Senin, 10 April 2017

Now Playing: Should Have Known Better (Sufjan Stevens)


Pada saat tertentu dalam subuh yang basah, kau bisa bertatapan langsung dengan Purnama. Ia putih cerah dan bulat sempurna, datang dari laki-laki yang membawakanmu oleh-oleh dari perjalanannya ke langit. Purnama menyapamu selalu pada malam-malam yang gemerlapan, ketika kau jauh dari sedih dan dukacita. Rasa bahagia menariknya padamu, ia bagai hantu pemelihara keseruan pesta: satu yang mampu menjadikan semua sel dalam tubuhmu terjaga. Ketika kau mengangkat tanganmu ke udara seperti hendak menari, nadimu akan berkilauan tertimpa cahayanya. Ombak yang bersemayam di rambutmu akan menderu-deru, dan sesuatu dari dalam tubuhmu berpendar seperti fosfor. Diam, coba diam. Di hadapan Purnama, kau jadi yang paling memesona diantara semua ciptaan.

Seperti badai, bulan pasti berlalu. Purnama bosan menatapmu yang tak konsisten, sesaat bahagia sesaat gundah gulana. Kau pikir kau lain dari yang lain? Sebentar lagi juga kau dibuang. Ini toh bukan satu dua kali kau ditinggalkan. Mungkin takdir itu ada dalam rasi bintang dan astrologimu, kadang-kadang bulan yang ini tidak sesuai dengan elemen yang kau sesap. Mungkin Venus cocok, tapi ia tinggi diatas sana. Butuh berapa tahun cahaya baginya untuk sampai padamu? Purnama lelah, ia digantikan oleh saudaranya yang separoh, dan lalu mulai memberikan pekerjaan sampingan pada Sabit untuk menemuimu setiap jelang fajar. Lama-lama bulan hilang. Lama-lama kau kehilangan pesonamu, dirimu. Kau bagai bayang-bayang dan temaram. Begitulah awal mulanya kau mulai karib dengan rasa sepi.


Sepulang dari petualangannya di luar angkasa, laki-laki itu kembali membawa debu bintang. Kerlap-kerlip itu ia satukan dalam satu sabuk panjang berlapis gas-gas tak kasat mata. Ia mengangkatnya dengan takzim, seolah menyulap bintang-bintang untuk tunduk pada perintah lekuk jemarinya. Kali ini ia serahkan perhiasan langit pada wanita lain yang lebih nyata, lebih bahagia. Sejatinya lelaki tidak menyukai wanita yang bersedih hati, bukan? Debu bintang akrab dengan rasinya, bagai merangkul sahabat lama. Oleh wanita itu, sabuknya dilingkarkan di atas kepala sebagaimana mahkota dari batu-batu angkasa: warna-warni, berkedip bergantian dan menyala dalam gelap. Ia tidak akan pernah lagi kekurangan cahaya, ia bertendeng terang yang mengharu biru. Cinta yang berbalas. Pada malam Purnama gerhana, sabuk bintang itu bersinar semakin terang. Hanya pada musim-musim penghujan, keduanya menetes dari pelupuk mataku.



-----

Aku sedang merindukan seseorang, menyadari eksistensiku yang samar-samar di latar belakangnya. Mengira dan menerka-nerka ada sesuatu, namun manusia dan ekspektasi memang bukan kawan baik. Dini hari ini aku ingin menuliskan sedih dalam elemen-elemen kesukaanku: alam semesta dan benda langit. Mungkin dengan begitu, sedihku jadi tidak terasa terlalu sedih.

Tuhanku Yang Maha Pemberi, aku memohon keikhlasan...

2 komentar: