Jumat, 03 Februari 2017

What Makes Me Happy #14


Alkisah pada suatu masa yang sudah lampau, seorang gadis duduk menghadap cermin. Ia senang sekali memperhatikan pantulannya, karena disanalah ada dunia. Dengan mata sendu dan penuh sayang, ia susuri carut marut luka di wajahnya. Dulu ia sering dipukuli ibunya. Ketika air matanya turun, titik-titik cantik itu berubah menjadi beling. Tak heran lukanya seperti lunturan maskara: hanya saja warnanya seperti koreng. Sejak ia tahu menjadi cantik berarti sakit, ia berjanji untuk tidak pernah lagi menangis. Ketika teman-temannya menggunting sayap-sayap mimpinya, ia setengah mati menahan air matanya tumpah. Bukannya tak cantik, ia hanya tidak bisa lagi menerbangkan cita-citanya. "Aku ini masih aku tanpa mimpiku," katanya, "tapi apa jadinya jika aku terus menerus sedih, membuat diriku semakin buruk rupa?" Ia membanting hancur cermin di kamarnya, tak suka lagi berlama-lama melihat dunia yang jahat. Sejak itu ia tak pernah menangis lagi.

Ketika usianya 17 tahun, orang-orang bilang ia sudah dewasa. Ia hendak bertanya pada sang ibu apa maksudnya, tetapi demikian bencinya, si ibu pergi meninggalkan dia. Dengan beralaskan botol-botol kosong yang ia temukan di pinggir jalan (pada badannya bertuliskan "harapan"), ia berjalan terseok-seok. Ia bahkan tidak tahu apa yang dicarinya. Seperti ada yang hilang: entah tempat, entah waktu, entah seseorang. Ia kira segala sesuatu pasti ada alasannya. Tidak ia paham, sesekali rasa kehilangan bisa muncul, lahir dari perasaan yang monoton. Dengan rongga yang menganga, ia kembali pulang.

Ia teringat masa kecilnya, menghabiskan waktu berlama-lama melihat pantulan cermin. Ia kumpulkan lagi serpihannya yang retak, dan melihat mata seluas dunia (meski ia tak pernah keliling dunia). Pada matanyalah segala keindahan dan harapan berpusar, disanalah dunia yang ia kenal pernah ada. Mereka seperti pola-pola warna, seperti kobaran api dan cahaya malam hari, ledakan emosi serta debu bintang. Mungkin itu sebab ibu dan temannya membenci si gadis. Sesuatu yang begitu indah, begitu berbeda, tidak seharusnya begitu sempurna. Kelihatan sayap mimpinya yang tercabik dan sobek, wajahnya berbekas luka samar-samar. Tetapi harapan pada tatap matanya, seperti berbicara tanpa kata, "masih ada kebaikan."

Ia mulai mengacuhkan segala luka dan cacat yang mengingatkannya akan hal-hal buruk seperti benci dan iri hati. Dengan jarinya yang gemetar, ia menghapus luka di wajahnya dalam sapuan cermin. Tidak apa-apa, pikirnya, aku akan merayakan sedih dan air mataku, jika memang harus. Seperti itulah hatinya mulai terisi dengan penerimaan diri. Seolah serpihan luka yang disapunya menggantikan bagian hatinya. Di dunia mungkin banyak kejahatan, tetapi tidak dengan yang ia kenal dalam benaknya yang sederhana. Disana harapan masih ada, tidak dibuang begitu saja di pinggir jalan. Juga mimpi-mimpinya yang setengah mati. Meski tak bisa ia terbangkan, tetapi dapat berjalan perlahan. Apa yang membuatnya pernah begitu tergesa-gesa? Ketika melihat lagi pantulannya, ia berbahagia karena terlahir kembali. Mungkin menjadi dewasa adalah bagaimana seseorang mau menerima dirinya. Dan menyadari bahwa ia pun ciptaan yang maha sempurna.




Hari terakhir ujianku.
fin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar