Selasa, 15 Maret 2016

Aku (Dia) dan Buku.

Aku mungkin akan memulai opini ini dengan sok tahu.
Aku mungkin akan menuliskannya dalam sajak-sajak tak berima, kosong, receh.
Maka lebih baik aku berubah dulu menjadi gadis itu, si orang ketiga yang serba tahu segalanya.



Anak kecil itu meraba-raba dunia dalam genggaman tangannya. Sesekali jarinya menyentuh ilustrasi buruk rupa yang dibuat seadanya oleh si penulis, sesekali menimbang-nimbang lebih banyak mana: kapas satu truk, atau batu satu karung. Ia menelaah pelan-pelan bacaannya sepulang sekolah, duduk di beranda rumah yang panas. Ia lihat ibunya meracau di belakang dapur, membuat lumpia dan susu kedelai. 
"Pintar, belajar yang benar," ibunya akan berkata, "jadi orang pandai, Nak. Jangan seperti Ibu."
Sementara ia diam, duduk baca buku. Lari dari tanggung jawab bersih-bersih rumah.

Gadis itu berlari bersama kisah-kisah sihir dalam novel terjemahan yang ia pinjam di perpustakaan sekolah. Ia juga menangisi tokoh wanita ketika putus asa ditinggal kekasihnya dalam roman picisan jaman dulu. Di usianya yang masih belasan, belum masuk sekolah menengah pertama, kepada buku ia meletakkan cintanya. Begini. Ia menemukan puisi dan keindahan kata-kata, suatu perjumpaan yang menyenangkan dan membekas. Awalnya mereka bertemu di waktu-waktu kosong dalam lembar koran Minggu milik ayahnya. Lalu sang kata membakar semangatnya lewat buku motivasi dari seorang teman yang sekarang entah dimana. Ia mencari melodi untuk puisi indah Chairil Anwar yang ia temui di buku Bahasa Indonesia, berusaha paham lewat musikalisasi. Kata-kata telah membuatnya hanyut kemana-mana, meski sesekali tidak paham apa maknanya. Terkadang seperti mencintai buku yang rumit, ia mencintai kata-kata sesederhana kata itu ada.

Tidak pernah ia belajar tentang dunia dari ibu bapaknya. Ibunya terlalu lelah untuk mengisahkan dongeng pengantar tidur, dan ayahnya tidak tahu cerita-cerita luar biasa dari penjuru dunia. Sejak kecil gadis itu tumbuh bersama buku. Memahami kemampuan tulisan dan kata-kata dalam mengobrak-abrik alam emosinya. Tidak hanya ia tahu dunia, tetapi juga konspirasi alam semesta dan antariksa. Tidak hanya tertawa karena catatan dan jurnal harian seorang komikus yang naik daun, tetapi juga meratapi nasib cinta tak sampai seorang ODHA yang divonis meninggal karena komplikasi. Baginya membaca buku seperti menelanjangi pikiran seseorang, mencampuri urusan orang lain seakan-akan ia orang penting. Seringkali ia bingung mana yang harus ia percaya, karena setiap tokoh yang ia jumpai dalam buku seperti punya persepsi berbeda tentang.. hal-hal kecil tak terlihat: nilai, keyakinan, atau cinta.

Beranjak dewasa bersama buku membawanya pada dunia yang belum pernah disentuh oleh indranya. Buku membawanya lari dari sudut Jakarta yang berdebu, dari hubungan yang kandas di tengah jalan, dari kemiskinan dan kelumpuhan sosial. Meski dari semua yang pernah ia baca, gadis itu tidak pernah beli satu pun buku. Kecuali satu: buku tulis bergaris. Betapa istimewanya apa yang kemiskinan bawa pada jiwa gadis kecil itu hingga dewasanya! Rasa haus akan ilmu, dan usaha yang tidak putus-putusnya mencari, meminjam kesana kesini. Rasanya seperti bukan ia yang mengusahakan buku, tetapi buku yang berusaha mencarinya. Mendekapnya selalu ketika ia pulang, membuainya dengan keindahan yang bukan milik realita.

Ia jadi bertanya-tanya, apakah ini "aku dan buku" ataukah "aku dan ibuku"?



Tulisan ini dilombakan. Semoga jikapun tidak menang, setidaknya menginspirasi.

1 komentar: