Minggu, 19 Februari 2017

What Makes Me Happy #16 (Encore)


Aku bukan peggemar berat kopi dan teh, sepertinya aku akan baik-baik saja tanpa keharusan menegak kafein atau kandungan apapun dalam teh untuk melanjutkan hari tanpa merasa pusing. Sedikit banyak aku bersyukur aku cukup independen hanya dengan air putih setiap pagi. Probably I was just a woman of routine.

Kemarin malam aku duduk di kafe yang sama, di mejaku setiap kali aku datang. Memesan pesanan yang sama (berani sumpah, aku selalu memesan green tea blend, peppermint petty organic) karena hanya itu yang kusuka. Sungguh peculiar membayangkan kau pun menyesap rasa yang sama, punya sensori terhadap kenikmatan yang sama, itu membuat hatiku hangat. Aku mengeluarkan Michael Faudet dari dalam tas, dan membaca sambil lamat-lamat menyentuh cetakan setiap kata. Beberapa hal muncul dalam pikiranku, selintas saja, begitu cepat. Jadi aku mengeluarkan buku catatanku dan mulai menulis. Tak lama setelah itu, seorang pramusaji--kali ini wanita--menghampiriku dan bertanya apakah aku bersedia mengisi komentar pelanggan. Tentu saja!, kukatakan padanya. Aku mulai mengisi panjang lebar lembar putih bercetak biru tua mengilap itu. Sepenuh hatiku, sejujur yang hatiku bisa. Aku ingat sebagian besar pujian, salah satunya kukatakan aku tak pernah tahu manusia bisa begitu melekat pada eksistensi sebuah tempat. Setelah itu aku mengembalikannya pada si pramusaji dan pergi ke toilet--yang adalah bagian favoritku pada setiap kali kunjunganku!

Ketika aku kembali, ada seseorang duduk berseberangan dari mejaku. Ia nampaknya agak bingung dengan pesanannya dan memesan espresso, mungkin hanya itu yang aman setidaknya. Sepanjang hidupku, aku memang cenderung posesif pada hal-hal yang bukan milikku. Jadi kutunjukkan padanya betapa teritori ini, ruang ini, adalah punyaku. Aku mulai bersenandung kecil, menggoreskan tinta hitam pekat di kertas coklat buku kecilku sambil mengaduk-aduk cangkir peppermint tea yang sudah dingin. Mejaku penuh benda, dan aku jelas nyaman. Si lelaki mulai melihat-lihat rak buku di sudut, mengambil satu, dan membawanya kembali ke tempat duduk. Beberapa kali kutangkap lewat sudut mata gerak-geriknya yang menerawang ke langit-langit, memperhatikan warna ruang yang cantik dan hangat atau memuja lampion beling tergantung bagai konstelasi yang magis dalam hati. Aku juga menyukainya. Ketika ia mulai membaca, aku melunturkan sedikit rasa superiorku dan berfikir, mungkin memang ada caranya manusia saling berkomunikasi dan memahami rasa tanpa perlu bicara, tanpa intensitas tatap mata. Tanpa pernah saling mengenal.

Pramusaji tadi kembali ke mejaku, mengantarkan sepiring butter cookies berbentuk hati--ada empat isinya, dan bergumam kecil yang kutangkap, 'sambil iseng'. Aku mengucapkan terima kasih satu kali, mataku intens melihat ke matanya, jelas sekali aku berbinar-binar karena ia membalas senyumku malu-malu. Aku sudah bertekad tidak akan pernah meminta ekstra, tetapi kemurahan hati ini benar-benar membuat kerongkonganku tercekat. Apakah kau tahu rasanya ketika ulu hatimu tiba-tiba berdenyut kencang? Sensasi yang ia timbulkan nyaris seperti tonjokan kecil dari dalam. Menciptakan euphoria, sinyal rasa yang otakmu pahami sebagai bahagia. Ketika hendak pulang, kuucapkan padanya terima kasih. Lalu ia katakan padaku, "terima kasih banyak, Kak Stef. Hati-hati di jalan pulang." Rasanya aku berjuta-juta kali lipat jatuh cinta dengan tempat ini, lagi, dan lagi, dan lagi.


Kepada Putri, oh, jangan salah paham terhadapku. Aku sungguh senang (jika tak dapat kau katakan sangat senang) bisa bertemu sahabat penaku, bicara ini-itu. Tetapi harus kukatakan padamu bahwa mungkin aku akan terlalu banyak bicara, atau mengubah arah pembicaraan secara berantakan, atau tidak bisa berlama-lama menjaga kontak mata denganmu. Aku akan gelisah memikirkan apakah kau membenci personalitiku. Aku juga akan kebingungan menata frasa kataku agar tidak terdengar terlalu kaku atau terlalu santai. Aku punya kehidupan yang biasa-biasa saja, ceritaku mungkin tidak menarik, aku belum memikirkan topik apa yang akan kita bahas, mungkin saja pertemuan kita akan canggung pada awalnya, dan aku tak ingin merusak persepsi apapun. Hanya saja, seperti mungkin kau terka, aku manusia yang sulit. Jadi.. bertahanlah menghadapiku.

Kurasa sebelum tanggal-tanggal ini, kau seharusnya sudah membaca pesanku; kuharap demikian. Apakah Minggu malam tanggal 12 atau 19 Maret terdengar bagus untukmu? Beri tahu aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar