Selasa, 26 Mei 2015

#3 Acong


Aku lupa ambil gambarnya. Anak itu lagipula bandel sekali. Namanya Acong. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengeja namanya dengan benar, pun apakah itu adalah nama sesungguhnya. Dari tampangnya saja aku sudah tahu dia ini bukan keturunan Tiong hua. Acong sepertinya nama samaran, nama yang anak lainnya buat untuknya, mungkin karena ia terlalu nakal. Entahlah, aku pun tak tahu menahu soal itu.

Ketiga kali aku ada di sana, aku jadi tahu anak-anak itu seperti apa. Dan sedikit banyak tahu bagaimana cara menghadapi mereka. Sebelum tiba, temanku beritahu aku begini, "Hati-hati, Stef (seolah sangat-sangat berbahaya). Nanti disana ada anak gendut, namanya Acong. Dia masa ngatain gue bego, 'ah, bego lu kak,' begitu katanya." Aku diam saja. Gila juga, pikirku. Mereka ini benar-benar definisi paling tepat dari anak jalanan. Mungkin aku harus ajari dia etika.

Saat aku bertemu dia, bajunya warna ungu. Ia tampak seperti terong gemuk. Aku awalnya tidak perhatikan dia. Aku sedang belajar bersama Anisa. Saat kami mengulang angka dalam Bahasa Inggris, Acong hampiri mejaku. Ia kemudian ikut nimbrung dengan pelajaran yang kubawakan. "Belajar Bahasa Inggris ya, kak?" katanya cengengesan, ia bicara sambil garuk-garuk puncak kepalanya dengan tangan kiri, tangan kanan memegang perut buncitnya. "Iya, ayo sini ikutan," kataku mengajaknya duduk. Ia ikuti aku mengulang one, two, three... Aku tanya dimana rumahnya, kelas berapa ia sekarang. Ia tinggal di sebrang sanggar, tidak jauh, ia bilang. Umurnya 13 tahun, baru kelas 3 SD. Sebenarnya ia tidak nakal--kecuali fakta bahwa anak kecil memang suka berlari--dan bisa jadi penurut jika diberitahu baik-baik. Tipikal sekali. Waktu aku hendak pulang, botol minumku ketinggalan. Kebetulan aku beli yang besar, 1,5 liter. Ia teriakkan aku, "Kak! Ini galon aqua kakak ketinggalan!" aku bisa dengar sarkasnya, mungkin karena aku bawa botol besar-besar. Bukannya marah atau tersinggung, aku malah jadi tertawa. Acong juga.

Hari ini tidak seramai 2 pertemuan sebelumnya. Tapi lumayanlah, kami tetap kewalahan, kok! Kami jadi senang sekali ketika mereka (juga, seperti kami) senang diajak berfoto. Acong tidak mau berdiri di sebelahku. Ia tadinya sibuk lari-lari, aku takut sekali sanggar roboh. Sampai akhirnya kusuruh dia kumpulkan semua temannya untuk diajak foto bersama, ia tidak menolak. Sepertinya ia sangat menikmati momen kepemimpinannya: suruh ini itu, berdiri di sini di situ.. Ketika akhirnya Acong kuajak tos, yang kuingat jarinya hitam-hitam.

Aku jadi berencana membawakannya gunting kuku di pertemuanku yang ke empat besok.

Aku di depan. Acong adalah anak kedua di sebelah kiriku. Ia pakai baju ungu.

Hari ini singkat saja. Aku bisa mengajar dengan baik. Dan aku jadi belajar juga, bahwa jika aku mau--dan berusaha berbaik hati sedikit saja, sebenarnya aku bisa menaklukkan apa saja.


26 Mei 2015, Sanggar Kemanggisan

2 komentar:

  1. Steff sebelum gw selesai baca gw kira ini acong yang pas kita sd hahahaa -cindy

    BalasHapus
    Balasan
    1. I am so glad that you read my blog. Hahahaha ini tugas kuliah gue btw. Oh! Acong yang itu baru baru ini main ke rumah gue masa.

      Hapus