Kamis, 14 Desember 2017

Sekelibat tanya di pikiranku


Bagaimana ya aku bisa memproyeksikan kemampuan diriku keluar dari zona nyaman?
Bagaimana pula aku bisa berhenti takut akan hidup miskin, jika mereka bilang semua sudah diatur?
Bagaimana ya aku bisa reach out, berkontribusi pada kehidupan manusia lainnya, menjadi cerita yang diulang terus-menerus, yang memperkukuh statement, "aku ada dan hidup, loh."
Bagaimana aku bisa tahu bahwa begitu banyak hal yang bisa kulakukan, that I'm capable of doing something more, tapi hidupku berjalan seperti biasa saja?
Bagaimana bisa begitu banyak hal di dunia ini dapat kupahami atau bahkan kuketahui, jika aku saja baru berusia 22 tahun!
Bagaimana akupun bisa puas akan pencapaian hidup dan diriku, tanpa punya pikiran dan rasa yang menjahati orang lain?
Bagaimana caranya setiap orang menemukan diri mereka: hendak menjadi apa, ingin hidup bersama siapa, padahal ada begitu banyak hal yang belum kita ketahui?
Bagaimana setiap orang dapat dengan mudah had their lives figured out?
Bagaimana bisa aku mengatakan ini tanpa tahu kesulitan apa yang setiap individu lalui,

untuk menjadi diri mereka sebagaimana mereka ada saat ini?

Kamis, 02 November 2017


Langit kelabu, semburat jingga dan oranye. Riuh rendah bunyi jangkrik di latar belakang. Petikan gitar dan nyanyian hati bersama seorang kawan baik. Aroma ilalang menguar bersama udara petang dan senja di bukit. Kami terjaga, hidup, menyatu dengan semesta dan dunia yang selama sesaat, indah dalam kesunyiannya.

Buta Warna


Semalam, aku menghabiskan waktu menonton di bioskop bersama Jonathan. Dalam perjalanan ke gedung pertunjukkan, kami melintas di bawah simpang susun Semanggi. Jakarta menyala-nyala malam ini. Joe berdecak kagum, mengajakku melayangkan pandang ke lampu jalan serupa bintang, berkedap-kedip terbentang sejauh jembatan layang itu. "Sebentar lagi Natal," katanya bergumam. Aku mengangkat tanganku tinggi di udara, melepaskan peganganku dari pangkal kain bajunya dari atas bangku motor yang kami kendarai, menghirup udara malam. Kebebasanku. "Sebentar lagi Natal," aku mengulang perkatannya. Membenarkan. Menyadarkan. Merah muda yang cantik sekali, pikirku dalam diam. Seperti sisi feminis malam di Jakarta, yang selama ini terlalu macho bertahan: Jakarta tak pernah tidur.

Perjalanan semalam mengingatkanku akan konsep warna. Kau tahu, tidak. Akbar buta warna. Pengetahuan itu membuatku ingin tertawa lebar-lebar. Lucu sekali bermain tanya jawab akan persepsi yang ia lihat. Hijauku dan hijaunya, pasti berbeda. Ia tidak mampu membedakan ungu dan biru. Baginya, warna ungu pada terong hanyalah sebuah pengetahuan umum.

Aku ada, aku nyata. Aku adalah entitas yang solid dan setiap hari bersiborok dengan kehadiran pikiran. Aku jadi berfikir sendiri. Seringkali, begitukah cara kita memahami kehidupan dan segala sesuatu? Begitu pula hubungan manusia dengan individu? Apa yang kupahami abu-abu, pun abu-abu dipersepsi orang lain, meski pada kenyataannya kita melihat dunia secara berbeda. Tidakkah mengesankan ketika perbedaan dapat menyepakati suatu konsep yang sama tentang keindahan, tentang bagaimana manusia melihat bumi dan alam raya, serta tersenyum oleh karenanya.



My muse is in everybody's DNA. I love deep thoughts and good talks. I think that is what makes human the most interesting for me, the ability to think and question things, as well as to feel and connecting emotions. As if we're all creature with the same antenna, we connect to each other like none ever could.

Kamis, 26 Oktober 2017

Untuk PARAMABIRA dan Hati Kita



Kepada setiap orang dalam perjuangan di balik kemenangan Maasmechelen yang beralih fungsi menjadi rumah tempat rasa hatiku berpulang.

P.S: Gak akan lupa pagi hari 6 Oktober, betapa sedihnya kita diingatkan seberapa sayangnya kita pada sosok Rainier Revireino, seberapa besar ingin kita yg sama untuk bawa pulang kemenangan untuk Indonesia, serta serentetan kata-kata ini, 

"Gue gak tau kapan akan nyanyi lagi sama kalian. Mungkin ini terakhir kali.." (Hegra Soetrisno)

"Kita semua sayang Pepi kan? Sebentar lagi Pepi ultah. Dia udah memberikan lebih dr porsi seorang pelatih. Ayo kita kasih yg terbaik juga buat Pepi." (Eduard Pratama)

"Gue adalah orang pertama di keluarga gue yg pernah ke Eropa.." (Jonathan Edward)

"... meski bosen gimanapun, setidaknya kita ada. Duduk di belakang laki-lakinya, kita support mereka, kita support satu sama lain." (Yohana Theresia Stefani)



Astaga. Terima kasih atas tahun terbaik dalam hidupku, PARAMABIRA.

Kamis, 19 Oktober 2017

Maascmechelen, 2017


My Paramabira,
congratulations on our achievements:

2nd place of Mixed Choir Category,
2nd place of Equal Voice Category,
Best Performance of the Compulsory Work of Mixed Choir, and 
The Prize of the Audience.

---

Ketika tujuan dan keinginan kita yang sama menjadi doa yang terwujud,
tetaplah merunduk seperti padi yang menguning,
tapakkan kakimu pada tanah, kariblah dengan ibu bumi.
Ketika kau telah menerima kebaikan semesta sebaik ini, tengadahlah,

di bawah Tuhan yang menjelma malam,
dalam takzim dan sembah semahdi,
mengucap syukurlah,

mengucap syukurlah sepenuh hati.

---

I am so proud of us.

Singing Marendeng Marampa (Arr. Hegra Soestrisno)

Piso Surit (Arr. Amilio Fahlevi) is one of the best Indonesian folksong I've sung.

Details, hand gestures, crumples, and gold finishes.

My precious, I present you, the male choir.

When feminism is not an issue.

Close up look to the basses section.

Singing Ahtoi Porosh, one of the best piece they brought that I loved.

Singing Yamko Rambe Yamko (Arr. Agustinus Bambang Jusana).

Tenors and their expressions.

The eminent Gayatri Mantram, on pitch.

The complete mixed choir, and I was smiling 'cause I was living a life.

Having this idea crystal clear in my head before even taking it.

Now that it ends, 
I found out somehow that
there's nothing more frightening than
having your dreams come true.

Senin, 16 Oktober 2017

Dalam Perjalanan ke Tempat Latihan


Here are some pictures that Audy took, just to remind me of how amazing nature is when it comes to autumn. We got to walk a lot, minutes spent admiring beautiful greeneries and blue skies. While having melodies wryly ringing on our hearts, with heart as light as the first December snow.

MiMA -- and Sir Joan Cornella hanging there.

A morning walk to the studio.

Was waiting for the light to turn green.

Walked pass this structured red bridge.

I was so happy, living life.

The garden nearby we crossed.

Pigeons eating whole bread.

One of Brussels' best museum I've seen.

The color changes as the autumn came.

The other side of the museum.

In front of the studio we rehearsed. 

While waiting to get inside.

The road full of cars, sometimes people pass by, and uniform blocks of building.

I'll miss this. I will, I definitely will.

Senin, 18 September 2017

Malam Tujuh Belas September


Sebuah perayaan keberagaman,
dan hadirat syukur pada Sang Maha Pencipta,
Tuhan yang Maha Baik,
Allah semesta alam.


Buatku, konser ini bercerita tentang kebaikan.
Dan tidak ada kebaikan serta kebajikan
yang pergi tanpa meninggalkan
rasa syukur.

Gayatri Mantram, semoga semua mahkluk berbahagia.

Marendeng Marampa, pesta Toraja.

Untuk Indonesia. Dengan ini kami pamit.

Kepada Tuhan kami yang satu.

Bersama Clairene (Alto 1)

Meski telah berjalan baik, masih banyak yang harus dibenahi.
Aku ingat seorang teman berkata padaku,
"Aku juga takut. Tapi kita sama-sama, kan. Gak sendirian."

Di luar batas kemampuanku,
aku harus tetap optimis.

Kamis, 14 September 2017

Senin, 11 September 2017

September


Pada awal September, tanah belum basah.
September datang membawa cerita dan kisah melankolis,
juga air mata, hujan yang mengalir dari mataku.
September menjanjikan akhir yang pahit-manis.
Ada sesuatu yang mengharu-biru, ada sesuatu yang seperti duka
menggantung di udara, menekan, menghimpit.

Kemarin malam hujan turun. Aku sedang bersama cinta dalam hidupku.
Ada senandung di udara, tertimpa derap-derap langkah hujan.
Hatiku penuh dengan lelaguan yang menyenangkan.
Kulitku bertemu kulit mereka, tatapan kami bertemu.
Mereka tak berhenti menari. Aku tak menghentikan nyanyianku
yang semakin ditelan gelegak petir dan adzan maghrib.
Semoga ada akhir yang baik dari setiap perjalanan ini.

Malam itu aku tersenyum. Aku tak berhenti tersenyum.

Selasa, 22 Agustus 2017

Solstice


Aku sedang menangis.

Tahun ini, aku menargetkan beberapa hal. Mengamini, mengimani setiap rinci mimpi-mimpiku itu. Aku memberikan versi diriku yang terbaik, lepas dari kenyataan aku ini pribadi yang begitu sulit. Kemudian segalanya terasa semakin berkelok, namun aku yakin aku masih mampu memegang kendali. Aku stir hasrat dan perspektifku mengikuti. Sebentar lagi segalanya akan selesai. Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya nanti, ketika aku tiba di puncak segala mimpiku. Begitu besar, begitu dahsyat, begitu luar biasa.. sampai-sampai aku takut ikut mati bersamanya.

Aku tidak tahu apakah krisis seperempat abad itu betul ada. Akhir-akhir ini seperti.. Apa ya lebih tepatnya? Seperti ada yang memburuku, menyuruhku bergegas setiap hari. Aku tiba dengan tergesa-gesa, pulang dengan debar yang tak karuan, bahkan ketika segalanya berjalan seirama. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu khawatir. Ide tentang hidup yang miskin dan tak berkecukupan membuatku takut. Disaat yang bersamaan, aku membenci arus dan ritme hidup yang monoton. "Kurang bersyukur, kali" begitu kata orang. Namun tidak, tidak. Aku tahu pasti. Aku merasa ada yang salah.

Aku ingin sekali menjadi pribadi yang berani. Berani mengambil risiko untuk hidup lebih susah, kemudian belajar dan memahami dunia dengan mata kepalaku sendiri. Aku juga ingin menulis buku, merapihkan hal-hal di benakku yang kacau berantakan. Aku ingin keluar dari pekerjaanku yang membosankan, aku ingin mampu secara baik menggunakan aplikasi video editor dan berkontribusi untuk sesuatu yang kusegani. Aku ingin bernyanyi, aku ingin berkarya. Aku ingin mengajar, aku ingin menjadi inspirasi. Aku ingin menggali hal-hal terbaik di diriku yang selama ini takut kusalurkan, semata-mata karena aku bukan seorang pemberani.

Aku merasa kemampuan menulisku semakin kabur tertutup debu rutinitas. Aku kesulitan mengungkapkan maksud hati dan pikiranku, membuatku terikat satu mata rantai tak kasat mata: membelenggu, mengikat, menekan. Yang mana seumur hidupku, aku karib dengan kebebasan.



Solstice adalah titik balik matahari, ketika ia ada pada posisi tertinggi atau terendah di langit pada siang hari. Pada tempat yang sama, titik balik ini ditandai dengan hari terpanjang, sekaligus hari terpendek dalam suatu masa. Aku berada diantaranya. Hanya saja, siklusku agaknya terlalu lama. Aku mengalami hari-hari terpanjang.



I was so sure of who I was, I could picture everything so very clearly. Now I second guessed my becoming and who I should have been, what I wanted to become. How I wish I had my life figured out. I can feel the urge, the tick-tock. It insists, it pushes me aback. It tries to kill me.

Senin, 03 Juli 2017

Introvert, Ekstrovert


Hari-hariku terdiri dari dua lanskap:

Tanah hutan dengan wangi dedaunan basah,
kemerahan di kala senja, selamanya berada di bawah kanopi tebal.
Daun-daun bagaikan kertas-kertas warna-warni.
Mereka menari-nari lembut, saling bersentuhan, saling berpagutan.
Sejauh kerling mata mereka ada, mereka bicara.
Bumi mencintai mereka, menganugerahkan daun-daun
warna surga dan hangat matahari.
Aku harap aku memiliki ketangguhan mereka dalam bertahan.
Kau tahu, badai bisa begitu menyulitkan, memporak-porandakan.

Seluruh hutan lelap pada malam yang bercahaya.
Wujud-wujud neon dari daun-daun tidur. Mereka berpendar-pendar,
tenang dan melayang. Naik turun degup nafas mereka
membuat rusa berlari bersama ritmiknya dan burung-burung hantu terjaga.
Ada lantunan sesuatu di kejauhan, menjadikan hutan seperti pemerannya.
Hutan jadi pemeran utama di negeri dongeng yang jauh.
Kecantikan yang introvert, seperti melamun.

Lalu gelap sepenuhnya. Aku hanya partikel yang tak ada.
Aku tak ada, aku hanyalah ilusi akan keberadaan.
Hariku berganti pada fajar.


(black out)



Ruang hampa udara. Tidak ada batas antara neraka dan dunia.
Lantai tempatku berpijak menyatu dengan masa yang kusentuh.
Disekelilingku putih bercahaya, lalu sayup-sayup ada kepakan sayap burung--atau malaikat,
percikan air di dak-dak kapal, seteru angin pada kusen jendela tua, serta
lonceng gereja dan tawa anak-anak tak berdaya.

Kini datang aroma-aroma yang membuatku nostalgia, seperti bunga teratai.
Yang mengingatkanku akan hari nenek dikuburkan. Seperti zaitun,
pada masakan ibu dan jerit kemenangan atas usaha di masa yang lampau.
Seperti tanah basah, yang membawaku pada ingatan akan ketidakadaan.
Segalanya nyata, juga segalanya kabur.

Lalu gelap sepenuhnya. Hanya aku partikel yang ada.
Wujudku nyata, sentuhanku nyata, degup jantungku nyata.

Perlahan-lahan aku mulai mengerjap.
Perlahan-lahan langit mulai biru.
Ada horizon yang membelah dunia,
ada rasa angin bergerak di pusara telingaku.
Lalu semua begitu meyakinkan,
seolah aku tahu aku baik-baik saja.

Aku bernafas. Aku hidup.

Sabtu, 15 April 2017

Borneo Beer House, Kemang Selatan.


Jakarta tidak pernah tidur. Pelan-pelan kerling mataku membuka dan menutup, mengerjap-ngerjap menghalau pengaruh alkohol. Agaknya aku menghasilkan endorfin yang agak banyak malam ini. Aku tertawa renyah seraya melayangkan pandanganku ke tembok bata merah di hadapanku. Sementara itu, ia menatapku dengan wajahnya yang memerah, "bingung, ya?" tanyanya setengah berteriak. Tidak, jawabku. Aku hanya merasa aneh bisa bersama lelaki ini lagi saat ini, pada momen seperti ini! Kami mengambil beberapa kentang goreng dari piring kedua. Kulihat ia tidak suka mencampur sambal dan mayonaise, tidak sepertiku. Kami sama-sama menggerakkan kepala perlahan mengikuti dentum keras musik yang tidak kupahami. Bukannya aku tidak mengerti, lebih tepatnya tidak bisa menikmati. "Mungkin lo harus sambil mabuk, atau depresi," katanya. "Which one are you?" Sudah kuduga, tidak perlu waktu lama baginya untuk menjawab, "both".

Kami hanyalah dua manusia yang tidak mengerti jadwal temu, kacau. Di jam-jam sibukku, ia terlelap. Di kesendirian malamnya, aku yang tertidur. Ada kalanya untuk sesaat, jam-jam itu terhenti dan kami bertemu diantara waktu yang diselipkan secara paksa. Padahal tahu tidak ada yang melambat atau mengalah untuk kami. Aneh rasanya menyelami pikiran gelapku di tempat seramai ini. Membuatku teringat satu hal. Ketika aku menatap wajahnya yang rupawan, mata kami bertemu lama. Ia mengangkat kedua jarinya sambil terkekeh-kekeh, jaket hitamnya terkulai lemas memperlihatkan sudut lehernya yang jenjang. Untuk ketujuh kalinya, ia membakar Marlboro merah di tangan kanannya. "Lo merah banget," kusentuh pelipis dan pipinya dengan punggung tangan. Aku berlama-lama, menikmati sengatan sensasi yang memang kukenal baik. Entah bagaimana tiga botol bir menjadikannya lebih berwarna, lebih hidup. Bibirnya yang beraroma mentol merah muda sewarna soka. Oh Tuhan, bibir itu. Sudah kukatakan lagi-lagi kami begitu payah menyusun timing. Ada kalanya ketika ia sendiri, aku bersama lelaki lain. Menyelipkan paksa waktu yang kami rasa tak ada. Kali ini aku yang sendiri, ketika ia punya wanita lain. Menyelipkan paksa waktu yang kami rasa tak ada. Tak pernah ada.


Sudah lama kita tidak bertemu, Michael, apa kabar?

Senin, 10 April 2017

Now Playing: Should Have Known Better (Sufjan Stevens)


Pada saat tertentu dalam subuh yang basah, kau bisa bertatapan langsung dengan Purnama. Ia putih cerah dan bulat sempurna, datang dari laki-laki yang membawakanmu oleh-oleh dari perjalanannya ke langit. Purnama menyapamu selalu pada malam-malam yang gemerlapan, ketika kau jauh dari sedih dan dukacita. Rasa bahagia menariknya padamu, ia bagai hantu pemelihara keseruan pesta: satu yang mampu menjadikan semua sel dalam tubuhmu terjaga. Ketika kau mengangkat tanganmu ke udara seperti hendak menari, nadimu akan berkilauan tertimpa cahayanya. Ombak yang bersemayam di rambutmu akan menderu-deru, dan sesuatu dari dalam tubuhmu berpendar seperti fosfor. Diam, coba diam. Di hadapan Purnama, kau jadi yang paling memesona diantara semua ciptaan.

Seperti badai, bulan pasti berlalu. Purnama bosan menatapmu yang tak konsisten, sesaat bahagia sesaat gundah gulana. Kau pikir kau lain dari yang lain? Sebentar lagi juga kau dibuang. Ini toh bukan satu dua kali kau ditinggalkan. Mungkin takdir itu ada dalam rasi bintang dan astrologimu, kadang-kadang bulan yang ini tidak sesuai dengan elemen yang kau sesap. Mungkin Venus cocok, tapi ia tinggi diatas sana. Butuh berapa tahun cahaya baginya untuk sampai padamu? Purnama lelah, ia digantikan oleh saudaranya yang separoh, dan lalu mulai memberikan pekerjaan sampingan pada Sabit untuk menemuimu setiap jelang fajar. Lama-lama bulan hilang. Lama-lama kau kehilangan pesonamu, dirimu. Kau bagai bayang-bayang dan temaram. Begitulah awal mulanya kau mulai karib dengan rasa sepi.


Sepulang dari petualangannya di luar angkasa, laki-laki itu kembali membawa debu bintang. Kerlap-kerlip itu ia satukan dalam satu sabuk panjang berlapis gas-gas tak kasat mata. Ia mengangkatnya dengan takzim, seolah menyulap bintang-bintang untuk tunduk pada perintah lekuk jemarinya. Kali ini ia serahkan perhiasan langit pada wanita lain yang lebih nyata, lebih bahagia. Sejatinya lelaki tidak menyukai wanita yang bersedih hati, bukan? Debu bintang akrab dengan rasinya, bagai merangkul sahabat lama. Oleh wanita itu, sabuknya dilingkarkan di atas kepala sebagaimana mahkota dari batu-batu angkasa: warna-warni, berkedip bergantian dan menyala dalam gelap. Ia tidak akan pernah lagi kekurangan cahaya, ia bertendeng terang yang mengharu biru. Cinta yang berbalas. Pada malam Purnama gerhana, sabuk bintang itu bersinar semakin terang. Hanya pada musim-musim penghujan, keduanya menetes dari pelupuk mataku.



-----

Aku sedang merindukan seseorang, menyadari eksistensiku yang samar-samar di latar belakangnya. Mengira dan menerka-nerka ada sesuatu, namun manusia dan ekspektasi memang bukan kawan baik. Dini hari ini aku ingin menuliskan sedih dalam elemen-elemen kesukaanku: alam semesta dan benda langit. Mungkin dengan begitu, sedihku jadi tidak terasa terlalu sedih.

Tuhanku Yang Maha Pemberi, aku memohon keikhlasan...

Minggu, 09 April 2017

Now Playing: Resah (Payung Teduh)



Aku benar-benar salut dengan orang-orang yang bisa menyimpan segalanya sendirian. Begitu banyak hal, banyak sekali pertanyaan yang berseliweran tumpang tindih sampai-sampai kepalaku sakit. Rasanya jika tidak segera aku tumpahkan aku bisa gila. Aku ini robot yang terprogram untuk mengutamakan mesinku sendiri: agar tidak aus, agar aku tidak mati. Setidaknya begitulah citra diri yang aku pahami. Lelah sekali berpura-pura tertawa, padahal tatapan mataku tidak hanya fokus pada lawan bicara. Mataku sibuk memperhatikan hal lain yang begitu jelas, bahwa aku jatuh hati pada seseorang yang tidak menyukaiku. Tentu saja patah hati bukanlah sesuatu yang kurencanakan dalam waktu dekat, tidak dengan begitu banyak prioritas dan fokus yang harus kukejar. Aku mati-matian menolak, berulang-ulang mengatakan pada diriku sendiri, "tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja." Jadi lagi-lagi aku kembali pada masa yang berlangsung, memasang topeng bahagia dan mengatakan hal-hal lucu. Lalu kudapati diriku pulang dan bicara pada ruang mayaku sendirian. Disini aku bisa teriak, meski gema mengembalikannya padaku selalu. Musik sedih yang kuputar sampai batas maksimal semata-mata karena aku takut mendengar isi kepalaku sendiri. Ia menyukai gadis itu. Namun demikian, hendak kukatakan bahwa aku melalui hari ini dengan luar biasa palsu dan berhasil tidak menangis.


Padahal hari ini, aku sedang patah hati sekali..

Senin, 03 April 2017

Recita 6


Tahun ini aku memasuki tahun terakhirku di dunia perkuliahan. Dan menyadari bahwa terlibat aktif dalam satu organisasi yang kucintai ini adalah hal terbaik yang pernah kulakukan. Aku tidak punya banyak teman diluar kelas-kelas reguler yang berubah setiap enam bulan sekali. Aku juga menetapkan lingkar pertemanan yang semakin kecil yang terdiri dari orang-orang yang tidak pernah kubayangkan. Berada di dalam paduan suara kampus, mengambil bagian dan mencintai PARAMABIRA sungguh-sungguh adalah highlight dari kehidupan kampusku yang sebentar lagi usai. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana jalan kehidupanku jika aku tidak berada disini?

Cerita ini harusnya mengingatkanku akan salah satu malam-malam terbaik kehidupan paduan suara, maka akan kubagikan yang tidak kubagikan di linimasa media sosialku yang lain.

Tahun ini kutandai sebagai tahun terakhirku berpartisipasi dalam Recital. Aku membawakan aria Italia berjudul "Le, Violette" karangan Scarlatti. Laguku begitu ringan dan lincah. Ia berkisah tentang seorang pujangga yang bicara pada bunga violet. Entah sebagai apa perumpamaan itu bisa berarti. Ia mengutukiku atas ambisiku yang begitu besar, katanya. Looking back to what I've become, I can relate so much to it, I guess. Aku menyanyikannya pada G mayor, sebuah pencapaian bahwa aku bisa menyanyikan D5 dengan bersih. Kurasa I did pretty good job, dan teman-teman memujiku. Untuk seorang perfeksionis rendah diri seperti diriku ini, aku selalu berasumsi pujian mereka didasarkan rasa tak enak hati.

Namun datang dari laki-laki ini dan melihatnya tersenyum memesona setelah not terakhir selesai kunyanyikan, aku rasa kali ini teman-temanku tidak berlebihan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mulai bisa berbangga akan suatu hal dalam diriku yang sungguh-sungguh kuasah dari ketiadaan. I hope it leads to greater things.


Juga, aku bertemu dengan Tevinstein Amos. Ia memelukku begitu hangat sampai-sampai aku terkejut. Ia tiba tepat saat giliranku bernyanyi dan menyorakiku kencang sekali. Kami menghabiskan waktu bersama setelahnya, membuatku lupa akan beberapa hal menjengkelkan yang membuat mood-ku turun. Kami berpelukan lagi sebelum ia beranjak pulang. Ia katakan padaku, "It's so good to see you again."

Lalu bagaimana kabar pertahanan diriku selama ini? Tiada sisa.



Jumat, 31 Maret 2017

"Lingkaran Seni"


Selamat malam, Aksara. Aku berjanji hendak menulis akhir pekan lalu, namun beberapa hal buatku pusing bukan main dan akhirnya memilih untuk abai. Selamat malam, Aksara. Minggu-minggu ini terlupakan, luput dari eksistensimu. Maafkan aku. Aku akan mulai menemuimu lagi.

19 Maret, jika aku tidak salah, ya? Selalu nyaris hampir merampungkan tulisan tentang pertemuanku dengan Putri. Obsesif kompulsif yang kupelihara ini yang selalu dengan nyaringnya berkata, "nanti dulu, tunggu semua tenang. Sekarang sedang chaotic. Dikala seperti ini, kau tidak boleh menulis. Begitulah caramu menjaga kesakralan suatu momen yang menyenangkan." 

Jadi lagi-lagi aku menurut.

-----

Kepada Putri, sahabat penaku. Aku senang kau sama inginnya denganku untuk menjadikan pertemuan ini semacam 'kopi darat', katamu. Hatiku malam itu penuh dengan rasa khawatir dan sensasi debar yang menyenangkan. Sudah berapa lama aku tidak melakukan hal ini? Bertemu teman yang hanya kuketahui keberadaannya dari ruang virtual yang maya dan abu-abu. Bertemu denganmu semacam mematahkan paradigmaku: kau nyata.

Kepada Putri, pendengar yang baik. Aku berterima kasih atas antusiasmu menyambut ceritaku yang keras kepala. Atas pola pikir yang sejalan, kisah-kisah inspiratif tentang Reyna--yang buatku semakin menyukainya, serta cerita di balik tato warna merahmu. Yang kupikirkan hanyalah kau tidak bisa lagi mendonor darah, namun tidak apa-apa. It looks good on you. Aku percaya pada mimpimu, kau tahu? Aku benar-benar yakin kau bisa capai apa yang kau ragukan. Mimpi itu perlu, Put. Setidaknya membayangkan tercapainya mimpimu harus cukup membuatmu bahagia, menyulut sumbu-sumbu di dasar hatimu yang kau sebut harapan. Manusia hidup dengan itu.

Kepada Putri, pengamat yang luar biasa. Now that I typed this, sepertinya kau baik dalam seluruh panca inderamu, ya? Aku senang kau menyukai keindahan pojok itu. Aku lega kita jatuh cinta pada ornamen magis yang sama. Aku menikmati detik-detik hening yang kita habiskan mengagumi gagang telepon kuno, buku-buku bekas berbahasa asing, dan tekstur kayu atau tembok yang kau sentuh. Akhirnya aku tahu, ada satu orang yang sungguh-sungguh paham, bagaimana rasanya menjadi aku sepenuh-penuhnya.



Aku punya banyak cerita baru. Kapan kau ada waktu?

Kamis, 23 Februari 2017

Gloomy Friday


Pagi ini tidur pukul setengah lima jelang adzan subuh. Pagi ini pula aku bangun tanpa sengaja setidaknya pukul sembilan. Biasanya aku tidak akan bangun secepat ini, sampai-sampai harus pasang alarm agar tidak melewatkan pagi hari. Kepalaku kembali memutar skenario kekalutan semalam, rasanya benar-benar belum luntur. Kulihat ke luar jendela, nampaknya hujan sebentar lagi turun. Udara akhir-akhir ini begitu bersahabat. Aku merasa lapar sekali. Maka bukannya kembali tidur, aku beranjak bangun untuk membeli sebungkus nasi. Kuhitung sudah lebih dari 10 hari aku makan makanan yang sama setiap hari, satu hari bisa dua kali. Aku bukan penggemar berat cabai dan makanan pedas, tapi aku mulai menemukan rasa yang cocok dengan lidahku pada satu sendok penuh cabe ijo di warteg AW. Probably I was just a woman of routine, pikirku. Mas-mas berkacamata yang melayaniku mungkin heran setiap hari aku bisa makan menu yang sama, setiap kali pula sok-sok berfikir seolah aku akan memutuskan memilih menu yang berbeda. Jika aku bisa menamai manusia, aku akan menamainya Robin. Seperti seorang temanku yang berotot yang kuubah namanya menjadi Brandon, atau gadis introvert berkacamata dengan pribadi menyenangkan yang kupanggil Olive. Semua tanpa alasan yang jelas, aku hanya punya kecenderungan sembarangan mengubah nama teman-temanku karena kurasa lebih cocok demikian. Sepuluh ribu rupiah harga menuku pagi ini, angka yang genap dan aku punya uang pas. Kenyataan ini membuatku merasa beruntung dan penuh harapan. Dalam perjalanan pulang, hujan kecil mulai turun. Hujan itu berubah besar tepat ketika aku membuka pintu kamar tidur yang lupa aku kunci.

Mudah tergerak adalah dua kata yang melekat pada alamiahku. Dalam beberapa kesempatan aku rasa sifat ini positif, membawaku pada kedalaman ilmu yang tidak pernah kusukai sebelumnya. Dari 'mudah tergerak' itulah aku mulai menulis dan jatuh cinta pada literatur. Aku juga menemukan diriku pada lukisan, ternyata aku bisa mengsketsa ulang self-portrait dengan cukup baik. Bermain gitar, menyanyi seriosa. Tidak sempurna, sih, tetapi seolah alasan ini cukup, aku mudah tergerak, kok! Disatu sisi, aku jadi menjambangi begitu banyak hal, terkadang rasanya begitu overwhelming dan aku mulai mengutuki diriku yang tidak terlahir multi talenta. Namun, lihatlah ini. Kepada diriku yang kusayang, ingatlah betapa kecintaanmu akan berbuah manis sebentar lagi, seluruh kesulitan dan kerja kerasmu hanya akan jadi bumbu-bumbu utama dalam pengalaman hidup yang membuatmu berada di puncak dunia. Lihat ini, ingatlah betapa beruntungnya kau ada dalam sesuatu yang begitu besar. Kau tidak lagi hanya tergerak, kau yang menggerakkan hati dan jiwa orang lain. Berbahagialah.



Selamat berkompetisi, Paramabiraku sayang. Aku mengulang-ulang dalam hati, Tuhan Yang Maha Baik, terima kasih. Sebuah kutipan dari jurnal yang semalam suntuk kutelanjangi habis-habisan. Melukai lagi-lagi sudut hatiku yang masih luka, tapi keadaannya cocok sekali. Aku punya perasaan aku akan sering menulis tahun ini.

Sedang Kalut


Aku baru saja kembali sehabis bertemu dengan seorang kawan lama. Seseorang yang berbagi nama denganku, seolah tidak cukup, iapun berbagi tanggal kelahiran yang sama, zodiak yang sama, kenangan akan kelas-kelas yang sama. Sepertinya memang tidak lagi mengherankan kami berteman cukup baik. Aku tidak pernah takut canggung ketika bertemu dengan Stefani yang satu itu, entah bagaimana aku selalu tahu kami akan baik-baik saja meski bertahun-tahun tidak bertemu. Dan angka ini bukanlah hiperbola.

Aku pulang, memilih satu dari dua baju tidur dan menimbang-nimbang mana yang terbaik. Kadar obsesif kompulsif yang sudah tidak seharusnya. Akhirnya aku mengambil kaos panda kesukaanku, meski yang kuperoleh dari unit kegiatan mahasiswa yang tidak ingin kuingat-ingat. Semata karena baju ini kebesaran dengan lengan raglan (seharusnya) yang juga kepanjangan menurutku sesuai dengan udara Jakarta yang seperti kota Bandung pinggiran. Aku bukan orang yang suka mengenakan pakaian kebesaran, karena tidak ingin terkesan mengkerdilkan diri. Tapi kali ini aku buat pengecualian.

Aku melewati jam-jam pukul sebelas dengan melihat-lihat media sosial seorang kawan yang kukenal dari Paramabira. Belum lama ini kami berdua baru saja makan bersama. Aku selalu suka kepribadiannya yang jenaka, meski aku jadi ingat pernah tanpa sengaja mengatakan sesuatu yang melukai hatinya pada awal perkenalan kami. Tetapi masa itu sudah berlalu dan aku sudah lupa apa intinya. Membuka linimasanya membawaku pada halaman jurnal pribadi yang ia kerjakan sejak lama. Aku selalu suka membaca tulisan-tulisan sederhana yang menggugah. Aku menilai ia punya rasa terhadap sajak dan linguistik yang baik. Aku larut dalam tulisan-tulisannya. Dimatanya, seolah hal-hal sederhana jadi luar biasa, kemampuan yang terbalik denganku (jika dapat dikatakan 'kemampuan'). Sampai pada satu unggahan bertema kehidupan, menceritakan keluh kesahnya menjadi anggota dari ekskul yang kucintai ini.

Disana ia mengaduh, mengutip ucapan seseorang tentang bagaimana ia menjalani perannya sebagai seorang koordinator. Suasana rapat, dikemas seolah bukan, tapi aku tahu. Entah siapa yang ia maksud. Pikiranku melayang menembus ruang dan waktu yang jauh, pada saat itu. Apa aku ada disana? Aku mulai menyuarakan ketakutanku. Apa jangan-jangan aku lupa aku yang bicara demikian? Mati. Sensitivitas ini menggelitik sampai ke inti terdalamku. Aku jadi menduga-duga jika bukan hanya seorang dia, jika ada dia dia lain yang tanpa sengaja kutikam lewat perkataanku yang kumaksudkan sebagai sebuah candaan. Bagaimana jika itu aku?

Melihat unggahannya sebelum itu, betapa ia pun mencintai dan membanggakan Paramabira sepertiku. Ia bilang sesi latihan adalah waktu-waktu yang paling ia tunggu dalam satu minggu. Harapannya akan keikutsertaan konser tahunan dan kompetisi, keterpacuan inginnya menjadi lebih baik. Aku seperti berkaca pada diriku di masa yang lampau. Betapa jauhnya aku sudah sampai disini saat ini. Ia juga menuliskan perasaan kesendiriannya setelah satu tahun vakum dari unit kemahasiswaan ini, tidak nyaman bersama orang-orang lama yang ia kategorikan tinggi hati. Aku pasti satu diantaranya. Meski ia katakan dulu iapun bagian dari mereka--kita. Aku sama sakit hatinya, kau tahu? Pemahaman ini membuatku lari ke jurnalku sendiri. Bagaimana ini? Ia seharusnya tetap mencintai Paramabira. Menyerap perlahan-lahan, lagi-lagi, seperti kertas tisu di permukaan yang basah: bagaimana jika itu aku?

Padahal hari ini hari yang beruntung. Aku berhasil bangun tanpa alarm sebelum pukul dua belas siang, aku mengunduh lebih dari lima jurnal internasional untuk persiapkan skripsi (ya ampun, tahun ini aku skripsi ya!), membuat satu artikel untuk Paramabira, mendapatkan tebengan dari salah satu aplikasi ojek online yang paling jarang kubuka dan melewati jalanan yang bersahabat: lampu hijau setiap kali motor kami lewat. Dibukakan pintu oleh pramusaji yang sama seperti yang terakhir kuceritakan, disapa begitu hangat sambil ia bertanya ringan, "Hai Kak Stef, peppermint petty?"



Lenyap sudah ditelan insekuritas. Aku ini orang jahat.

Minggu, 19 Februari 2017

What Makes Me Happy #16 (Encore)


Aku bukan peggemar berat kopi dan teh, sepertinya aku akan baik-baik saja tanpa keharusan menegak kafein atau kandungan apapun dalam teh untuk melanjutkan hari tanpa merasa pusing. Sedikit banyak aku bersyukur aku cukup independen hanya dengan air putih setiap pagi. Probably I was just a woman of routine.

Kemarin malam aku duduk di kafe yang sama, di mejaku setiap kali aku datang. Memesan pesanan yang sama (berani sumpah, aku selalu memesan green tea blend, peppermint petty organic) karena hanya itu yang kusuka. Sungguh peculiar membayangkan kau pun menyesap rasa yang sama, punya sensori terhadap kenikmatan yang sama, itu membuat hatiku hangat. Aku mengeluarkan Michael Faudet dari dalam tas, dan membaca sambil lamat-lamat menyentuh cetakan setiap kata. Beberapa hal muncul dalam pikiranku, selintas saja, begitu cepat. Jadi aku mengeluarkan buku catatanku dan mulai menulis. Tak lama setelah itu, seorang pramusaji--kali ini wanita--menghampiriku dan bertanya apakah aku bersedia mengisi komentar pelanggan. Tentu saja!, kukatakan padanya. Aku mulai mengisi panjang lebar lembar putih bercetak biru tua mengilap itu. Sepenuh hatiku, sejujur yang hatiku bisa. Aku ingat sebagian besar pujian, salah satunya kukatakan aku tak pernah tahu manusia bisa begitu melekat pada eksistensi sebuah tempat. Setelah itu aku mengembalikannya pada si pramusaji dan pergi ke toilet--yang adalah bagian favoritku pada setiap kali kunjunganku!

Ketika aku kembali, ada seseorang duduk berseberangan dari mejaku. Ia nampaknya agak bingung dengan pesanannya dan memesan espresso, mungkin hanya itu yang aman setidaknya. Sepanjang hidupku, aku memang cenderung posesif pada hal-hal yang bukan milikku. Jadi kutunjukkan padanya betapa teritori ini, ruang ini, adalah punyaku. Aku mulai bersenandung kecil, menggoreskan tinta hitam pekat di kertas coklat buku kecilku sambil mengaduk-aduk cangkir peppermint tea yang sudah dingin. Mejaku penuh benda, dan aku jelas nyaman. Si lelaki mulai melihat-lihat rak buku di sudut, mengambil satu, dan membawanya kembali ke tempat duduk. Beberapa kali kutangkap lewat sudut mata gerak-geriknya yang menerawang ke langit-langit, memperhatikan warna ruang yang cantik dan hangat atau memuja lampion beling tergantung bagai konstelasi yang magis dalam hati. Aku juga menyukainya. Ketika ia mulai membaca, aku melunturkan sedikit rasa superiorku dan berfikir, mungkin memang ada caranya manusia saling berkomunikasi dan memahami rasa tanpa perlu bicara, tanpa intensitas tatap mata. Tanpa pernah saling mengenal.

Pramusaji tadi kembali ke mejaku, mengantarkan sepiring butter cookies berbentuk hati--ada empat isinya, dan bergumam kecil yang kutangkap, 'sambil iseng'. Aku mengucapkan terima kasih satu kali, mataku intens melihat ke matanya, jelas sekali aku berbinar-binar karena ia membalas senyumku malu-malu. Aku sudah bertekad tidak akan pernah meminta ekstra, tetapi kemurahan hati ini benar-benar membuat kerongkonganku tercekat. Apakah kau tahu rasanya ketika ulu hatimu tiba-tiba berdenyut kencang? Sensasi yang ia timbulkan nyaris seperti tonjokan kecil dari dalam. Menciptakan euphoria, sinyal rasa yang otakmu pahami sebagai bahagia. Ketika hendak pulang, kuucapkan padanya terima kasih. Lalu ia katakan padaku, "terima kasih banyak, Kak Stef. Hati-hati di jalan pulang." Rasanya aku berjuta-juta kali lipat jatuh cinta dengan tempat ini, lagi, dan lagi, dan lagi.


Kepada Putri, oh, jangan salah paham terhadapku. Aku sungguh senang (jika tak dapat kau katakan sangat senang) bisa bertemu sahabat penaku, bicara ini-itu. Tetapi harus kukatakan padamu bahwa mungkin aku akan terlalu banyak bicara, atau mengubah arah pembicaraan secara berantakan, atau tidak bisa berlama-lama menjaga kontak mata denganmu. Aku akan gelisah memikirkan apakah kau membenci personalitiku. Aku juga akan kebingungan menata frasa kataku agar tidak terdengar terlalu kaku atau terlalu santai. Aku punya kehidupan yang biasa-biasa saja, ceritaku mungkin tidak menarik, aku belum memikirkan topik apa yang akan kita bahas, mungkin saja pertemuan kita akan canggung pada awalnya, dan aku tak ingin merusak persepsi apapun. Hanya saja, seperti mungkin kau terka, aku manusia yang sulit. Jadi.. bertahanlah menghadapiku.

Kurasa sebelum tanggal-tanggal ini, kau seharusnya sudah membaca pesanku; kuharap demikian. Apakah Minggu malam tanggal 12 atau 19 Maret terdengar bagus untukmu? Beri tahu aku.

Senin, 06 Februari 2017

What Makes You Happy #15


Tepat kemarin aku mulai mengajar privat. Anak orang kaya, nampaknya. Ia tinggi besar, satu tahun usianya dibawahku. Tidak hanya ia sedikit berbeda, instrumen di tubuhnya pun tidak berfungsi baik. Katakanlah he is the worst kind of tone-deaf. Ia membuatkanku earl grey latte yang ia pelajari dari kawannya seorang barista. Lalu memintaku untuk mengambil fotonya dan memasukkannya ke dalam akun Instagram. Ia tentu tidak tahu aku OCD tingkat tinggi akan konten media sosialku. Kami memulai latihan pukul satu siang tepat. Ia agaknya menghitung menit, mengingat tanggal dan hari dengan sangat baik. Tidak, tidak, bukan hanya sedikit. Ia memang berbeda. Gajiku terhitung lumayan dan aku butuh uang banyak untuk mimpi-mimpi besarku tahun ini. Tapi dimanakah tanggung jawabku sebagai seorang tenaga pendidik jika ia tidak dapat berkembang di bidang ini?

Malamnya aku latihan menyanyi. Lagu yang kubawakan berjudul Gloria: I'll Make Music oleh Karl Jenkins. Ia komposer yang hebat dan lagu ini luar biasa. Kurasakan darahku berdesir ketika beberapa disonan membuat ulu hatiku sakit. Kulihat pantulan Cynthia di cermin di hadapanku dan seketika berbalik menyapanya. Aku rindu gadis itu. Ia tipe wanita besar--tinggi besar dan rahangnya kuat. Ia adalah salah seorang dengan suara paling merdu yang kukenal. Sejak mulai bekerja, ia lama tak hadir ke sesi latihan. Kami menghabiskan malam dengan makan bakso dengan teman-teman lain sebelum aku pulang ke kamar dan menangis.

Aku menyalahkan diriku sendiri karena begitu pengecut, begitu murahan. Mengapa aku selalu takut pada kemungkinan sakit hati, sih? Memangnya aku pikir diam begini tidak menyakitkan?

Seandainya saja aku tidak mulai membaca novel romansa itu, saat ini aku mungkin akan baik-baik saja. Pikiranku berkabut, melihat seorang teman memasang foto profil dengan gadis barunya membuatku kalut dan ingin muntah. Teman-temanku begitu sibuk lantaran mereka mulai bekerja. Aku tidak. Aku ingin pulang, tapi sebagian diriku ingin sendirian. Manusia begitu penuh keinginan dan harapan. Ingin mati dan diselamatkan tepat di saat yang bersamaan. Ya Tuhan, aku sudah berjanji tidak akan menyematkan sedikit keping hatiku padamu. Mengapa bisa begitu mudahnya manusia menaruh perasaan?


Ini posting-an ku yang ke lima belas, diketik pada pukul setengah tiga siang bersama seorang teman yang bercerita tentang kopi daratnya bersama seorang wanita (dan ia wanita!). Aku.. merasakan perasaan yang pahit-manis menyelesaikannya, sedikit banyak karena aku bangga telah menyelesaikan sesuatu yang berproses. Di sisi lain aku tidak ingin ini selesai sama sekali. Aku senang melakukan ini denganmu, kau tahu kan? Seolah ada yang kutunggu, dan ketika hal menarik (bukan sekedar senang, bukan sekedar sedih) terjadi, kukatakan dalam hatiku, "ini harus kuingat, agar bisa kuberitahukan kepada Putri." Aku mengundangmu minum teh bersamaku di tempat kesukaanku. Mungkin disana kita bisa mendiskusikan project selanjutnya. Let me know if you're interested. 

------

Jumat, 03 Februari 2017

What Makes Me Happy #14


Alkisah pada suatu masa yang sudah lampau, seorang gadis duduk menghadap cermin. Ia senang sekali memperhatikan pantulannya, karena disanalah ada dunia. Dengan mata sendu dan penuh sayang, ia susuri carut marut luka di wajahnya. Dulu ia sering dipukuli ibunya. Ketika air matanya turun, titik-titik cantik itu berubah menjadi beling. Tak heran lukanya seperti lunturan maskara: hanya saja warnanya seperti koreng. Sejak ia tahu menjadi cantik berarti sakit, ia berjanji untuk tidak pernah lagi menangis. Ketika teman-temannya menggunting sayap-sayap mimpinya, ia setengah mati menahan air matanya tumpah. Bukannya tak cantik, ia hanya tidak bisa lagi menerbangkan cita-citanya. "Aku ini masih aku tanpa mimpiku," katanya, "tapi apa jadinya jika aku terus menerus sedih, membuat diriku semakin buruk rupa?" Ia membanting hancur cermin di kamarnya, tak suka lagi berlama-lama melihat dunia yang jahat. Sejak itu ia tak pernah menangis lagi.

Ketika usianya 17 tahun, orang-orang bilang ia sudah dewasa. Ia hendak bertanya pada sang ibu apa maksudnya, tetapi demikian bencinya, si ibu pergi meninggalkan dia. Dengan beralaskan botol-botol kosong yang ia temukan di pinggir jalan (pada badannya bertuliskan "harapan"), ia berjalan terseok-seok. Ia bahkan tidak tahu apa yang dicarinya. Seperti ada yang hilang: entah tempat, entah waktu, entah seseorang. Ia kira segala sesuatu pasti ada alasannya. Tidak ia paham, sesekali rasa kehilangan bisa muncul, lahir dari perasaan yang monoton. Dengan rongga yang menganga, ia kembali pulang.

Ia teringat masa kecilnya, menghabiskan waktu berlama-lama melihat pantulan cermin. Ia kumpulkan lagi serpihannya yang retak, dan melihat mata seluas dunia (meski ia tak pernah keliling dunia). Pada matanyalah segala keindahan dan harapan berpusar, disanalah dunia yang ia kenal pernah ada. Mereka seperti pola-pola warna, seperti kobaran api dan cahaya malam hari, ledakan emosi serta debu bintang. Mungkin itu sebab ibu dan temannya membenci si gadis. Sesuatu yang begitu indah, begitu berbeda, tidak seharusnya begitu sempurna. Kelihatan sayap mimpinya yang tercabik dan sobek, wajahnya berbekas luka samar-samar. Tetapi harapan pada tatap matanya, seperti berbicara tanpa kata, "masih ada kebaikan."

Ia mulai mengacuhkan segala luka dan cacat yang mengingatkannya akan hal-hal buruk seperti benci dan iri hati. Dengan jarinya yang gemetar, ia menghapus luka di wajahnya dalam sapuan cermin. Tidak apa-apa, pikirnya, aku akan merayakan sedih dan air mataku, jika memang harus. Seperti itulah hatinya mulai terisi dengan penerimaan diri. Seolah serpihan luka yang disapunya menggantikan bagian hatinya. Di dunia mungkin banyak kejahatan, tetapi tidak dengan yang ia kenal dalam benaknya yang sederhana. Disana harapan masih ada, tidak dibuang begitu saja di pinggir jalan. Juga mimpi-mimpinya yang setengah mati. Meski tak bisa ia terbangkan, tetapi dapat berjalan perlahan. Apa yang membuatnya pernah begitu tergesa-gesa? Ketika melihat lagi pantulannya, ia berbahagia karena terlahir kembali. Mungkin menjadi dewasa adalah bagaimana seseorang mau menerima dirinya. Dan menyadari bahwa ia pun ciptaan yang maha sempurna.




Hari terakhir ujianku.
fin.

Jumat, 20 Januari 2017

Tentang Inspirasi

"Selamat natal, Inspirasi."

"Wow, pukul tiga pagi. Seberapa larut tidurmu belakangan ini? Bagaimana hidupmu?"


-----


"Apa kabar dia? Apakah ia baik-baik saja?"

"Kurasa begitu, she's having a delight."



"Apa kabar dia? Apakah ia baik-baik saja?"

"Tidak tahu, ia tidak membalas pesanku. Aku tidak tahu."



"Apa kabar dia? Apakah.. ia baik-baik saja?"

"Sesuatu baru saja terjadi. Ia baru saja berulang tahun. Baru saat itulah aku bicara lagi padanya. Ia bilang keluarganya kerampokan. Uang tabungannya habis."

"Bagaimana dengan mimpi-mimpinya?"

"Entahlah, ia pun mencemaskan hal yang sama."


-----


"Apakah kau baru saja mengirimiku uang?"

"Terima kasih karena sudah kau terima."



"What am I supposed to do with this money?"

"Now that it's yours, it's up to you."



"Aku tidak bisa. Ini terlalu berlebihan."

"Terimalah, sungguh. Hanya itu yang kumiliki untuk membantu. Lagipula dulu aku sering lupa membayar hutang-hutangku, kan? Anggap saja kado ulang tahunmu."



"..."

"Omong-omong, aku minta maaf, ya, atas sikapku yang tak acuh, yang tidak peka pada perasaanmu selama ini. Mungkin kau frustasi. Tapi kau harus tahu, it's always been me."

"..."

"Ya, kurasa begitu saja."

"Terima kasih, Tevinstein."


-----


Semua pesan kami berakhir pada tanda read. Entah aku atau dia. Kami berhenti bicara enam bulan, sebelum aku rasa aku ingin mengucapkannya selamat natal, dimanapun ia berada.

Meskipun segalanya telah berubah, beberapa hal tetaplah sama. Ia masih dirinya, yang berubah-ubah dan tak dapat kuterka. Ia masih menjawabku dengan balasan yang tidak seharusnya, namun lebih membahagiakan karena aku tahu ia memperhatikan detail kecil tentang diriku.

Pesannya masih membuatku lebih senang dibanding pesan teman-teman lain.



Jika kau bertanya-tanya bagaimana aku bisa berpisah darinya dan baik-baik saja menghadapi ini semua, kurasa.. karena ia menjadikanku tetap utuh. Hanya saja masa kami sudah selesai.


"He never said the word, 'I love you,' too. But now I understand."

What Makes Me Happy #13


Tidakkah menyedihkan, kita memasuki postingan-postingan terakhir kita sekarang, Put?

Aku bersumpah atas langit dan bumi, aku menikmati rasa sedih dan nelangsa yang kurasakan ketika melihat ke langit malam. Seperti diriku yang mencari-cari alasan untuk tidak baik-baik saja, kau tahu? Mencari-cari seseorang untuk aku sedihkan, untuk aku pikirkan. Aku hanya heran--jika tak dapat kau katakan sedih--atas begitu banyaknya rasa cinta dan afeksi yang sungguh-sungguh ingin kubagi, tetapi tak ada siapa-siapa disini. Tersebut nama seseorang di benakku, tetapi.. ah, rasanya bukan dia. Karena jika dia orangnya, aku akan tahu.

I started to question my worth, again.

-----

Tentang sedihku dan postingan terakhirmu.

Mungkin saja pada semesta yang berlawanan, kita sedang duduk bersamping-sampingan. Mendiskusikan rasa awan, warna-warna perasaan. Lucu sekali di dunia paralel, ada aku dan kamu yang dekat secara badaniah. Mungkin pula kita bertanya-tanya, menertawakan, bagaimana jadinya jika kita tidak pernah bertemu.

Atas satu-dua kali pertemuan, kita dulu tak banyak bicara, ya? Tapi aku sungguh bersyukur aku mengenal tulisanmu, rasanya seperti bicara dengan diri sendiri.

-----

Sudah lama tidak menulis, I got so much in my mind. Meski aku tidak tahu harus mulai darimana, tetapi menyenangkan rasanya kembali menumpahkan diri dalam tulisan receh ini.

Aku menyukai sentuhan, sungguh. Aku tidak senaif dulu, berfikir bahwa manusia salah jika bergumul dengan nafsu. What can I say? Sentuhan itu menyenangkan, entah apapun maksud dibaliknya. Aku menyukai sentuhan yang bersamamu. Aku merasa jatuh cinta dengan sentuhan kita. Kukatakan padamu, bukan pikiran atau karaktermu yang membuatku suka, tetapi betapa kita cocok dalam sentuhan. Aku juga baru tahu, manusia bisa jatuh cinta pada sisi lain yang satu ini. Baru kutahu, karena baru pertama kali ini kualami. Mungkin beberapa hal tidak selaras dengan nilai yang kita percaya. Mungkin kau merasa kita harus memelihara jarak.. Mengapa kita harus selalu mempersulit segala hal, ketika sesuatu sebenarnya tidak serumit yang kita kira? Why can't we leave things as things are?

Seandainya beberapa hal bisa terus saja sama, selalu begitu. Aku tidak ingin ada yang berubah.

-----

Aku baru sadar, ini bukan postingan yang membahagiakan. Maafkan aku.