Tampilkan postingan dengan label syukur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syukur. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Oktober 2020

Jalan Sore

Jalan sore tidak hanya tentang jalan, ternyata. Aku temui dan sadari begitu banyak hal, seperti kebiasaan-kebiasaan tetangga. Di salah satu rute yang sering kulintasi, ada seorang pria India yang tiap sore selalu duduk di tengah jalan depan rumahnya. Ia menyeret bangku rotan dan duduk saja, sudah. Ia tampak bosan dan malas di usianya yang mungkin jelang tujuh puluh. Kalau aku melintas di sampingnya, aku bisa mendengar siaran berita yang ia setel dari ponselnya; yang seringnya juga tak ia saksikan. Terkadang sang istri menemaninya di sesi duduk-duduk itu, dan wangi semerbak yang kental menempel langgeng di udara. Aku akan melintas sekali, dua kali, berkali-kali. Ingin mengenali dan terus ingat aromanya.

Masih di rute yang sama, ada seekor anjing poodle berbulu putih yang sering berpapasan denganku. Pada lehernya diikat tali penuntun, dan seorang asisten rumah tangga mengikutinya ke mana-mana, termasuk berhenti tiap beberapa meter sekali kala si anjing menandai area kekuasaannya. Menurutku lucu, bagaimana tali kekang itu hilang fungsi dan memperlihatkan siapa yang lebih berkuasa atas siapa. Ngomong-ngomong soal 'menandai', aku bertanya-tanya, akankah besok-besok ia kenali bau amis kencingnya sendiri?

Selain mengenali kebiasaan, jalan sore membawaku dalam misi pencarian rumah terbaik. Tapi tak butuh waktu lama menentukannya. Pilihan itu jatuh pada sebuah rumah bergaya Bali dengan empat pahat batu besar berbentuk dewa-dewa yang tak kukenali namanya, menjaga empat sudut pagar batu. Setiap kali, aku menyempatkan diri berlama-lama berdiri mengamati. Temboknya tinggi, terbuat dari semen yang demi estetika, sengaja dibiarkan tidak rata. Gerbangnya mistis, dan nyaris setengahnya tertutup daun-daun pohon kamboja. Dinding rumah itu bata merah, dengan ulir-ulir di tiap pilar penyangga. Kukira rumah itu, meski malam turun sekalipun, justru akan menyala-nyala dalam gelap.

Di salah satu beranda yang menghadap jalan, ada lonceng angin yang bergemerincing sesekali, kalau sore sedang dingin seperti hari ini. Sehabis hujan tadi, di atas daun-daun pohon kamboja banyak titik air yang jatuh menetesi ronce-ronce melati dan bunga telang. Tanaman itu tumbuh rambat mengelilingi pagar rumah, seolah jadi satu dengan sekelilingnya. Semakin diperhatikan lama, rumah itu, dalam hati ada rasa seperti diajak masuk ke dunia yang antik. Berdecak-decak aku kagum. Orang-orang kaya ini hebat, ya. Mereka membangun rumah, yang di dalamnya berdiri hutan, sekaligus sebuah kota!



Rabu, 30 Mei 2018

Ditulis, dengan penuh cinta



Hari-hari seperti berlari tanpa berhenti, tak berjarak. Saat ini, kehidupan tidak sekadar berputar. Kehidupan berlari, berdetak, berhenti, lalu berlari lagi. Saat ini, ada individu lain yang begitu mengutuhkan, bungaku yang tumbuh. Ia berawal dari sajak kemudian menjadi wujud doa yang terlalu cepat dijamah. Ternyata begini rasanya saling jatuh cinta. Perencanaan yang hilang, waktu-waktu yang tak terukur, serta malam resah berganti damai, juga hatiku yang berkata, "terima kasih, terima kasih sekali."

Kata orang, jatuh cintalah perlahan, jangan tergesa-gesa, pada orang yang baik hatinya. Benarkah harusnya demikian? Hingga akhirnya aku menemukan potongan-potongan diriku pada seseorang seperti Wirvan Liegestu, aku tak pernah tahu diriku ini tak utuh. Intinya, aku bersyukur ia menemuiku. Ia tidak tahu, kan, berapa lama aku memintanya pada semesta, sampai ia perlahan, pelan-pelan, mulai melihatku ada.



--

Hari ini, Wirvan Liegestu merayakan hari jadinya yang ke-24 tahun. Waktu adalah.. sesuatu yang luar biasa, bukan? Karena pada detik, menit, hingga hari dan tahun yang baginya sudah tepat, waktu tidak hanya mampu mempertemukan, tetapi juga menciptakan rasa yang tidak pernah kau duga. Malam lalu, aku menyaksikan detik bergulir, sampai hari berganti. Sudah tanggal 31 Mei. Aku menduga banyak hal baik akan muncul. Aku melihat sekeliling ruang, lalu berhenti pada matanya.

Ia katakan padaku, "It's been a great year,"

"Yes," jawabku, "yes, it has."

Seraya menemukan senyumnya merekah, aku memeluknya erat. Bagaimana waktu bisa tahu, bahwa hari ini, setelah tahun-tahun yang berlalu, akhirnya ia menemukanku disini, pada usia yang lebih siap, saat kedewasaan menghampirinya bagai kawan lama yang pulang dari perantauan.


"Happy birthday, baby."


--

Jumat, 09 Maret 2018

Tentang aku dan sebuah peluang


Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak mengambil peluang Jerman yang ada di depan mataku. Bukannya tidak ingin, hanya saja seiring berjalannya waktu ternyata aku lebih memilih rasa hati dan dengan siapa aku akan pergi. Lagipula, aku tahu kesempatan ini akan datang lagi. Kami akan pergi sekali lagi dengan tujuan, amanah, dan waktu yang lebih pasti.

Aku belajar bahwa apa yang kurencanakan dan kucita-citakan ternyata bisa saja berjalan tak sesuai keinginanku. Tapi aku juga belajar untuk tenang, karena segala hal punya alasan, dan aku ingin apapun yang seharusnya terjadi, memang terjadi di waktu dan saat yang tepat. Untunglah aku tidak memaksakannya tumbuh. Untunglah aku tahu, dan dengan demikian jauh lebih berlega hati, bahwa ada hal lebih baik yang menanti aku kembali.



Terima kasih, ya, sudah bertumbuh dan menjadi lebih dewasa. Hari ini pulanglah, tidur sendiri, nikmati malam dengan dirimu dan cahaya lilin jadi temanmu. Serapi alam raya, pahami betapa ajaib semesta ini bekerja. Bukan pada waktu orang lain, tapi pada waktumu sendiri.

Senin, 22 Januari 2018

Doaku pada suatu Senin, petang


Tuhan, terima kasih sudah memberiku ketahanan
untuk melihat kebaikan yang menimpa semua orang.
Waktu mereka seperti berlari. Aneh, aku malah sedang berhenti.

Terima kasih sudah membantuku menerima keindahanku,
memberi pemahaman bahwa meski aku bertumbuh menjadi mawar,
tidak membuatku lebih buruk rupa dari bunga matahari.

Tuhan, terima kasih sudah berbicara lewat alam semesta,
aku jadi tahu apa yang aku inginkan, tahu wujud kebaikanMu.
Dunia terlalu singkat dan sederhana untuk kuhabiskan
tanpa melakukan hal-hal yang kusenangi.

Aku pun sadar, kaya-raya bukan tujuan utamaku,
melainkan rasa, melainkan bahagia.
Terima kasih atas rasa syukurnya, ya Tuhanku.
Nikmat sekali menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Aku tahu nilai diri dan kapasitasku.
Sebagaimana aku tahu, ia pun begitu.


Sekarang aku menguarkan ambisiku jauh ke langit,
ke tempat Kau mungkin berada.
Aku tuturkan khawatir, keraguan, dan mimpiku
untuk menemuiMu,

untuk Kau lepaskan disaat yang tepat.

Kamis, 02 November 2017

Buta Warna


Semalam, aku menghabiskan waktu menonton di bioskop bersama Jonathan. Dalam perjalanan ke gedung pertunjukkan, kami melintas di bawah simpang susun Semanggi. Jakarta menyala-nyala malam ini. Joe berdecak kagum, mengajakku melayangkan pandang ke lampu jalan serupa bintang, berkedap-kedip terbentang sejauh jembatan layang itu. "Sebentar lagi Natal," katanya bergumam. Aku mengangkat tanganku tinggi di udara, melepaskan peganganku dari pangkal kain bajunya dari atas bangku motor yang kami kendarai, menghirup udara malam. Kebebasanku. "Sebentar lagi Natal," aku mengulang perkatannya. Membenarkan. Menyadarkan. Merah muda yang cantik sekali, pikirku dalam diam. Seperti sisi feminis malam di Jakarta, yang selama ini terlalu macho bertahan: Jakarta tak pernah tidur.

Perjalanan semalam mengingatkanku akan konsep warna. Kau tahu, tidak. Akbar buta warna. Pengetahuan itu membuatku ingin tertawa lebar-lebar. Lucu sekali bermain tanya jawab akan persepsi yang ia lihat. Hijauku dan hijaunya, pasti berbeda. Ia tidak mampu membedakan ungu dan biru. Baginya, warna ungu pada terong hanyalah sebuah pengetahuan umum.

Aku ada, aku nyata. Aku adalah entitas yang solid dan setiap hari bersiborok dengan kehadiran pikiran. Aku jadi berfikir sendiri. Seringkali, begitukah cara kita memahami kehidupan dan segala sesuatu? Begitu pula hubungan manusia dengan individu? Apa yang kupahami abu-abu, pun abu-abu dipersepsi orang lain, meski pada kenyataannya kita melihat dunia secara berbeda. Tidakkah mengesankan ketika perbedaan dapat menyepakati suatu konsep yang sama tentang keindahan, tentang bagaimana manusia melihat bumi dan alam raya, serta tersenyum oleh karenanya.



My muse is in everybody's DNA. I love deep thoughts and good talks. I think that is what makes human the most interesting for me, the ability to think and question things, as well as to feel and connecting emotions. As if we're all creature with the same antenna, we connect to each other like none ever could.

Kamis, 26 Oktober 2017

Untuk PARAMABIRA dan Hati Kita



Kepada setiap orang dalam perjuangan di balik kemenangan Maasmechelen yang beralih fungsi menjadi rumah tempat rasa hatiku berpulang.

P.S: Gak akan lupa pagi hari 6 Oktober, betapa sedihnya kita diingatkan seberapa sayangnya kita pada sosok Rainier Revireino, seberapa besar ingin kita yg sama untuk bawa pulang kemenangan untuk Indonesia, serta serentetan kata-kata ini, 

"Gue gak tau kapan akan nyanyi lagi sama kalian. Mungkin ini terakhir kali.." (Hegra Soetrisno)

"Kita semua sayang Pepi kan? Sebentar lagi Pepi ultah. Dia udah memberikan lebih dr porsi seorang pelatih. Ayo kita kasih yg terbaik juga buat Pepi." (Eduard Pratama)

"Gue adalah orang pertama di keluarga gue yg pernah ke Eropa.." (Jonathan Edward)

"... meski bosen gimanapun, setidaknya kita ada. Duduk di belakang laki-lakinya, kita support mereka, kita support satu sama lain." (Yohana Theresia Stefani)



Astaga. Terima kasih atas tahun terbaik dalam hidupku, PARAMABIRA.

Kamis, 19 Oktober 2017

Maascmechelen, 2017


My Paramabira,
congratulations on our achievements:

2nd place of Mixed Choir Category,
2nd place of Equal Voice Category,
Best Performance of the Compulsory Work of Mixed Choir, and 
The Prize of the Audience.

---

Ketika tujuan dan keinginan kita yang sama menjadi doa yang terwujud,
tetaplah merunduk seperti padi yang menguning,
tapakkan kakimu pada tanah, kariblah dengan ibu bumi.
Ketika kau telah menerima kebaikan semesta sebaik ini, tengadahlah,

di bawah Tuhan yang menjelma malam,
dalam takzim dan sembah semahdi,
mengucap syukurlah,

mengucap syukurlah sepenuh hati.

---

I am so proud of us.

Singing Marendeng Marampa (Arr. Hegra Soestrisno)

Piso Surit (Arr. Amilio Fahlevi) is one of the best Indonesian folksong I've sung.

Details, hand gestures, crumples, and gold finishes.

My precious, I present you, the male choir.

When feminism is not an issue.

Close up look to the basses section.

Singing Ahtoi Porosh, one of the best piece they brought that I loved.

Singing Yamko Rambe Yamko (Arr. Agustinus Bambang Jusana).

Tenors and their expressions.

The eminent Gayatri Mantram, on pitch.

The complete mixed choir, and I was smiling 'cause I was living a life.

Having this idea crystal clear in my head before even taking it.

Now that it ends, 
I found out somehow that
there's nothing more frightening than
having your dreams come true.

Senin, 16 Oktober 2017

Dalam Perjalanan ke Tempat Latihan


Here are some pictures that Audy took, just to remind me of how amazing nature is when it comes to autumn. We got to walk a lot, minutes spent admiring beautiful greeneries and blue skies. While having melodies wryly ringing on our hearts, with heart as light as the first December snow.

MiMA -- and Sir Joan Cornella hanging there.

A morning walk to the studio.

Was waiting for the light to turn green.

Walked pass this structured red bridge.

I was so happy, living life.

The garden nearby we crossed.

Pigeons eating whole bread.

One of Brussels' best museum I've seen.

The color changes as the autumn came.

The other side of the museum.

In front of the studio we rehearsed. 

While waiting to get inside.

The road full of cars, sometimes people pass by, and uniform blocks of building.

I'll miss this. I will, I definitely will.

Senin, 18 September 2017

Malam Tujuh Belas September


Sebuah perayaan keberagaman,
dan hadirat syukur pada Sang Maha Pencipta,
Tuhan yang Maha Baik,
Allah semesta alam.


Buatku, konser ini bercerita tentang kebaikan.
Dan tidak ada kebaikan serta kebajikan
yang pergi tanpa meninggalkan
rasa syukur.

Gayatri Mantram, semoga semua mahkluk berbahagia.

Marendeng Marampa, pesta Toraja.

Untuk Indonesia. Dengan ini kami pamit.

Kepada Tuhan kami yang satu.

Bersama Clairene (Alto 1)

Meski telah berjalan baik, masih banyak yang harus dibenahi.
Aku ingat seorang teman berkata padaku,
"Aku juga takut. Tapi kita sama-sama, kan. Gak sendirian."

Di luar batas kemampuanku,
aku harus tetap optimis.

Senin, 11 September 2017

September


Pada awal September, tanah belum basah.
September datang membawa cerita dan kisah melankolis,
juga air mata, hujan yang mengalir dari mataku.
September menjanjikan akhir yang pahit-manis.
Ada sesuatu yang mengharu-biru, ada sesuatu yang seperti duka
menggantung di udara, menekan, menghimpit.

Kemarin malam hujan turun. Aku sedang bersama cinta dalam hidupku.
Ada senandung di udara, tertimpa derap-derap langkah hujan.
Hatiku penuh dengan lelaguan yang menyenangkan.
Kulitku bertemu kulit mereka, tatapan kami bertemu.
Mereka tak berhenti menari. Aku tak menghentikan nyanyianku
yang semakin ditelan gelegak petir dan adzan maghrib.
Semoga ada akhir yang baik dari setiap perjalanan ini.

Malam itu aku tersenyum. Aku tak berhenti tersenyum.

Senin, 03 April 2017

Recita 6


Tahun ini aku memasuki tahun terakhirku di dunia perkuliahan. Dan menyadari bahwa terlibat aktif dalam satu organisasi yang kucintai ini adalah hal terbaik yang pernah kulakukan. Aku tidak punya banyak teman diluar kelas-kelas reguler yang berubah setiap enam bulan sekali. Aku juga menetapkan lingkar pertemanan yang semakin kecil yang terdiri dari orang-orang yang tidak pernah kubayangkan. Berada di dalam paduan suara kampus, mengambil bagian dan mencintai PARAMABIRA sungguh-sungguh adalah highlight dari kehidupan kampusku yang sebentar lagi usai. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana jalan kehidupanku jika aku tidak berada disini?

Cerita ini harusnya mengingatkanku akan salah satu malam-malam terbaik kehidupan paduan suara, maka akan kubagikan yang tidak kubagikan di linimasa media sosialku yang lain.

Tahun ini kutandai sebagai tahun terakhirku berpartisipasi dalam Recital. Aku membawakan aria Italia berjudul "Le, Violette" karangan Scarlatti. Laguku begitu ringan dan lincah. Ia berkisah tentang seorang pujangga yang bicara pada bunga violet. Entah sebagai apa perumpamaan itu bisa berarti. Ia mengutukiku atas ambisiku yang begitu besar, katanya. Looking back to what I've become, I can relate so much to it, I guess. Aku menyanyikannya pada G mayor, sebuah pencapaian bahwa aku bisa menyanyikan D5 dengan bersih. Kurasa I did pretty good job, dan teman-teman memujiku. Untuk seorang perfeksionis rendah diri seperti diriku ini, aku selalu berasumsi pujian mereka didasarkan rasa tak enak hati.

Namun datang dari laki-laki ini dan melihatnya tersenyum memesona setelah not terakhir selesai kunyanyikan, aku rasa kali ini teman-temanku tidak berlebihan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mulai bisa berbangga akan suatu hal dalam diriku yang sungguh-sungguh kuasah dari ketiadaan. I hope it leads to greater things.


Juga, aku bertemu dengan Tevinstein Amos. Ia memelukku begitu hangat sampai-sampai aku terkejut. Ia tiba tepat saat giliranku bernyanyi dan menyorakiku kencang sekali. Kami menghabiskan waktu bersama setelahnya, membuatku lupa akan beberapa hal menjengkelkan yang membuat mood-ku turun. Kami berpelukan lagi sebelum ia beranjak pulang. Ia katakan padaku, "It's so good to see you again."

Lalu bagaimana kabar pertahanan diriku selama ini? Tiada sisa.



Jumat, 31 Maret 2017

"Lingkaran Seni"


Selamat malam, Aksara. Aku berjanji hendak menulis akhir pekan lalu, namun beberapa hal buatku pusing bukan main dan akhirnya memilih untuk abai. Selamat malam, Aksara. Minggu-minggu ini terlupakan, luput dari eksistensimu. Maafkan aku. Aku akan mulai menemuimu lagi.

19 Maret, jika aku tidak salah, ya? Selalu nyaris hampir merampungkan tulisan tentang pertemuanku dengan Putri. Obsesif kompulsif yang kupelihara ini yang selalu dengan nyaringnya berkata, "nanti dulu, tunggu semua tenang. Sekarang sedang chaotic. Dikala seperti ini, kau tidak boleh menulis. Begitulah caramu menjaga kesakralan suatu momen yang menyenangkan." 

Jadi lagi-lagi aku menurut.

-----

Kepada Putri, sahabat penaku. Aku senang kau sama inginnya denganku untuk menjadikan pertemuan ini semacam 'kopi darat', katamu. Hatiku malam itu penuh dengan rasa khawatir dan sensasi debar yang menyenangkan. Sudah berapa lama aku tidak melakukan hal ini? Bertemu teman yang hanya kuketahui keberadaannya dari ruang virtual yang maya dan abu-abu. Bertemu denganmu semacam mematahkan paradigmaku: kau nyata.

Kepada Putri, pendengar yang baik. Aku berterima kasih atas antusiasmu menyambut ceritaku yang keras kepala. Atas pola pikir yang sejalan, kisah-kisah inspiratif tentang Reyna--yang buatku semakin menyukainya, serta cerita di balik tato warna merahmu. Yang kupikirkan hanyalah kau tidak bisa lagi mendonor darah, namun tidak apa-apa. It looks good on you. Aku percaya pada mimpimu, kau tahu? Aku benar-benar yakin kau bisa capai apa yang kau ragukan. Mimpi itu perlu, Put. Setidaknya membayangkan tercapainya mimpimu harus cukup membuatmu bahagia, menyulut sumbu-sumbu di dasar hatimu yang kau sebut harapan. Manusia hidup dengan itu.

Kepada Putri, pengamat yang luar biasa. Now that I typed this, sepertinya kau baik dalam seluruh panca inderamu, ya? Aku senang kau menyukai keindahan pojok itu. Aku lega kita jatuh cinta pada ornamen magis yang sama. Aku menikmati detik-detik hening yang kita habiskan mengagumi gagang telepon kuno, buku-buku bekas berbahasa asing, dan tekstur kayu atau tembok yang kau sentuh. Akhirnya aku tahu, ada satu orang yang sungguh-sungguh paham, bagaimana rasanya menjadi aku sepenuh-penuhnya.



Aku punya banyak cerita baru. Kapan kau ada waktu?

Kamis, 23 Februari 2017

Gloomy Friday


Pagi ini tidur pukul setengah lima jelang adzan subuh. Pagi ini pula aku bangun tanpa sengaja setidaknya pukul sembilan. Biasanya aku tidak akan bangun secepat ini, sampai-sampai harus pasang alarm agar tidak melewatkan pagi hari. Kepalaku kembali memutar skenario kekalutan semalam, rasanya benar-benar belum luntur. Kulihat ke luar jendela, nampaknya hujan sebentar lagi turun. Udara akhir-akhir ini begitu bersahabat. Aku merasa lapar sekali. Maka bukannya kembali tidur, aku beranjak bangun untuk membeli sebungkus nasi. Kuhitung sudah lebih dari 10 hari aku makan makanan yang sama setiap hari, satu hari bisa dua kali. Aku bukan penggemar berat cabai dan makanan pedas, tapi aku mulai menemukan rasa yang cocok dengan lidahku pada satu sendok penuh cabe ijo di warteg AW. Probably I was just a woman of routine, pikirku. Mas-mas berkacamata yang melayaniku mungkin heran setiap hari aku bisa makan menu yang sama, setiap kali pula sok-sok berfikir seolah aku akan memutuskan memilih menu yang berbeda. Jika aku bisa menamai manusia, aku akan menamainya Robin. Seperti seorang temanku yang berotot yang kuubah namanya menjadi Brandon, atau gadis introvert berkacamata dengan pribadi menyenangkan yang kupanggil Olive. Semua tanpa alasan yang jelas, aku hanya punya kecenderungan sembarangan mengubah nama teman-temanku karena kurasa lebih cocok demikian. Sepuluh ribu rupiah harga menuku pagi ini, angka yang genap dan aku punya uang pas. Kenyataan ini membuatku merasa beruntung dan penuh harapan. Dalam perjalanan pulang, hujan kecil mulai turun. Hujan itu berubah besar tepat ketika aku membuka pintu kamar tidur yang lupa aku kunci.

Mudah tergerak adalah dua kata yang melekat pada alamiahku. Dalam beberapa kesempatan aku rasa sifat ini positif, membawaku pada kedalaman ilmu yang tidak pernah kusukai sebelumnya. Dari 'mudah tergerak' itulah aku mulai menulis dan jatuh cinta pada literatur. Aku juga menemukan diriku pada lukisan, ternyata aku bisa mengsketsa ulang self-portrait dengan cukup baik. Bermain gitar, menyanyi seriosa. Tidak sempurna, sih, tetapi seolah alasan ini cukup, aku mudah tergerak, kok! Disatu sisi, aku jadi menjambangi begitu banyak hal, terkadang rasanya begitu overwhelming dan aku mulai mengutuki diriku yang tidak terlahir multi talenta. Namun, lihatlah ini. Kepada diriku yang kusayang, ingatlah betapa kecintaanmu akan berbuah manis sebentar lagi, seluruh kesulitan dan kerja kerasmu hanya akan jadi bumbu-bumbu utama dalam pengalaman hidup yang membuatmu berada di puncak dunia. Lihat ini, ingatlah betapa beruntungnya kau ada dalam sesuatu yang begitu besar. Kau tidak lagi hanya tergerak, kau yang menggerakkan hati dan jiwa orang lain. Berbahagialah.



Selamat berkompetisi, Paramabiraku sayang. Aku mengulang-ulang dalam hati, Tuhan Yang Maha Baik, terima kasih. Sebuah kutipan dari jurnal yang semalam suntuk kutelanjangi habis-habisan. Melukai lagi-lagi sudut hatiku yang masih luka, tapi keadaannya cocok sekali. Aku punya perasaan aku akan sering menulis tahun ini.

Minggu, 19 Februari 2017

What Makes Me Happy #16 (Encore)


Aku bukan peggemar berat kopi dan teh, sepertinya aku akan baik-baik saja tanpa keharusan menegak kafein atau kandungan apapun dalam teh untuk melanjutkan hari tanpa merasa pusing. Sedikit banyak aku bersyukur aku cukup independen hanya dengan air putih setiap pagi. Probably I was just a woman of routine.

Kemarin malam aku duduk di kafe yang sama, di mejaku setiap kali aku datang. Memesan pesanan yang sama (berani sumpah, aku selalu memesan green tea blend, peppermint petty organic) karena hanya itu yang kusuka. Sungguh peculiar membayangkan kau pun menyesap rasa yang sama, punya sensori terhadap kenikmatan yang sama, itu membuat hatiku hangat. Aku mengeluarkan Michael Faudet dari dalam tas, dan membaca sambil lamat-lamat menyentuh cetakan setiap kata. Beberapa hal muncul dalam pikiranku, selintas saja, begitu cepat. Jadi aku mengeluarkan buku catatanku dan mulai menulis. Tak lama setelah itu, seorang pramusaji--kali ini wanita--menghampiriku dan bertanya apakah aku bersedia mengisi komentar pelanggan. Tentu saja!, kukatakan padanya. Aku mulai mengisi panjang lebar lembar putih bercetak biru tua mengilap itu. Sepenuh hatiku, sejujur yang hatiku bisa. Aku ingat sebagian besar pujian, salah satunya kukatakan aku tak pernah tahu manusia bisa begitu melekat pada eksistensi sebuah tempat. Setelah itu aku mengembalikannya pada si pramusaji dan pergi ke toilet--yang adalah bagian favoritku pada setiap kali kunjunganku!

Ketika aku kembali, ada seseorang duduk berseberangan dari mejaku. Ia nampaknya agak bingung dengan pesanannya dan memesan espresso, mungkin hanya itu yang aman setidaknya. Sepanjang hidupku, aku memang cenderung posesif pada hal-hal yang bukan milikku. Jadi kutunjukkan padanya betapa teritori ini, ruang ini, adalah punyaku. Aku mulai bersenandung kecil, menggoreskan tinta hitam pekat di kertas coklat buku kecilku sambil mengaduk-aduk cangkir peppermint tea yang sudah dingin. Mejaku penuh benda, dan aku jelas nyaman. Si lelaki mulai melihat-lihat rak buku di sudut, mengambil satu, dan membawanya kembali ke tempat duduk. Beberapa kali kutangkap lewat sudut mata gerak-geriknya yang menerawang ke langit-langit, memperhatikan warna ruang yang cantik dan hangat atau memuja lampion beling tergantung bagai konstelasi yang magis dalam hati. Aku juga menyukainya. Ketika ia mulai membaca, aku melunturkan sedikit rasa superiorku dan berfikir, mungkin memang ada caranya manusia saling berkomunikasi dan memahami rasa tanpa perlu bicara, tanpa intensitas tatap mata. Tanpa pernah saling mengenal.

Pramusaji tadi kembali ke mejaku, mengantarkan sepiring butter cookies berbentuk hati--ada empat isinya, dan bergumam kecil yang kutangkap, 'sambil iseng'. Aku mengucapkan terima kasih satu kali, mataku intens melihat ke matanya, jelas sekali aku berbinar-binar karena ia membalas senyumku malu-malu. Aku sudah bertekad tidak akan pernah meminta ekstra, tetapi kemurahan hati ini benar-benar membuat kerongkonganku tercekat. Apakah kau tahu rasanya ketika ulu hatimu tiba-tiba berdenyut kencang? Sensasi yang ia timbulkan nyaris seperti tonjokan kecil dari dalam. Menciptakan euphoria, sinyal rasa yang otakmu pahami sebagai bahagia. Ketika hendak pulang, kuucapkan padanya terima kasih. Lalu ia katakan padaku, "terima kasih banyak, Kak Stef. Hati-hati di jalan pulang." Rasanya aku berjuta-juta kali lipat jatuh cinta dengan tempat ini, lagi, dan lagi, dan lagi.


Kepada Putri, oh, jangan salah paham terhadapku. Aku sungguh senang (jika tak dapat kau katakan sangat senang) bisa bertemu sahabat penaku, bicara ini-itu. Tetapi harus kukatakan padamu bahwa mungkin aku akan terlalu banyak bicara, atau mengubah arah pembicaraan secara berantakan, atau tidak bisa berlama-lama menjaga kontak mata denganmu. Aku akan gelisah memikirkan apakah kau membenci personalitiku. Aku juga akan kebingungan menata frasa kataku agar tidak terdengar terlalu kaku atau terlalu santai. Aku punya kehidupan yang biasa-biasa saja, ceritaku mungkin tidak menarik, aku belum memikirkan topik apa yang akan kita bahas, mungkin saja pertemuan kita akan canggung pada awalnya, dan aku tak ingin merusak persepsi apapun. Hanya saja, seperti mungkin kau terka, aku manusia yang sulit. Jadi.. bertahanlah menghadapiku.

Kurasa sebelum tanggal-tanggal ini, kau seharusnya sudah membaca pesanku; kuharap demikian. Apakah Minggu malam tanggal 12 atau 19 Maret terdengar bagus untukmu? Beri tahu aku.

Senin, 06 Februari 2017

What Makes You Happy #15


Tepat kemarin aku mulai mengajar privat. Anak orang kaya, nampaknya. Ia tinggi besar, satu tahun usianya dibawahku. Tidak hanya ia sedikit berbeda, instrumen di tubuhnya pun tidak berfungsi baik. Katakanlah he is the worst kind of tone-deaf. Ia membuatkanku earl grey latte yang ia pelajari dari kawannya seorang barista. Lalu memintaku untuk mengambil fotonya dan memasukkannya ke dalam akun Instagram. Ia tentu tidak tahu aku OCD tingkat tinggi akan konten media sosialku. Kami memulai latihan pukul satu siang tepat. Ia agaknya menghitung menit, mengingat tanggal dan hari dengan sangat baik. Tidak, tidak, bukan hanya sedikit. Ia memang berbeda. Gajiku terhitung lumayan dan aku butuh uang banyak untuk mimpi-mimpi besarku tahun ini. Tapi dimanakah tanggung jawabku sebagai seorang tenaga pendidik jika ia tidak dapat berkembang di bidang ini?

Malamnya aku latihan menyanyi. Lagu yang kubawakan berjudul Gloria: I'll Make Music oleh Karl Jenkins. Ia komposer yang hebat dan lagu ini luar biasa. Kurasakan darahku berdesir ketika beberapa disonan membuat ulu hatiku sakit. Kulihat pantulan Cynthia di cermin di hadapanku dan seketika berbalik menyapanya. Aku rindu gadis itu. Ia tipe wanita besar--tinggi besar dan rahangnya kuat. Ia adalah salah seorang dengan suara paling merdu yang kukenal. Sejak mulai bekerja, ia lama tak hadir ke sesi latihan. Kami menghabiskan malam dengan makan bakso dengan teman-teman lain sebelum aku pulang ke kamar dan menangis.

Aku menyalahkan diriku sendiri karena begitu pengecut, begitu murahan. Mengapa aku selalu takut pada kemungkinan sakit hati, sih? Memangnya aku pikir diam begini tidak menyakitkan?

Seandainya saja aku tidak mulai membaca novel romansa itu, saat ini aku mungkin akan baik-baik saja. Pikiranku berkabut, melihat seorang teman memasang foto profil dengan gadis barunya membuatku kalut dan ingin muntah. Teman-temanku begitu sibuk lantaran mereka mulai bekerja. Aku tidak. Aku ingin pulang, tapi sebagian diriku ingin sendirian. Manusia begitu penuh keinginan dan harapan. Ingin mati dan diselamatkan tepat di saat yang bersamaan. Ya Tuhan, aku sudah berjanji tidak akan menyematkan sedikit keping hatiku padamu. Mengapa bisa begitu mudahnya manusia menaruh perasaan?


Ini posting-an ku yang ke lima belas, diketik pada pukul setengah tiga siang bersama seorang teman yang bercerita tentang kopi daratnya bersama seorang wanita (dan ia wanita!). Aku.. merasakan perasaan yang pahit-manis menyelesaikannya, sedikit banyak karena aku bangga telah menyelesaikan sesuatu yang berproses. Di sisi lain aku tidak ingin ini selesai sama sekali. Aku senang melakukan ini denganmu, kau tahu kan? Seolah ada yang kutunggu, dan ketika hal menarik (bukan sekedar senang, bukan sekedar sedih) terjadi, kukatakan dalam hatiku, "ini harus kuingat, agar bisa kuberitahukan kepada Putri." Aku mengundangmu minum teh bersamaku di tempat kesukaanku. Mungkin disana kita bisa mendiskusikan project selanjutnya. Let me know if you're interested. 

------

Jumat, 03 Februari 2017

What Makes Me Happy #14


Alkisah pada suatu masa yang sudah lampau, seorang gadis duduk menghadap cermin. Ia senang sekali memperhatikan pantulannya, karena disanalah ada dunia. Dengan mata sendu dan penuh sayang, ia susuri carut marut luka di wajahnya. Dulu ia sering dipukuli ibunya. Ketika air matanya turun, titik-titik cantik itu berubah menjadi beling. Tak heran lukanya seperti lunturan maskara: hanya saja warnanya seperti koreng. Sejak ia tahu menjadi cantik berarti sakit, ia berjanji untuk tidak pernah lagi menangis. Ketika teman-temannya menggunting sayap-sayap mimpinya, ia setengah mati menahan air matanya tumpah. Bukannya tak cantik, ia hanya tidak bisa lagi menerbangkan cita-citanya. "Aku ini masih aku tanpa mimpiku," katanya, "tapi apa jadinya jika aku terus menerus sedih, membuat diriku semakin buruk rupa?" Ia membanting hancur cermin di kamarnya, tak suka lagi berlama-lama melihat dunia yang jahat. Sejak itu ia tak pernah menangis lagi.

Ketika usianya 17 tahun, orang-orang bilang ia sudah dewasa. Ia hendak bertanya pada sang ibu apa maksudnya, tetapi demikian bencinya, si ibu pergi meninggalkan dia. Dengan beralaskan botol-botol kosong yang ia temukan di pinggir jalan (pada badannya bertuliskan "harapan"), ia berjalan terseok-seok. Ia bahkan tidak tahu apa yang dicarinya. Seperti ada yang hilang: entah tempat, entah waktu, entah seseorang. Ia kira segala sesuatu pasti ada alasannya. Tidak ia paham, sesekali rasa kehilangan bisa muncul, lahir dari perasaan yang monoton. Dengan rongga yang menganga, ia kembali pulang.

Ia teringat masa kecilnya, menghabiskan waktu berlama-lama melihat pantulan cermin. Ia kumpulkan lagi serpihannya yang retak, dan melihat mata seluas dunia (meski ia tak pernah keliling dunia). Pada matanyalah segala keindahan dan harapan berpusar, disanalah dunia yang ia kenal pernah ada. Mereka seperti pola-pola warna, seperti kobaran api dan cahaya malam hari, ledakan emosi serta debu bintang. Mungkin itu sebab ibu dan temannya membenci si gadis. Sesuatu yang begitu indah, begitu berbeda, tidak seharusnya begitu sempurna. Kelihatan sayap mimpinya yang tercabik dan sobek, wajahnya berbekas luka samar-samar. Tetapi harapan pada tatap matanya, seperti berbicara tanpa kata, "masih ada kebaikan."

Ia mulai mengacuhkan segala luka dan cacat yang mengingatkannya akan hal-hal buruk seperti benci dan iri hati. Dengan jarinya yang gemetar, ia menghapus luka di wajahnya dalam sapuan cermin. Tidak apa-apa, pikirnya, aku akan merayakan sedih dan air mataku, jika memang harus. Seperti itulah hatinya mulai terisi dengan penerimaan diri. Seolah serpihan luka yang disapunya menggantikan bagian hatinya. Di dunia mungkin banyak kejahatan, tetapi tidak dengan yang ia kenal dalam benaknya yang sederhana. Disana harapan masih ada, tidak dibuang begitu saja di pinggir jalan. Juga mimpi-mimpinya yang setengah mati. Meski tak bisa ia terbangkan, tetapi dapat berjalan perlahan. Apa yang membuatnya pernah begitu tergesa-gesa? Ketika melihat lagi pantulannya, ia berbahagia karena terlahir kembali. Mungkin menjadi dewasa adalah bagaimana seseorang mau menerima dirinya. Dan menyadari bahwa ia pun ciptaan yang maha sempurna.




Hari terakhir ujianku.
fin.

Selasa, 25 Oktober 2016

What Makes Me Happy #12

The art of holding hands.

I always fond of the idea of unity when people hold their hands together.
They would breath the same anxiety of their uncomfortable partner, while
excitement would play around, makes them groggy and nervous.
Yesterday, I held his hand. This guy, whom I tried so hard to love, but can't.
We were sitting next to each other. It was raining outside as we sat on a bus on our way home.
Strange. I don't feel homesick at all. It feels like the touch of our hands onto each other,
makes right everything that is not. He took my left hand, held it tight, filling the spaces..
We were listening to the same song beat. We sang along as our fingers entwined.
He uplifted it in the air when he tried to dance, and took it back close to his heart.
We talked in low voices, as he teased me and came back holding my hands tighter.
We were so close, his scent stained on my shirt, inside my palm, on my mind.
This is nice, right? Holding hands, unrequited love. I don't know which side.
I looked out the window and traced the raindrops. My vision blurred,
I saw only the reflection of us. I rubbed my thumb unto his,
softly reminded myself: When the road ends, we will too.

Jumat, 14 Oktober 2016

What Makes You Happy #11

Hatiku sedang berbahagia. Beberapa hari terakhir, aku begitu meresahkan tugas sponsorship. Intinya begitu, lah. Aku tidak suka dibebani secara finansial untuk sesuatu yang belum pasti. Mengingat ini akan mempengaruhi nilai akhir salah satu mata kuliahku semester ini, aku rasanya hendak menangis. Hari ini tiba-tiba seseorang menelpon. "Saya Nicholas, dari EF," katanya. Aku tidak biasanya mengangkat telfon dari orang yang tidak kuketahui. Aku juga jarang hanya duduk diam memperhatikan awan di siang bolong libur harianku. Tapi hari ini lain. Ah, iya. Lalu ia bilang tertarik untuk menjadi sponsor. Kami janjian bertemu di kampus (aku tidak perlu berkunjung ke perusahaan dan merogoh kocek uang saku!), sekaligus menandatangani MoU (langsung!). Aku tidak biasanya membahas hal sereceh ini, karena tidak bisa jadi cantik entah sepandai apa aku menulis. Tapi aku sungguh bahagia. Aku jadi teringat malam-malam resah ketika aku bicara sendiri: ya Tuhan, luputkanlah semester tujuh daripadaku. Seperti seseorang pernah berkata, "Jika kau menghargai ilmu, ilmu akan kembali menghargaimu.", begitu juga adanya dengan segala sesuatu.

Kepada Putri, aku juga takut hantu. Sering sekali kala malam aku membayangkan hantu wanita tersenyum sambil melotot, anak kecil dengan pupil mata hitam yang berdiri menoel-noel ujung jari kaki, atau.. kebanyakan wujud anak-anak yang berdarah atau tubuh abnormal lain. Aku selalu takut dengan hantu anak-anak. Mungkin karena mereka tidak tahu konsep kehidupan, tidak tahu kemana harus pergi setelah dijemput kematian, karena mereka tidak tahu mereka terbentuk dari rasa percaya, yang tiba-tiba menjadikan mereka ada dari partikel energi di udara. Ah, aku bisa membicarakan teoriku begitu panjang. Intinya malam itu aku terkejut-kejut mendengar ketukan di pintu, yang ternyata hanyalah teman satu kost yang memberikan obat tetes mata. Baik sekali, bukan? Wujud hantu-hantu itu hanya ada di kepala, atau tentu saja di pojok kamar mandi jorok yang membuatmu klaustrofobik. Jika di malam lain kau juga tidak bisa tidur untuk alasan yang sama, selalu ingat pukul tiga lebih satu, mereka sudah berhenti berlalu-lalang. Lalu kita bisa tidur setelah itu.

Aku juga menghabiskan beberapa malam mengunjungi kafe sepi bersama lingkaran kecilku. Itu lagi, itu lagi. Memesan menu yang sama, topik yang berbeda. Aku selalu suka musim hujan, seiring aroma tanah basah yang masuk dari celah jendela kamar yang tidak pernah aku tutup. Dan rasanya waktu-waktu ini adalah yang paling tepat untuk pergi dari sibuk dan rasa sepi. Entah karena suatu pekerjaan berat telah terselesaikan, atau konsep penghargaan bentuk tubuh yang semakin hari semakin kupahami, rasanya ringan sekali mengetik sore ini. 



Akhirnya aku berhasil menjadikan Spotifyku premium selama-lamanya! Dan benar-benar membuat playlist personal yang sudah sejak lama aku pikirkan. Road Trip at Night. Untuk kalangan sendiri. Terima kasih, Oktober. Hujanmu sungguh-sungguh menjadikanku lebih hidup.

Senin, 12 September 2016

What Makes You Happy #10

Kurang dari seminggu lagi liburan selesai. Rasanya berat sekali harus berpura-pura menyukai semua orang, mencari teman baru di lingkungan belajar ras-ras yang kompetitif, serta berusaha mengambil hati dosen yang seringkali kupikir kinerjanya tidak sesuai dengan gelar yang mereka sandang. Tidak terasa aku memasuki tahun terakhirku! Wow. Sebentar lagi aku resmi jadi pengangguran. Aku tidak pernah menyukai perintah dari orang yang tidak kompeten (dimana kita tahu sekarang sedikit sekali mereka yang cerdas dan bijaksana, dunia dimenangkan oleh orang kaya dan anak-anak mereka), juga tidak puas mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan suasana hati dan kesukaanku. Ini juga yang beberapa lama aku pikirkan dengan matang: sulit sekali jika aku harus hidup mengikuti norma (sekolah, kuliah, lulus, kerja, menikah) hanya untuk menyenangkan hati masyarakat, dan betapa lelahnya segala kepura-puraan ini. Harus sampai kapan? Ah, aku harus segera merencanakan liburan.

Aku setuju dengan kemampuan menulis yang terkikis setelah lebih dari 3 minggu. Bahkan buatku, jangankan tiga. Satu minggu tanpa aksara sudah merupakan tindak pembodohan diri, kau tahu? Biasa aku mensiasatinya dengan bicara sendiri. Orang tuaku pikir aku gila--terutama ketika aku kedapatan, dan malu sekali rasanya! Tapi sering kali, kurasa aku butuh berceloteh dengan diriku ketika itu menyangkut hal-hal yang luar biasa membebani, seperti salah satu postingan dari akun pembela satwa liar di Instagram yang baru-baru ini kuikuti, pernikahan dini yang kuhadiri, atau pola hidup vegan temanku yang mengejutkan. Aku berterimakasih atas self independence ku yang melonjak begitu tinggi, sungguh. Aku merasa lebih kuat menjadi diri sendiri.

Entah sejak kapan, aku semakin jauh dengan si "sumber inspirasi". Kami tidak saling benci, juga tidak bermasalah. Aku hanya.. pada akhirnya mendapati diriku tidak lagi bebas ketika bersamanya, juga terkungkung dengan ketakutan membuatnya bosan. Alhasil kami tidak lagi bicara. Kami saling menyapa dan berteguran, kami juga menanggapi satu sama lain jika salah satu mengajukan pertanyaan, atau pernyataan.. Hanya saja kami tidak lagi punya keinginan untuk memulai dan peduli. Mungkin ini yang mereka katakan, 'setiap hubungan punya tanggal kadaluarsa,' dan aku rasa.. aku tidak apa-apa jika ia tak ada. Ia bukan lagi satu-satunya sumber inspirasi yang aku punya.

Aku bertanya-tanya, kemana bagian diriku yang cengeng dan manja itu? Hal ini seharusnya meresahkanku, tetapi tidak. Aku juga seharusnya hancur setengah mati. Tetapi tidak. Aku berasumsi bahwa kini aku sudah lebih dewasa dalam menyikapi kesendirian.

Oh iya, kau ingat postingan terakhirku? Aku dan temanku kini menjadikan pertengkaran kami lelucon bodoh yang hanya kami yang paham. Kau tahu maksutku, bukan? Syukurlah.

Sabtu, 03 September 2016

What Makes You Happy #9

Begitu banyak hal terjadi tanpa jeda waktu aku untuk mensyukurinya.
Aku ingat sekali minggu lalu: ketika aku berterima kasih dalam doa syukur mingguanku,
bahwa saat ini aku sedang tidak bergantung pada siapapun, bahwa aku dikelilingi teman-teman yang kusukai, juga hobi dan cita-cita jangka panjang yang kuusahakan. Kondisi keuanganku tidak baik memang, tapi juga tidak buruk. Aku punya kesibukan yang menyenangkan, dan ditempatkan dalam komunitas yang membuatku berkembang.
Lalu aku ingin sekali segalanya seperti ini saja. Sungguh, semua sudah cukup.

Sampai akhirnya untuk suatu hal yang begitu sepele dan tidak terduga, aku bermasalah dengan salah satu kawan baik. Awalnya kurasa aku hanya akan mengacuhkan sampai semua reda dengan sendirinya, tapi aku begitu tertekan dengan pikiran dan respon negatif yang hanya ada di pikiranku saja. Aku tahu aku harus selesaikan apa yang dapat kutangani. Maka aku mengajak dia bicara. Baru saja.

Aku belum tahu apa jawaban dan pandangannya tentang permintaan maafku. Belum tahu apakah keadaan akan kembali seperti semula, apakah kita akan menertawakan kejadian ini di kemudian hari sebagai teman baik, atau malah hanya akan semakin parah..

Tapi aku sudah menelan egoku sendiri dan berkawan dengan perasaan mengalah yang jarang sekali aku lakukan. Oleh karenanya, apa yang membuatku senang adalah bahwa aku tahu, kedewasaanku tumbuh dari bagaimana aku mengutamakan teman-teman, ketimbang diriku sendiri. Aku sudah mengalah demi terjaganya suatu pertemanan.

Toh, aku sudah lupa mengapa aku bisa begitu marah pada awalnya. Sekarang yang kurasa hanyalah bahwa aku rindu.