Hanya jika.

Jika saja kamu mau. Aku bisa bangun pagi, pukul enam. Bagiku itu sudah pagi, kamu tahu? Bukan untuk ibadah atau saat teduh dengan Ilahi. Tapi untuk bangunkan kamu, supaya kamu tidak terlambat. Memunguti ceceran kehidupan yang harus kamu susun dalam satu hari ke depan. Juga untuk sekedar mencium pucuk kepalamu, meski aku tahu kamu selalu benci jika ada yang sentuh-sentuh rambutmu.

Jika saja kamu mau. Aku bisa pergi keluar saat makan siang. Bukan mencarimu atau makanan untukku makan. Tapi untuk beli pulsa, lalu menyapamu lewat resistensi jarak. 'Halo, bagaimana harimu?' begitu aku akan menyapamu, untuk sekedar kamu tahu bahwa aku ada jika kamu ada apa-apa. Kamu juga bisa tanya bagaimana aku, jika kamu mau. Aku akan katakan betapa hariku penuh dengan lukisan wajahmu di langit-langit kepalaku. Lalu mungkin, jika kamu mau, kita akan bertemu. Bukan karena ingin bicara, tapi karena saling rindu lekukan wajah yang disembuhkan lewat secangkir dua cangkir kopi.

Jika saja kamu mau. Aku akan pulang lebih awal, naik metromini. Menuju rumah yang katanya milik kita. Menyiduk air dari bak mandi dan memanaskannya untukmu. Sembari itu, aku juga akan siapkan makanan yang kubeli di jalan, supaya ketika kamu pulang rumah kita penuh aroma bumbu, dan juga cinta di uap dapur. Lalu jika kamu mau, kita bisa duduk di depan TV, nonton MTV atau acara musik--yang kamu bilang bisa kamu dengar seharian--dan menyanyi. Seperti kita dulu saat kita masih lebih muda.

Jika saja kamu mau. Aku bisa menggaruk punggungmu, dengan ujung kuku jari tanganku pelan-pelan, karena aku tahu kamu akan cepat mengantuk. Kita bisa saling berhadapan setelah gosok gigi, dan bicara soal noneksistensi mahkluk luar angkasa, ketakutan terbesar kita, atau khayalan tentang anak. 'Ayo kita berdoa,' demikian aku akan mengajakmu. Lalu dalam rentetan ucapan monoton, dengan cara kita masing-masing, kita berdoa untuk malam.

Jika saja kamu mau. Aku bisa lakukan ini berkali-kali. Beribu-ribu kali. 
Untukmu, setiap hari.