Senin, 12 September 2016

What Makes You Happy #10

Kurang dari seminggu lagi liburan selesai. Rasanya berat sekali harus berpura-pura menyukai semua orang, mencari teman baru di lingkungan belajar ras-ras yang kompetitif, serta berusaha mengambil hati dosen yang seringkali kupikir kinerjanya tidak sesuai dengan gelar yang mereka sandang. Tidak terasa aku memasuki tahun terakhirku! Wow. Sebentar lagi aku resmi jadi pengangguran. Aku tidak pernah menyukai perintah dari orang yang tidak kompeten (dimana kita tahu sekarang sedikit sekali mereka yang cerdas dan bijaksana, dunia dimenangkan oleh orang kaya dan anak-anak mereka), juga tidak puas mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan suasana hati dan kesukaanku. Ini juga yang beberapa lama aku pikirkan dengan matang: sulit sekali jika aku harus hidup mengikuti norma (sekolah, kuliah, lulus, kerja, menikah) hanya untuk menyenangkan hati masyarakat, dan betapa lelahnya segala kepura-puraan ini. Harus sampai kapan? Ah, aku harus segera merencanakan liburan.

Aku setuju dengan kemampuan menulis yang terkikis setelah lebih dari 3 minggu. Bahkan buatku, jangankan tiga. Satu minggu tanpa aksara sudah merupakan tindak pembodohan diri, kau tahu? Biasa aku mensiasatinya dengan bicara sendiri. Orang tuaku pikir aku gila--terutama ketika aku kedapatan, dan malu sekali rasanya! Tapi sering kali, kurasa aku butuh berceloteh dengan diriku ketika itu menyangkut hal-hal yang luar biasa membebani, seperti salah satu postingan dari akun pembela satwa liar di Instagram yang baru-baru ini kuikuti, pernikahan dini yang kuhadiri, atau pola hidup vegan temanku yang mengejutkan. Aku berterimakasih atas self independence ku yang melonjak begitu tinggi, sungguh. Aku merasa lebih kuat menjadi diri sendiri.

Entah sejak kapan, aku semakin jauh dengan si "sumber inspirasi". Kami tidak saling benci, juga tidak bermasalah. Aku hanya.. pada akhirnya mendapati diriku tidak lagi bebas ketika bersamanya, juga terkungkung dengan ketakutan membuatnya bosan. Alhasil kami tidak lagi bicara. Kami saling menyapa dan berteguran, kami juga menanggapi satu sama lain jika salah satu mengajukan pertanyaan, atau pernyataan.. Hanya saja kami tidak lagi punya keinginan untuk memulai dan peduli. Mungkin ini yang mereka katakan, 'setiap hubungan punya tanggal kadaluarsa,' dan aku rasa.. aku tidak apa-apa jika ia tak ada. Ia bukan lagi satu-satunya sumber inspirasi yang aku punya.

Aku bertanya-tanya, kemana bagian diriku yang cengeng dan manja itu? Hal ini seharusnya meresahkanku, tetapi tidak. Aku juga seharusnya hancur setengah mati. Tetapi tidak. Aku berasumsi bahwa kini aku sudah lebih dewasa dalam menyikapi kesendirian.

Oh iya, kau ingat postingan terakhirku? Aku dan temanku kini menjadikan pertengkaran kami lelucon bodoh yang hanya kami yang paham. Kau tahu maksutku, bukan? Syukurlah.

Sabtu, 03 September 2016

What Makes You Happy #9

Begitu banyak hal terjadi tanpa jeda waktu aku untuk mensyukurinya.
Aku ingat sekali minggu lalu: ketika aku berterima kasih dalam doa syukur mingguanku,
bahwa saat ini aku sedang tidak bergantung pada siapapun, bahwa aku dikelilingi teman-teman yang kusukai, juga hobi dan cita-cita jangka panjang yang kuusahakan. Kondisi keuanganku tidak baik memang, tapi juga tidak buruk. Aku punya kesibukan yang menyenangkan, dan ditempatkan dalam komunitas yang membuatku berkembang.
Lalu aku ingin sekali segalanya seperti ini saja. Sungguh, semua sudah cukup.

Sampai akhirnya untuk suatu hal yang begitu sepele dan tidak terduga, aku bermasalah dengan salah satu kawan baik. Awalnya kurasa aku hanya akan mengacuhkan sampai semua reda dengan sendirinya, tapi aku begitu tertekan dengan pikiran dan respon negatif yang hanya ada di pikiranku saja. Aku tahu aku harus selesaikan apa yang dapat kutangani. Maka aku mengajak dia bicara. Baru saja.

Aku belum tahu apa jawaban dan pandangannya tentang permintaan maafku. Belum tahu apakah keadaan akan kembali seperti semula, apakah kita akan menertawakan kejadian ini di kemudian hari sebagai teman baik, atau malah hanya akan semakin parah..

Tapi aku sudah menelan egoku sendiri dan berkawan dengan perasaan mengalah yang jarang sekali aku lakukan. Oleh karenanya, apa yang membuatku senang adalah bahwa aku tahu, kedewasaanku tumbuh dari bagaimana aku mengutamakan teman-teman, ketimbang diriku sendiri. Aku sudah mengalah demi terjaganya suatu pertemanan.

Toh, aku sudah lupa mengapa aku bisa begitu marah pada awalnya. Sekarang yang kurasa hanyalah bahwa aku rindu.