Minggu, 04 Oktober 2020

Jalan Sore

Jalan sore tidak hanya tentang jalan, ternyata. Aku temui dan sadari begitu banyak hal, seperti kebiasaan-kebiasaan tetangga. Di salah satu rute yang sering kulintasi, ada seorang pria India yang tiap sore selalu duduk di tengah jalan depan rumahnya. Ia menyeret bangku rotan dan duduk saja, sudah. Ia tampak bosan dan malas di usianya yang mungkin jelang tujuh puluh. Kalau aku melintas di sampingnya, aku bisa mendengar siaran berita yang ia setel dari ponselnya; yang seringnya juga tak ia saksikan. Terkadang sang istri menemaninya di sesi duduk-duduk itu, dan wangi semerbak yang kental menempel langgeng di udara. Aku akan melintas sekali, dua kali, berkali-kali. Ingin mengenali dan terus ingat aromanya.

Masih di rute yang sama, ada seekor anjing poodle berbulu putih yang sering berpapasan denganku. Pada lehernya diikat tali penuntun, dan seorang asisten rumah tangga mengikutinya ke mana-mana, termasuk berhenti tiap beberapa meter sekali kala si anjing menandai area kekuasaannya. Menurutku lucu, bagaimana tali kekang itu hilang fungsi dan memperlihatkan siapa yang lebih berkuasa atas siapa. Ngomong-ngomong soal 'menandai', aku bertanya-tanya, akankah besok-besok ia kenali bau amis kencingnya sendiri?

Selain mengenali kebiasaan, jalan sore membawaku dalam misi pencarian rumah terbaik. Tapi tak butuh waktu lama menentukannya. Pilihan itu jatuh pada sebuah rumah bergaya Bali dengan empat pahat batu besar berbentuk dewa-dewa yang tak kukenali namanya, menjaga empat sudut pagar batu. Setiap kali, aku menyempatkan diri berlama-lama berdiri mengamati. Temboknya tinggi, terbuat dari semen yang demi estetika, sengaja dibiarkan tidak rata. Gerbangnya mistis, dan nyaris setengahnya tertutup daun-daun pohon kamboja. Dinding rumah itu bata merah, dengan ulir-ulir di tiap pilar penyangga. Kukira rumah itu, meski malam turun sekalipun, justru akan menyala-nyala dalam gelap.

Di salah satu beranda yang menghadap jalan, ada lonceng angin yang bergemerincing sesekali, kalau sore sedang dingin seperti hari ini. Sehabis hujan tadi, di atas daun-daun pohon kamboja banyak titik air yang jatuh menetesi ronce-ronce melati dan bunga telang. Tanaman itu tumbuh rambat mengelilingi pagar rumah, seolah jadi satu dengan sekelilingnya. Semakin diperhatikan lama, rumah itu, dalam hati ada rasa seperti diajak masuk ke dunia yang antik. Berdecak-decak aku kagum. Orang-orang kaya ini hebat, ya. Mereka membangun rumah, yang di dalamnya berdiri hutan, sekaligus sebuah kota!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar