Minggu, 05 Juni 2016

What Makes You Happy #3

Aku bukan penggemar agama, dan topik tentang itu selalu berbau sensitif untukku. Aku senang memiliki Tuhan, tetapi jujur saja aku tidak pandai dalam beragama. Semakin dewasa aku semakin menyadari bahwa agama adalah institusi buatan manusia yang bisa saja salah. Ungkapan seperti "jangan suka merasa agamamu yang paling benar," adalah ungkapan yang utopis untukku. Tentu saja aku, kamu, mereka, kita semua, merasa bahwa agama kitalah yang paling benar. Bukan berarti yang lain salah, tetapi milik kita yang terbenar, bukan? Jika tidak demikian, untuk apa kita hanya memeluk satu agama tertentu? Kenapa tidak semuanya, atau malah tidak usah sama sekali? Agama ada hanya untuk memberi reward atas hal baik yang kita lakukan, dan hukuman atas perbuatan jahat yang orang lain lakukan terhadap kita. Manusia takut hal yang mereka lakukan berbuah sia-sia, takut kebahagiaan yang sama diterima oleh orang yang kita rasa lebih hina dari kita sendiri. Sementara kita lupa bahwa Tuhan adalah Tuhan yang sama yang mengasihi semua orang sama rata..  Betapa aku merasa konsep keagamaan ini seringkali dibuat jadi begitu munafik oleh sebagian orang (yang katanya taat beragama): bahwa menjalankan perintah agama hanyalah ekspresi rasa takut mendapat dosa dan berlomba-lomba mencari pahala. Ah, tapi ini hanya luapan pikiranku yang liar saja, begini-begini aku masih takut dengan tradisi. Sebut saja aku ini seorang yang konservatif.

Kemarin Minggu, aku menghabiskan sepanjang hari bersama Amanda. Kami mengikuti misa di Katedral, datang 1 jam lebih awal. Aku terkesima dengan suara burung gereja yang saut menyaut di bangunan tua yang megah itu. Tradisional sekali kalau aku bilang bahwa suatu hari aku ingin menikah disana. Tapi toh, aku tidak lagi menjadikan pernikahan sebagai sebuah tujuan dan ritmik kebahagiaanku tidak berpusar disekeliling lelaki atau pasangan hidup. Aku bahagia meski aku sendiri saja.

Di depanku duduk satu keluarga, ayah ibu dan tiga anaknya. Anak terkecil dalam keluarga itu sangat tampan, aku yakin ketika beranjak dewasa ia jadi rebutan gadis-gadis seusianya. Tapi tentu saja, ia tetap anak kecil yang berisik dan rewel. Aku ingat, ingin sekali menegur orang tuanya yang diam-diam tidak berbuat apa-apa untuk menenangkan anaknya yang lasak, tetapi lupa bahwa harus sabar dan toleransi. Intinya aku menelan egoku mentah-mentah. Aku juga berdoa dalam intensi pribadi dalam doa umat, agar Tuhan memberikanku hati yang mau belajar bersabar dalam sehari-hari, since I've been so temperamental all my life.

Anak itu tidak kunjung diam dan semakin berisik ketika Perjamuan Kudus yang tenang. Aku sabar.
Kami pergi makan bakwan malang di bilangan Pasar Baru. Ada wanita berhijab tertawa bersama kawannya. Tawanya menyebalkan sekali, sungguh! Aku sabar.
Aku bertemu pengendara motor yang bodoh luar biasa. Aku sabar.
Setidaknya aku tidak mengeluh..


Ternyata begitu. Ketika kita memohon kesabaran, Tuhan tidak serta merta memberikannya. Tetapi Tuhan memberikan serangkaian kejadian untuk kita bersabar, agar kita belajar.

Begitu pula adanya dengan segala sesuatu yang pernah kita minta.




Lesson learned!

1 komentar: