Sabtu, 15 April 2017

Borneo Beer House, Kemang Selatan.


Jakarta tidak pernah tidur. Pelan-pelan kerling mataku membuka dan menutup, mengerjap-ngerjap menghalau pengaruh alkohol. Agaknya aku menghasilkan endorfin yang agak banyak malam ini. Aku tertawa renyah seraya melayangkan pandanganku ke tembok bata merah di hadapanku. Sementara itu, ia menatapku dengan wajahnya yang memerah, "bingung, ya?" tanyanya setengah berteriak. Tidak, jawabku. Aku hanya merasa aneh bisa bersama lelaki ini lagi saat ini, pada momen seperti ini! Kami mengambil beberapa kentang goreng dari piring kedua. Kulihat ia tidak suka mencampur sambal dan mayonaise, tidak sepertiku. Kami sama-sama menggerakkan kepala perlahan mengikuti dentum keras musik yang tidak kupahami. Bukannya aku tidak mengerti, lebih tepatnya tidak bisa menikmati. "Mungkin lo harus sambil mabuk, atau depresi," katanya. "Which one are you?" Sudah kuduga, tidak perlu waktu lama baginya untuk menjawab, "both".

Kami hanyalah dua manusia yang tidak mengerti jadwal temu, kacau. Di jam-jam sibukku, ia terlelap. Di kesendirian malamnya, aku yang tertidur. Ada kalanya untuk sesaat, jam-jam itu terhenti dan kami bertemu diantara waktu yang diselipkan secara paksa. Padahal tahu tidak ada yang melambat atau mengalah untuk kami. Aneh rasanya menyelami pikiran gelapku di tempat seramai ini. Membuatku teringat satu hal. Ketika aku menatap wajahnya yang rupawan, mata kami bertemu lama. Ia mengangkat kedua jarinya sambil terkekeh-kekeh, jaket hitamnya terkulai lemas memperlihatkan sudut lehernya yang jenjang. Untuk ketujuh kalinya, ia membakar Marlboro merah di tangan kanannya. "Lo merah banget," kusentuh pelipis dan pipinya dengan punggung tangan. Aku berlama-lama, menikmati sengatan sensasi yang memang kukenal baik. Entah bagaimana tiga botol bir menjadikannya lebih berwarna, lebih hidup. Bibirnya yang beraroma mentol merah muda sewarna soka. Oh Tuhan, bibir itu. Sudah kukatakan lagi-lagi kami begitu payah menyusun timing. Ada kalanya ketika ia sendiri, aku bersama lelaki lain. Menyelipkan paksa waktu yang kami rasa tak ada. Kali ini aku yang sendiri, ketika ia punya wanita lain. Menyelipkan paksa waktu yang kami rasa tak ada. Tak pernah ada.


Sudah lama kita tidak bertemu, Michael, apa kabar?

Senin, 10 April 2017

Now Playing: Should Have Known Better (Sufjan Stevens)


Pada saat tertentu dalam subuh yang basah, kau bisa bertatapan langsung dengan Purnama. Ia putih cerah dan bulat sempurna, datang dari laki-laki yang membawakanmu oleh-oleh dari perjalanannya ke langit. Purnama menyapamu selalu pada malam-malam yang gemerlapan, ketika kau jauh dari sedih dan dukacita. Rasa bahagia menariknya padamu, ia bagai hantu pemelihara keseruan pesta: satu yang mampu menjadikan semua sel dalam tubuhmu terjaga. Ketika kau mengangkat tanganmu ke udara seperti hendak menari, nadimu akan berkilauan tertimpa cahayanya. Ombak yang bersemayam di rambutmu akan menderu-deru, dan sesuatu dari dalam tubuhmu berpendar seperti fosfor. Diam, coba diam. Di hadapan Purnama, kau jadi yang paling memesona diantara semua ciptaan.

Seperti badai, bulan pasti berlalu. Purnama bosan menatapmu yang tak konsisten, sesaat bahagia sesaat gundah gulana. Kau pikir kau lain dari yang lain? Sebentar lagi juga kau dibuang. Ini toh bukan satu dua kali kau ditinggalkan. Mungkin takdir itu ada dalam rasi bintang dan astrologimu, kadang-kadang bulan yang ini tidak sesuai dengan elemen yang kau sesap. Mungkin Venus cocok, tapi ia tinggi diatas sana. Butuh berapa tahun cahaya baginya untuk sampai padamu? Purnama lelah, ia digantikan oleh saudaranya yang separoh, dan lalu mulai memberikan pekerjaan sampingan pada Sabit untuk menemuimu setiap jelang fajar. Lama-lama bulan hilang. Lama-lama kau kehilangan pesonamu, dirimu. Kau bagai bayang-bayang dan temaram. Begitulah awal mulanya kau mulai karib dengan rasa sepi.


Sepulang dari petualangannya di luar angkasa, laki-laki itu kembali membawa debu bintang. Kerlap-kerlip itu ia satukan dalam satu sabuk panjang berlapis gas-gas tak kasat mata. Ia mengangkatnya dengan takzim, seolah menyulap bintang-bintang untuk tunduk pada perintah lekuk jemarinya. Kali ini ia serahkan perhiasan langit pada wanita lain yang lebih nyata, lebih bahagia. Sejatinya lelaki tidak menyukai wanita yang bersedih hati, bukan? Debu bintang akrab dengan rasinya, bagai merangkul sahabat lama. Oleh wanita itu, sabuknya dilingkarkan di atas kepala sebagaimana mahkota dari batu-batu angkasa: warna-warni, berkedip bergantian dan menyala dalam gelap. Ia tidak akan pernah lagi kekurangan cahaya, ia bertendeng terang yang mengharu biru. Cinta yang berbalas. Pada malam Purnama gerhana, sabuk bintang itu bersinar semakin terang. Hanya pada musim-musim penghujan, keduanya menetes dari pelupuk mataku.



-----

Aku sedang merindukan seseorang, menyadari eksistensiku yang samar-samar di latar belakangnya. Mengira dan menerka-nerka ada sesuatu, namun manusia dan ekspektasi memang bukan kawan baik. Dini hari ini aku ingin menuliskan sedih dalam elemen-elemen kesukaanku: alam semesta dan benda langit. Mungkin dengan begitu, sedihku jadi tidak terasa terlalu sedih.

Tuhanku Yang Maha Pemberi, aku memohon keikhlasan...

Minggu, 09 April 2017

Now Playing: Resah (Payung Teduh)



Aku benar-benar salut dengan orang-orang yang bisa menyimpan segalanya sendirian. Begitu banyak hal, banyak sekali pertanyaan yang berseliweran tumpang tindih sampai-sampai kepalaku sakit. Rasanya jika tidak segera aku tumpahkan aku bisa gila. Aku ini robot yang terprogram untuk mengutamakan mesinku sendiri: agar tidak aus, agar aku tidak mati. Setidaknya begitulah citra diri yang aku pahami. Lelah sekali berpura-pura tertawa, padahal tatapan mataku tidak hanya fokus pada lawan bicara. Mataku sibuk memperhatikan hal lain yang begitu jelas, bahwa aku jatuh hati pada seseorang yang tidak menyukaiku. Tentu saja patah hati bukanlah sesuatu yang kurencanakan dalam waktu dekat, tidak dengan begitu banyak prioritas dan fokus yang harus kukejar. Aku mati-matian menolak, berulang-ulang mengatakan pada diriku sendiri, "tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja." Jadi lagi-lagi aku kembali pada masa yang berlangsung, memasang topeng bahagia dan mengatakan hal-hal lucu. Lalu kudapati diriku pulang dan bicara pada ruang mayaku sendirian. Disini aku bisa teriak, meski gema mengembalikannya padaku selalu. Musik sedih yang kuputar sampai batas maksimal semata-mata karena aku takut mendengar isi kepalaku sendiri. Ia menyukai gadis itu. Namun demikian, hendak kukatakan bahwa aku melalui hari ini dengan luar biasa palsu dan berhasil tidak menangis.


Padahal hari ini, aku sedang patah hati sekali..

Senin, 03 April 2017

Recita 6


Tahun ini aku memasuki tahun terakhirku di dunia perkuliahan. Dan menyadari bahwa terlibat aktif dalam satu organisasi yang kucintai ini adalah hal terbaik yang pernah kulakukan. Aku tidak punya banyak teman diluar kelas-kelas reguler yang berubah setiap enam bulan sekali. Aku juga menetapkan lingkar pertemanan yang semakin kecil yang terdiri dari orang-orang yang tidak pernah kubayangkan. Berada di dalam paduan suara kampus, mengambil bagian dan mencintai PARAMABIRA sungguh-sungguh adalah highlight dari kehidupan kampusku yang sebentar lagi usai. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana jalan kehidupanku jika aku tidak berada disini?

Cerita ini harusnya mengingatkanku akan salah satu malam-malam terbaik kehidupan paduan suara, maka akan kubagikan yang tidak kubagikan di linimasa media sosialku yang lain.

Tahun ini kutandai sebagai tahun terakhirku berpartisipasi dalam Recital. Aku membawakan aria Italia berjudul "Le, Violette" karangan Scarlatti. Laguku begitu ringan dan lincah. Ia berkisah tentang seorang pujangga yang bicara pada bunga violet. Entah sebagai apa perumpamaan itu bisa berarti. Ia mengutukiku atas ambisiku yang begitu besar, katanya. Looking back to what I've become, I can relate so much to it, I guess. Aku menyanyikannya pada G mayor, sebuah pencapaian bahwa aku bisa menyanyikan D5 dengan bersih. Kurasa I did pretty good job, dan teman-teman memujiku. Untuk seorang perfeksionis rendah diri seperti diriku ini, aku selalu berasumsi pujian mereka didasarkan rasa tak enak hati.

Namun datang dari laki-laki ini dan melihatnya tersenyum memesona setelah not terakhir selesai kunyanyikan, aku rasa kali ini teman-temanku tidak berlebihan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mulai bisa berbangga akan suatu hal dalam diriku yang sungguh-sungguh kuasah dari ketiadaan. I hope it leads to greater things.


Juga, aku bertemu dengan Tevinstein Amos. Ia memelukku begitu hangat sampai-sampai aku terkejut. Ia tiba tepat saat giliranku bernyanyi dan menyorakiku kencang sekali. Kami menghabiskan waktu bersama setelahnya, membuatku lupa akan beberapa hal menjengkelkan yang membuat mood-ku turun. Kami berpelukan lagi sebelum ia beranjak pulang. Ia katakan padaku, "It's so good to see you again."

Lalu bagaimana kabar pertahanan diriku selama ini? Tiada sisa.