurnal harian seorang komikus yang naik daun, tetapi juga meratapi nasib cinta tak sampai seorang ODHA yang divonis meninggal karena komplikasi. Baginya membaca buku seperti menelanjangi pikiran seseorang, mencampuri urusan orang lain seakan-akan ia orang penting. Seringkali ia bingung mana yang harus ia percaya, karena setiap tokoh yang ia jumpai dalam buku seperti punya persepsi berbeda tentang.. hal-hal kecil tak terlihat: nilai, keyakinan, atau cinta.

Beranjak dewasa bersama buku membawanya pada dunia yang belum pernah disentuh oleh indranya. Buku membawanya lari dari sudut Jakarta yang berdebu, dari hubungan yang kandas di tengah jalan, dari kemiskinan dan kelumpuhan sosial. Meski dari semua yang pernah ia baca, gadis itu tidak pernah beli satu pun buku. Kecuali satu: buku tulis bergaris. Betapa istimewanya apa yang kemiskinan bawa pada jiwa gadis kecil itu hingga dewasanya! Rasa haus akan ilmu, dan usaha yang tidak putus-putusnya mencari, meminjam kesana kesini. Rasanya seperti bukan ia yang mengusahakan buku, tetapi buku yang berusaha mencarinya. Mendekapnya selalu ketika ia pulang, membuainya dengan keindahan yang bukan milik realita.

Ia jadi bertanya-tanya, apakah ini "aku dan buku" ataukah "aku dan ibuku"?



Tulisan ini dilombakan. Semoga jikapun tidak menang, setidaknya menginspirasi.

Selasa, 01 Maret 2016

Internship 2.0

I should keep myself inspired.
These days, I feel like I lost myself somewhere.
I tried to look back my tracks and pick up my pieces:
passions, things I love to do, my confident, lots of things.
See, I have this one crack someplace, I am not a whole now..
My insides are overflowing, poured out.
I wonder how I could feel so heavy and burdened
when my innards were detached, piece by piece, day by day.
This is the exact time I feel like,
Writings get ugly, songs are not pretty.
Anymore.
Not anymore.
This is the exact time I feel like,
I'm living, but I'm not alive..

Minggu, 21 Februari 2016

Internship

When I told him all this, regretting and cursing all this,

All I know is that I spilled out my bitterness till I am zero,
and he was sitting still, quiet as I spoke.
Then I am overwhelmed by his presence and eye sights.


For I need nothing but he sat there listening to me.

Sabtu, 13 Februari 2016

Not true.

What if after all this time, I misinterpreted you:
I do not have feelings for you the way I confessed.
I managed to make myself believe that I was in love, while in fact I was just lonely.
And you're the only better person around.
I was scared of having no one to fight for,
therefore I chose you to be the person I 'love'.
I try to speculate an act and believe what I wanted to believe.
It's some kind of pity--what I did, of making myself so sure that I was in love.
What if I don't love you at all, what if all this,
was just a massive manipulation I created to myself
so that I wouldn't feel so lost. So when people speak of love,
I would also understand. While in fact I don't have any!
I just happened to pretend that I do,
pretend that I love you.

How arrogant is that.

Sabtu, 06 Februari 2016

Cinta monyet.


This isn't going to be a cheesy romantic speaking like I always do. I do this, because at one point in my life, I realised I survived life. I have seen someone from the past, and look at so many nights I cried over him, screaming, pleading God to bring him back. I remember the day I was so devastated, lying on the floor and cry myself to sleep. Waking up and felt like shit every single day, questioning, 'why am I still alive'. This is a true story about a guy: the greatest in giving me love as great as God could, as well as suffer, the most painful one. 



'Look at that. Look at the sun. It is set, now. Look how beautiful.' she said. She held her breath, not blinking. Watching the sun set in a high place, with him. 'I know,' he said. Reaching her from behind. She was not comfortable. She doesn't like it when someone puts hands on her bellies. But he held it tighter. 'I know,' and they both were quiet in awe. He jumped in front of her with his wide arms. He smiled like he was so overwhelmed with joy, he asked her, 'Which one, baby? Me or the sun?' She knew it's always been him. He was the greatest creation. He was hers. She never thought of wanting to have something more precious than him. She smiled so wide, so radiant, and hugged him close. 'You,' she said. They became like one, in a long long time.

It was the best sunset she witnessed. When night appeared, they held hands to look at the stars. There were none on the body of the night. None of them had guts to steal a kiss, cause they had never tried.. He held her face in his big hands and look at her eyes, bewildered. 'I love you,' he said. 'I love you,' repeating the words again, and again, and again, that it started to lose its meaning.. 'I love you,' he told her for the last time, emphasizing, reassuring. 'I love you, too,' and then she cried on his shoulder, bursting in a strange, crazy, magical feeling she had never known she could feel. She understands now of why is it so hard to forget the first person you loved, 'cause that person had once made u felt so loved and that feeling is just godly.


When he said, 'I lost feelings,' all the air was gone. When he said, 'I don't love you anymore,'  something inside of her was dead. She was lost ever since, she was dead. She was not okay for quite a very long time. Days were hard and he was gone. He was not there. She was left with no love left to herself.. She hated days and nights, and sunsets. Cause they reminded her of him too much.

People said it was an old love. That the him that was hers before, was already long gone. Why couldn't she stop thinking of him. They thought, time should have washed him away. Life must have been better for her. While she never felt happiness too much, because he was no longer hers to share. She never felt sadness in a way sadness should. It was way worse than any longing in the world, she never wanted to come back. Then she guessed she never stopped loving him after all. She just woke up one day and decided to let him go. 

So people would stop bugging her.




You know, I guess I had never drawn too deep in loving someone rather than you. Never even had worse heart break when someone left, except when you went away. I guessed you're the greatest after all this time. You still are. And I wish you happiness with whom ever you are, right now, and for the rest of your life. Knowing deeply that whoever she is, she's the luckiest to be loved by you.

Selasa, 26 Januari 2016

I don't know about this.

Tevinstein Amos,

thank you for saving me from myself.
I would never thank you enough for that.
You'll graduate this year, Tevinstein.
I'm so excited to see you by then, to witness your becoming in the future,
to embrace your freedom after the long haul of Internship.
I'll be starting mine in a bit, I'm so anxious..
But you're here, though..

"You should know that it's not the end of the world," you said.
I'm trying to believe that it is not, yes!
And it is okay.
It will be okay with you..
As long as I'm facing it with you..
I'll be fine,
we will be too..

Tevinstein Amos,
how I love calling out your name,
I don't care to whom,
I don't care if it's nothingness after all.
I love you, I love you.
More than feelings allowed.




An ugly explicit writing while listening to Ben Folds - The Luckiest.

Sabtu, 23 Januari 2016

The A.

Semalam, aku memimpikan lelaki yang jauh.
Yang pada awalnya pernah sedekat nadi, yang lebih besar dari harapanku akan segala sesuatu.
Pada saat itu aku bahkan tidak peduli apakah Tuhan ada. Karena ada dia, setiap hari, seperti doping.
Dalam mimpiku kami bersentuhan tangan, mengisi sela jari masing-masing.
Tentu saja segala ikhlas yang pernah kuamini hancur, pecah berkeping-keping.
Rasanya seperti memang tidak ada yang lebih baik dalam sentuhan, selain dia.

Meski ada yang lain dalam hari dan hatiku saat ini, A,
sebuah pembenaran bahwa manusia memang memiliki hati yang besar,
tetapi mungkin selama ini aku tidak pernah benar-benar selesai mencintaimu.


Dari yang sungguh jauh dalam jarak dan perasaan,
semoga baik-baik saja di negeri orang! 

Jumat, 08 Januari 2016

21

It was the kind of day people write their stories about.
I had one, too, such a happy remembrance.
Let's jump back to January the sixth.

When I said thanks to him for his presence today,
he said, "I didn't even greet you happy birthday," which was true.
But when he came to my house earlier, he looked at me,
and hugged me fast without saying anything. I hugged him back, confused.
We still met at the end of the day after we got back to dorm, with him accompanying me
when my people surprised me with a pizza cake and beautiful deco--which was another story!
He laughed along with my friends, despite probably he felt awkward..
Then he took me back. He asked, "Are you happy?" and listened to my smiling voice talking.
He was the last person I talked to on my birthday. He was there, witnessing me.
When we arrived, I kissed his shoulder like I always do, and said bye.

He never said 'I love you', too.


But now I got the point.

Minggu, 03 Januari 2016

While Listening to O by Coldplay.

I am thinking of the aftermath, the adherent, consequences of loving you.
People say what's worst about loving something so much, is knowing that you can't have it.
They also say that when you love something, you should not possess them: you let them live instead.
That's the truest form of love, to let it grow, to see it comes bigger, without caging them someplace.
And somewhat true, we feel bliss just to see it that way.
Society got twisted, right? About love and possession, anger and disappointment.
They started to think when you love someone, they have to love you back.
Either way, it's not love at all. It's the unrequited stupid hunger, of affection. What was that, again?
Well, I have to stay still though, they are not capable of understanding it..

If only you had the same feeling towards me, as much as I am willing to give you ever since,
they say, we would already be together by now. Thing is that I am an open book, they can read me. While you.. I honestly don't know how you feel, you never told me.. But what ever it is, it makes me happy. It completes me somehow in the most humanly way possible. I am craving, yearning, admiring the feeling you gave me, it surprised me in the time I least expected it. You are different, you made me feel different in every best way I could tell. You made me happy without words of love, so I didn't question it, like, I don't need it.. You speak louder than every romance courtesy. Then again, loving you makes me love myself even more. In the end, how could I possibly not loving you if so?

I always knew we couldn't be together, I'm not making it an aim as well. I know probably we're that different, that hard to be with each other, it's okay. I'm not withdrawing myself at all, and I won't. If one day you had to go--like, go, away--in a way that we're not this close anymore, or geographically distant from each other, I'll remember you always, always. And there would be no greater loss by then. It's not regret, okay, it's loss. It's a mess, total pain, an agony. But right now, as long as you're still near--I could tell by the way you wanted to see me just as much--as long as we're together and fine, I cherish you with every breath, every eye blink, every second of my everyday, Tvstn. It's okay if one day we have to separate our way, I thank God that we ever crossed our paths and be together for quite long time. The me that is me right now, won't ever be without your presence. You will someday leave with remaining melodies you sometimes sing, and your shy smile that nobody could ever have, but you. I knew, and I'll be okay as long as you are too.


To the person whom I am now loving, so much, with all humility I could evince.
I've never loved anybody to the point where I don't want to possess them anymore,
for the sake of my belief: that to love is to set free.

Jumat, 01 Januari 2016

Tentang Perasaan.

Kemarin lalu, seorang teman menanyakan bagaimana perasaanku padamu.
Aku diam sesaat, menimbang-nimbang: seberapa banyak? Seberapa besar?

Begini, sayang..
Aku mencintaimu pelan-pelan, disaat aku pikir aku mencintai orang lain.
Aku tidak sepenuhnya jatuh, aku melangkah perlahan bersamamu.
Saat aku kehilangan jati diri, saat aku menangis histeris, saat aku berusaha menata lagi hidupku.
Kemudian aku mencintaimu sesederhana itu, sesederhana kamu ada.
Tanpa perlu tahu bagaimana perasaanmu, tanpa perlu cintaku terbalaskan.
Mencintaimu sesederhana menyapamu setiap pagi, merindukanmu setiap malam,
dan bertemu padamu di hari-hari tersulit, mendengarkan cerita dan lagu-lagumu,
sesekali berbagi kisah, lalu melihatmu tersenyum seperti itu.
Aku mencintaimu tanpa beban, tanpa rasa-rasa khawatir,
tanpa menuntut kamu untuk menjadi sama sepertiku.
Selama kamu ada.. Selama kamu disini, ada bersamaku..

Lalu kukatakan padanya, bahwa aku sangat mencintaimu.
Dan aku sungguh-sungguh untuk itu.



Selamat tahun baru, Inspirasi!