Selasa, 27 Oktober 2015

Insufficient

I'm feeling so blue right now. It's almost dark blue.
I miss you so much, to the fact that I know I'll lose your presence soon.
To the fact that I miss everything about you and your blabbery mouth.
The kind of miss that even seeing your face won't be enough.
I'm fine, you are too,
We're fine, it's nothing.

I wonder what's wrong with me.

Senin, 26 Oktober 2015

A.

I love you along with the Time.

I love you in speculation of my own.

I love you by giving in.

I love you in every hour.
When I wake up in the morning,
when I'm tired and about to sleep.

I love you without doubts.

I love you by submission,
Knowing that the choice to leave, was all yours.

Like giving you the freedom to go.
Believing, hoping, that you won't.

I love you more than I allow myself to.

Minggu, 25 Oktober 2015

Preferensi

Untuk satu kali saja di dalam hidup, aku tidak merasa baik-baik saja seperti ini. Tidak bisa, aku tidak bisa bersikap biasa. Sungguh, kamu berharap apa? Ketika aku tahu kamu akan pergi jauh, atau punya kemungkinan sangat besar untuk pergi nantinya, mengulur cita-cita sepanjang umurmu. Aku juga tidak bisa marah ketika bukan aku yang kamu ajak berfoto. Diperparah ketidakmampuanku untuk mengajakmu diskusi tentang rasa cemburu, karena aku tidak punya hak. Karena untuk satu kali saja di dalam hidupku denganmu, aku marah karena aku bukan siapa-siapa. Terlebih bukan padamu, bukan pada keadaan, pada diri sendiri. Aku mulai dengan spekulasi, ya. Mungkin aku tidak secantik standarmu? Atau karena kamu tahu pada akhirnya bukan aku? Cukup sudah, ya, aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kamu tidak ada. Tenang saja, aku tahu preferensi bukanlah salahmu. Jika bukan aku, jika ada yang lebih menyenangkan, sama seperti kamu selalu bertanya, memang aku siapa?

Lalu apa katamu tadi? Aku tidak sempat jawab, karena kamu bicara saat aku ucapkan terima kasih. Kamu pikir mungkin untuk tebengan, tapi buatku untuk kesadaran yang kamu bawa padaku malam ini. Bahwa menjadi bukan apa-apanya kamu, sama sengsaranya menjadi bukan apa-apa di dunia. Ah, iya! Kamu bilang kamu tidak sabar menunggu saatnya hujan turun?


Aku juga, sayang.
Aku juga.

Kamis, 22 Oktober 2015

Pagi penuh doa.

Pagi ini ada namamu muncul. Kamu aneh sekali. Agaknya hanya kamu yang mengerti bahwa hidup itu milikmu, tidak perlu lagi kamu bagikan atas dasar cari perhatian. Kecuali jika kamu pikir hidupmu tidak penting. Kamu tahu tidak? Buatku kamu tetap semenarik itu. Hanya saja, memang aku yang sentimentil, karena aku merasa seperti kamu juga menghapus aku dan ceritaku. Tapi seperti halnya rindu dan cinta, kamu itu orang yang menyuarakan hidupmu diam-diam. Ketika kamu ada, aku tidak perlu lagi pertanyakan apapun tentang hidup, karena kamu adalah wujud nyata hidup itu sendiri.

Aku jadi tahu sekarang, mengekspos hidup bukan lagi prioritasmu. Tapi aku, aku tahu semuanya tanpa perlu kamu pampang sana-sini.
Aku jadi paham sekarang, mungkin aku orang terpilih yang boleh tahu kisah dan cerita hidupmu, atau sesederhana bagaimana rambutmu panjang dan jerawatmu tumbuh.
Aku jadi mengerti sekarang, bahwa canduku sebenarnya ada pada kamu, bukan mediamu.

Pagi ini tidak hujan, tapi anginnya cukup dan mahatahari tidak menyengat. Aku bangun pagi tanpa dering alarm. Pagi ini ada namamu muncul. Baru aku sadar betapa damainya pagi seperti ini.

Selasa, 20 Oktober 2015

Untuk akhir Bulan Mei


Hanya kamu yang bisa semenarik itu saat bicara,
entah karena ekspresi atau sorot matamu yang jenaka,
meski waktu kamu sedang merasa tidak enak hati.

Hanya kamu yang bisa selantang itu menyuarakan isi hati,
tentang sesuatu yang ringan: seperti udara atau kemacetan
atau marahanmu yang membuatku merasa lucu.

Hanya kamu yang tersenyum seperti itu,
seperti matahari, seperti panel warna, seperti keindahan,
yang buat aku terang lagi ketika aku redup,
yang buat aku merasa optimis akan hari-hari baik.

Hanya kamu yang seperti itu mencintai,
dengan tidak berkata-kata,
dengan cara yang sederhana sekaligus luar biasa,
cinta-cinta yang tidak berisik.
Dengan perlahan, pelan-pelan, tapi menenangkan
sehingga aku tahu aku punya pegangan
ketika di tengah jalan aku oleng karena kehidupan.

Hanya kamu yang sebebas itu,
untuk pergi kala butuh waktu sendiri,
dan selalu datang lagi hari esok.
Menyuapi aku dengan obrolan tentang masa depan,
dan tidak pernah memberhentikanku untuk mengejar cita.
Kamu bilang itu hidup, kita hidup dengan memenuhi hidup.
Aku tau, ada kamu. Akan selalu ada kamu.
Kemanapun, dimanapun,
aku sudah titipkan hatiku padamu.



Hanya kamu yang bisa membuatku berhenti,
ketika aku mengingatmu di sela hariku,
di malam saat aku membicarakanmu pada Tuhanku,
terlebih waktu aku melihat kamu di hadapanku,

tersenyum seperti itu.

Kamis, 15 Oktober 2015

I found this piece.

"Jadi pada akhirnya kita memang harus mengerti, bahwa dalam hidup ini ada berbagai macam cinta. Dan kita tidak seharusnya menilai orang lain atas cinta mereka. Karena biar bagaimanapun, cinta tetaplah cinta. Ada orang yang lebih mencintai harga diri mereka ketimbang pasangan mereka, sebaliknya ada orang yang lebih mencintai pasangan mereka daripada diri mereka sendiri. Dan kita tidak seharusnya merendahkan semuanya. Karena cinta adalah tentang bagaimana kita memilih prioritas kita, dan memilih mana yang lebih layak dikasihi. Intinya, mungkin orang mencintai pasangan mereka lebih dari diri mereka sendiri, karena mereka berubah menjadi orang yang lebih baik, dengan siapapun mereka bersama. Dan dengan begitu bukankah pada akhirnya kita semua memang mencintai diri kita? Hanya saja jika kita bertemu dengan orang yang menjadikan hidup kita lebih baik, siapa yang tidak mencintai orang itu?"

Senin, 12 Oktober 2015

Conciliation.

I took my time alone to see everything. Especially to step aback and look at how nice life has been. Sure I sometimes couldn't differ it from dramas, but it's okay, really. I gotta say, though, life's nicer with problems. This might be a long post, I warned you.

------------------------------

I'm handling love stories with great advice, I wonder now why would I be the one with none if I'm that great? While asking myself why, I look at my friend's relationship. And how terrible it has been to keep convincing themselves the way they wanted to believe in something. He loves me, he would never cheat. He's kind, and he promised me 'forever' anyway. Blah. People will always be people, you know. They disappoint and they screw up lots of time, it's just our nature. When you pour your all into this shit, you would have no love left for yourself. It would all be just self pity one day, sooner or later, believe me. The idea of self love got twisted right here. Although maybe, some people love themselves so much they can't handle getting hurt once they broke up or facing loneliness. But some healing gets better after its worst, right? They were just not brave enough to deal with the after effect. And also, how numbers of years are not an accurate measurement of how stable relationship they're in. They said 'I love you' everyday, at the same time questioning 'is that really is?' like a mantra. Now how could you define love when it makes you feel insecure and terrible, most of the time? False alarm, friends. You do not need that kind of love. It's a hunger, of affection.

He never said the word love, unless it is necessary. Or when he felt the urge to say it, like when I said, 'I love you,' after a long talks with him. He would probably say, 'I love you too,' if I were lucky. We don't even chat on daily basis. But when things happened at work--anything, really!--we think of each other without saying it out loud. Like we've been sharing our thought telepathically: of how this MV he might like, the meal I found delicious and I knew he would too, the new girl at work whom he hated at the moment, the hatred towards stupid people and traffic jam, or simply just how happy I am that I have found him. All nothingness, and everythingness at the same time. My nobody as well as everything in my universe.

I don't remember being this safe when I'm with anybody else. Safe, as in... I know I don't have to worry about losing him. He doesn't need to tell me how he is, if he loves me today or not. He doesn't have to talk to me all the time, cause we both got lives to work on. He doesn't have to convince me that there's nobody else but me. He doesn't have to stop me from achieving my dreams, cause he probably knew that he's been in it, and that being close is never about the proximity, so 'accomplish your biggest wildest dreams while you got me, here'. And the most important thing is, I don't have to ask. Because somehow, I knew.




and vice versa.






I'm so thankful I've found you. Thank you, Tevinstein Amos, for putting up with me and being so skeptical towards my thoughts and judgement. I've learned to be a wiser person by then. For being yourself when you're with me, to the most highest form. For that I could be me, too, and know I won't be judged in return. So, yes! I love you. As much as I love myself, I love you too, cause you transformed me into a happier, better, human being who had grown love towards herself finally. You put that love into me. I love you. I love you, so much. 

Sabtu, 10 Oktober 2015

Ketika Bermusuhan.

Aku batu. Sekeras kepalamu atau tawa canggungku. Keras tiada ampun. Aku melempar diriku pada kamu, berharap mengintimidasi. Intens, berulang kali. Tak masalah seberapa sering aku terkikis. Aku tahu aku tetap lebih keras darimu. Sampai aku tahu apa itu kamu.

Asam. Cukup dosisnya untuk membunuhku. Setetes, dua tetes, mengalir di nadi-nadiku. Waktu aku bertemu denganmu, korosif penuh. Penyerahan total. Meluruh, tak bernafas.


Habis.


Sekeras itulah dan seluruhnya, aku mencintaimu.

Minggu, 04 Oktober 2015

Menangisi Hujan


Forgiveness. Lies in the disappointment of waiting for the Rain, which has not yet arrived.
Also in the broken expectations of well-spent Sunday, but instead lying on a bed, wondering still of non stop 'what if's. Forgiveness awaits in the front door of self inability: to understand, to look closely, to trust, to accept things the way they are. But most of all, in the best version of self reconstruction. After all what's left, forgiveness healed. I was healed.