Tampilkan postingan dengan label randomsayings. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label randomsayings. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Juli 2017

Introvert, Ekstrovert


Hari-hariku terdiri dari dua lanskap:

Tanah hutan dengan wangi dedaunan basah,
kemerahan di kala senja, selamanya berada di bawah kanopi tebal.
Daun-daun bagaikan kertas-kertas warna-warni.
Mereka menari-nari lembut, saling bersentuhan, saling berpagutan.
Sejauh kerling mata mereka ada, mereka bicara.
Bumi mencintai mereka, menganugerahkan daun-daun
warna surga dan hangat matahari.
Aku harap aku memiliki ketangguhan mereka dalam bertahan.
Kau tahu, badai bisa begitu menyulitkan, memporak-porandakan.

Seluruh hutan lelap pada malam yang bercahaya.
Wujud-wujud neon dari daun-daun tidur. Mereka berpendar-pendar,
tenang dan melayang. Naik turun degup nafas mereka
membuat rusa berlari bersama ritmiknya dan burung-burung hantu terjaga.
Ada lantunan sesuatu di kejauhan, menjadikan hutan seperti pemerannya.
Hutan jadi pemeran utama di negeri dongeng yang jauh.
Kecantikan yang introvert, seperti melamun.

Lalu gelap sepenuhnya. Aku hanya partikel yang tak ada.
Aku tak ada, aku hanyalah ilusi akan keberadaan.
Hariku berganti pada fajar.


(black out)



Ruang hampa udara. Tidak ada batas antara neraka dan dunia.
Lantai tempatku berpijak menyatu dengan masa yang kusentuh.
Disekelilingku putih bercahaya, lalu sayup-sayup ada kepakan sayap burung--atau malaikat,
percikan air di dak-dak kapal, seteru angin pada kusen jendela tua, serta
lonceng gereja dan tawa anak-anak tak berdaya.

Kini datang aroma-aroma yang membuatku nostalgia, seperti bunga teratai.
Yang mengingatkanku akan hari nenek dikuburkan. Seperti zaitun,
pada masakan ibu dan jerit kemenangan atas usaha di masa yang lampau.
Seperti tanah basah, yang membawaku pada ingatan akan ketidakadaan.
Segalanya nyata, juga segalanya kabur.

Lalu gelap sepenuhnya. Hanya aku partikel yang ada.
Wujudku nyata, sentuhanku nyata, degup jantungku nyata.

Perlahan-lahan aku mulai mengerjap.
Perlahan-lahan langit mulai biru.
Ada horizon yang membelah dunia,
ada rasa angin bergerak di pusara telingaku.
Lalu semua begitu meyakinkan,
seolah aku tahu aku baik-baik saja.

Aku bernafas. Aku hidup.

Sabtu, 15 April 2017

Borneo Beer House, Kemang Selatan.


Jakarta tidak pernah tidur. Pelan-pelan kerling mataku membuka dan menutup, mengerjap-ngerjap menghalau pengaruh alkohol. Agaknya aku menghasilkan endorfin yang agak banyak malam ini. Aku tertawa renyah seraya melayangkan pandanganku ke tembok bata merah di hadapanku. Sementara itu, ia menatapku dengan wajahnya yang memerah, "bingung, ya?" tanyanya setengah berteriak. Tidak, jawabku. Aku hanya merasa aneh bisa bersama lelaki ini lagi saat ini, pada momen seperti ini! Kami mengambil beberapa kentang goreng dari piring kedua. Kulihat ia tidak suka mencampur sambal dan mayonaise, tidak sepertiku. Kami sama-sama menggerakkan kepala perlahan mengikuti dentum keras musik yang tidak kupahami. Bukannya aku tidak mengerti, lebih tepatnya tidak bisa menikmati. "Mungkin lo harus sambil mabuk, atau depresi," katanya. "Which one are you?" Sudah kuduga, tidak perlu waktu lama baginya untuk menjawab, "both".

Kami hanyalah dua manusia yang tidak mengerti jadwal temu, kacau. Di jam-jam sibukku, ia terlelap. Di kesendirian malamnya, aku yang tertidur. Ada kalanya untuk sesaat, jam-jam itu terhenti dan kami bertemu diantara waktu yang diselipkan secara paksa. Padahal tahu tidak ada yang melambat atau mengalah untuk kami. Aneh rasanya menyelami pikiran gelapku di tempat seramai ini. Membuatku teringat satu hal. Ketika aku menatap wajahnya yang rupawan, mata kami bertemu lama. Ia mengangkat kedua jarinya sambil terkekeh-kekeh, jaket hitamnya terkulai lemas memperlihatkan sudut lehernya yang jenjang. Untuk ketujuh kalinya, ia membakar Marlboro merah di tangan kanannya. "Lo merah banget," kusentuh pelipis dan pipinya dengan punggung tangan. Aku berlama-lama, menikmati sengatan sensasi yang memang kukenal baik. Entah bagaimana tiga botol bir menjadikannya lebih berwarna, lebih hidup. Bibirnya yang beraroma mentol merah muda sewarna soka. Oh Tuhan, bibir itu. Sudah kukatakan lagi-lagi kami begitu payah menyusun timing. Ada kalanya ketika ia sendiri, aku bersama lelaki lain. Menyelipkan paksa waktu yang kami rasa tak ada. Kali ini aku yang sendiri, ketika ia punya wanita lain. Menyelipkan paksa waktu yang kami rasa tak ada. Tak pernah ada.


Sudah lama kita tidak bertemu, Michael, apa kabar?

Minggu, 11 Desember 2016

Catatan Sedih

Aku mau menulis, tapi apalagi?
Bagaimana lagi kesedihan ini kubagi?

-----

Sembari mendengarkan sebuah rekaman lagu yang bercerita tentang pengantar tidur, aku mengingatmu. Aku mulai menyesali berlalunya tiga tahun tanpa pernah sungguh-sungguh mengenalmu, bersamamu. Aku rasa karena setiap orang dan setiap hubungan punya masanya sendiri, dan kau ada di penghujung. Aku ingat percakapan kita suatu malam, tentang Awal dan Akhir. Kau bilang hiduplah diantaranya. Lalu, bagaimana mungkin jika kau saja hadir pada Akhirnya?

-----

Beberapa waktu ini berat untuk kita. Kita adalah segelintir yang tersisa dari pejuang lain yang dipaksa kehidupan untuk berhenti berjuang di tengah-tengah. Ditempa kehilangan banyak hal dan rasa lelah, kau menyelesaikan masamu. Aku masih punya satu tahun genap untuk kuhadapi. Kau pernah bertanya, bagaimana jadinya kita tanpa semua ini. "Apa maksudmu? Siapa maksudmu?" kataku kala itu. 

Sesuatu yang menjadikan kita ada, sesuatu yang membentuk kita, yang membuat kita jatuh cinta sedalam ini. 

-----

Aku hanya begitu sedih mengetahui kau harus pelan-pelan mulai berhenti. Cresscendo. Lalu tinggal aku yang tidak terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Kau menyebalkan, tapi akan sangat-sangat-sangat kurindukan. Terima kasih atas malamnya! Aku.. tidak menyesali apapun.

-----

Tulisan yang buruk.

Kamis, 17 November 2016

Selipan Kotor

Beberapa hari ini ingin menulis, bukan hanya karena menstruasi dan hormon, lebih tepatnya karena banyak hal berseliweran di kepala. Seorang teman membagikan catatan yang ia buat sendiri untuk teman-temannya belajar materi UTS. Menurutku, itu yang namanya heroik. Ketika kita melakukan yang terbaik dan memberi seluas-luasnya, tanpa pernah berfikir tersusul atau diungguli. Jadi teringat kata orang tua, "Ilmu itu seperti lilin. Ketika kau menyalakan sumbu lilin lain, kau tidak perlu takut cahayamu redup." Padahal di kelas ia bukan gadis yang cemerlang, tapi hatinya baik luar biasa.

Susah sekali rasanya hidup tanpa uang, ya? Jangankan kebutuhan sekunder, kebutuhan primer saja kadang masih kurang. Aku tidak mau jadi hamba uang, tapi bagaimana ya? Ambisiku untuk kompetisi tahun depan sangat besar, menggebu-gebu setiap hari seperti dentum. Aku bisa saja menangis karena menyanyikan lagu tertentu bersama seorang dua orang teman. Ada bucket list yang sebentar lagi akan dicoret. Dikelilingi oleh orang-orang dengan bakat dan suara merdu, dan berita kemarin itu: bulan Oktober tahun depan, kita akan lomba ke Belgia.

Menemani seorang teman mengunjungi dokter, lalu pulang dan makan di warteg sehabis mengeluarkan uang sebesar tiga ratus lima puluh tujuh ribu rupiah. Membantu teman mengajar paduan suara SMA, dan menyanyikan bagian Sopran dalam O Nata Lux yang tinggi. Lalu seorang diantaranya menyapaku lewat pesan di ponsel, "Kak, boleh foto dan profil kakak kami muat dalam buku program konser kami?"

Melihat dan menyaksikan segala kekacauan 4 November 2016, menjadi sangat takut karena keturunan Tionghua. Massa yang berseliweran, bukan hanya pada laman media sosial, tapi di depan muka sendiri. Mereka memakai peci hitam dan baju putih panjang, serta membawa bendera entah apa. Dari jauh terlihat sangat suci. Setelah mencaci maki pak gubernur, mereka teriakkan "Allahu Akbar!"

Bertemu dengan kawan lama dari sang ibu pada suatu jamuan pesta. Menyadari bahwa ibuku tidak suka berbasa-basi dengan orang-orang kaya. Bisa kutebak, sih. Dalam pikiran mereka pasti bukanlah apa yang terucap. Waktu itu lucu, ya. Bukan hanya mendewasakan tetapi juga mengkerdilkan pikiran. Setelah lama tidak berjumpa, meninggalkan luka atas kemunafikan masing-masing, berani-beraninya bertanya, "Apa kabar?" Sungguh, sangat, menggelikan. Pilihan yang tepat, Mom.

Melayani seorang kawan baik meredakan insekuritas diri dan pikiran negatif tentang suatu penyakit kelamin. Menemani seorang sahabat yang sedang mempertanyakan agama dan konsep ketuhanan untuk mendoakan nenek yang ia kasihi. Serta mengambil waktu dari jam-jam terlelah dan kesendirian untuk meladeni celoteh teman yang introvert. Karena ia telah keluar dari zona nyamannya.

Suatu pagi bangun dari tidur dan menghirup aroma masakan, mendengar bunyi kuali dan oseng-oseng, serta mendapatkan buah pir sebagai hidangan penutup. Makan makanan yang sama setiap kali pulang ke rumah, semata karena ayah ibuku tahu aku suka sekali. Dibelikan banyak suplemen kesehatan, dijejali makanan dan susu, karena kesehatan adalah yang utama katanya.

Mengecat rambut, mendapatkan hibah baju-baju yang membuatku merasa cantik, serta mulai ahli dalam membuat alis dalam waktu 2 menit. Melihat adanya tanggal kadaluarsa pada powder perona pipi, dan memadatkan serpihan yang lepas dengan dua jari. Setiap hari berusaha bangun lebih pagi, agar punya waktu merias diri dan berlama-lama melihat cermin, ternyata tidak sejelek yang aku kira.

Menghabiskan waktu seharian di pusat perbelanjaan dengan seorang sahabat: menikmati semangkuk udon panas dan bakpao isi telor asin. Merencanakan hal baru untuk dilakukan dalam waktu dekat, dan berbincang tentang tugas akhir dan kehidupan sashimi girl di Jakarta. Lalu menertawakan pandangan beberapa oknum yang menganggap LGBT adalah virus menular. Sadar dan bersyukur kami tumbuh di lingkungan yang membuat otak lebih cerdik, bukan semakin dungu.

Mengetahui bahwa lingua franca berarti bahasa pergaulan, dan bahwa Bob Sadino telah menginspirasi banyak pihak termasuk orang-orang mancanegara. Biar aku saja yang mengambil peran sebagai pihak yang tidak mengathui siapa dia dan apa karyanya.

Menemukan banyak keindahan di diri setiap orang, aroma berbeda yang tubuh seseorang keluarkan, pandangan dan pola pikir... bagaimana mungkin aku tidak menuliskan ini semua?!


Jumat, 14 Oktober 2016

What Makes You Happy #11

Hatiku sedang berbahagia. Beberapa hari terakhir, aku begitu meresahkan tugas sponsorship. Intinya begitu, lah. Aku tidak suka dibebani secara finansial untuk sesuatu yang belum pasti. Mengingat ini akan mempengaruhi nilai akhir salah satu mata kuliahku semester ini, aku rasanya hendak menangis. Hari ini tiba-tiba seseorang menelpon. "Saya Nicholas, dari EF," katanya. Aku tidak biasanya mengangkat telfon dari orang yang tidak kuketahui. Aku juga jarang hanya duduk diam memperhatikan awan di siang bolong libur harianku. Tapi hari ini lain. Ah, iya. Lalu ia bilang tertarik untuk menjadi sponsor. Kami janjian bertemu di kampus (aku tidak perlu berkunjung ke perusahaan dan merogoh kocek uang saku!), sekaligus menandatangani MoU (langsung!). Aku tidak biasanya membahas hal sereceh ini, karena tidak bisa jadi cantik entah sepandai apa aku menulis. Tapi aku sungguh bahagia. Aku jadi teringat malam-malam resah ketika aku bicara sendiri: ya Tuhan, luputkanlah semester tujuh daripadaku. Seperti seseorang pernah berkata, "Jika kau menghargai ilmu, ilmu akan kembali menghargaimu.", begitu juga adanya dengan segala sesuatu.

Kepada Putri, aku juga takut hantu. Sering sekali kala malam aku membayangkan hantu wanita tersenyum sambil melotot, anak kecil dengan pupil mata hitam yang berdiri menoel-noel ujung jari kaki, atau.. kebanyakan wujud anak-anak yang berdarah atau tubuh abnormal lain. Aku selalu takut dengan hantu anak-anak. Mungkin karena mereka tidak tahu konsep kehidupan, tidak tahu kemana harus pergi setelah dijemput kematian, karena mereka tidak tahu mereka terbentuk dari rasa percaya, yang tiba-tiba menjadikan mereka ada dari partikel energi di udara. Ah, aku bisa membicarakan teoriku begitu panjang. Intinya malam itu aku terkejut-kejut mendengar ketukan di pintu, yang ternyata hanyalah teman satu kost yang memberikan obat tetes mata. Baik sekali, bukan? Wujud hantu-hantu itu hanya ada di kepala, atau tentu saja di pojok kamar mandi jorok yang membuatmu klaustrofobik. Jika di malam lain kau juga tidak bisa tidur untuk alasan yang sama, selalu ingat pukul tiga lebih satu, mereka sudah berhenti berlalu-lalang. Lalu kita bisa tidur setelah itu.

Aku juga menghabiskan beberapa malam mengunjungi kafe sepi bersama lingkaran kecilku. Itu lagi, itu lagi. Memesan menu yang sama, topik yang berbeda. Aku selalu suka musim hujan, seiring aroma tanah basah yang masuk dari celah jendela kamar yang tidak pernah aku tutup. Dan rasanya waktu-waktu ini adalah yang paling tepat untuk pergi dari sibuk dan rasa sepi. Entah karena suatu pekerjaan berat telah terselesaikan, atau konsep penghargaan bentuk tubuh yang semakin hari semakin kupahami, rasanya ringan sekali mengetik sore ini. 



Akhirnya aku berhasil menjadikan Spotifyku premium selama-lamanya! Dan benar-benar membuat playlist personal yang sudah sejak lama aku pikirkan. Road Trip at Night. Untuk kalangan sendiri. Terima kasih, Oktober. Hujanmu sungguh-sungguh menjadikanku lebih hidup.

Rabu, 20 Juli 2016

What Makes You Happy #6

Sudah begitu lama tidak bicara, tidak ada aksara.
Aku sibuk, aku lupa hidup, terkutuk.

Lama sekali rasanya posting sebanyak 15 kali ini selesai.
Sampai-sampai aku lupa apa saja yang membahagiakan belakangan ini.
Tapi.. mari kujabarkan satu persatu dalam spasi.


Bulan malam ini pukul tujuh lebih sekian.
Wirvan Liegestu, sarjana kemarin sore.
Reffrain lagu Mandarin yang kunyanyikan dengan baik.
Bunga rampai.
Latihan rutin hari Kamis.
Sahabat seperti Fadjri.
Lembar-lembar musik Daniel Elder.
Udara malam ketika kipas anginku rusak.
Rinaldy Zulkarnain.
Expo.
Paduan Suara.
7 dan 14 Agustus, sebentar lagi!
Pembicaraan yang menarik dengan Tunggul.
Ibu kost kembali dari kampung.
Masa akhir gym.
Penantian akan hari wisuda Tevinstein Amos.
Makan buffet gratis bersama Anggia Moelini.
Selesainya laporan magang.
Kompetisi foto Indomaret.
Drama pertengkaran wanita kampung di depan kost.
Nomor-nomor halaman
yang dikerjakan Andreas Michael.
Mengukur baju pernikahan.
Nyamuk yang mati kupukul satu jari.
Tulisan Putri.


Ada banyak, Put. Aku lupa. Tapi hal-hal diatas, membuatku bahagia luar biasa.

Jumat, 29 April 2016

Project Hatred

You're like the sanctuary of my soul.
A place of refuge, place of safety.
A fountain that brings pleasure not only to the body,
but also to the eyes.
Ringing bell that echoes
with serene tone that lets me know



"you will be fine."

Rabu, 20 April 2016

Naked.

There was a time when we were mesmerized of each other. Wondering, how could somebody be as amazing as us. How was life before us? How we thank every universe that we united, that we flared up even brighter, that we blossomed into somebody better.

Us.


I have radiated all my marvels. My senses, truest self, and sparks. I ran out of wonders to give to you now. Well, at least we both know there is no such thing as endless wonder. Amusement dies, love disappears, wonder fades out. We don't talk cause we read minds. We don't ask cause we both already knew. This silence. This subtle. This peaceful state of us.

I have peeled off your skin. That now I can only see your reality. You are not a flesh nor a bone.
You are an impeccable soul that illuminates the door of my heart.


Even in your darkest times.
Still, I think you're as wonderful as I first saw you.

Rabu, 30 Maret 2016

Counting Blessings

Baiklah. Sudah begitu lama rasanya tidak bicara pada diri sendiri. Bukannya aku tidak mau, tapi energiku terkuras habis oleh sesuatu yang bukan mauku. Aku banyak pekerjaan hari ini, tetapi aku paksakan untuk membuat ini karena aku nyaris gila. Jika bukan karena ingat keringat orang tua yang susah payah membiayai kuliahku, aku sudah tidak ada disini. Aku tidak boleh lupa, bahwa aku harus rela menerima ketidaknyamanan yang sementara untuk perbaikan yang permanen. 

Terkadang kita harus tahu bahwa berkat datang dalam berbagai bentuk. Dalam ajakan teman untuk bergaul, dalam sapaan orang tua yang lelah sepulang kerja, 'bagaimana pekerjaanmu hari ini?', dari makanan gratis yang kau dapat dari teman sepekerjaan, atau sesederhana bernyanyi setiap hari Senin dan Selasa. Berkat bukan hanya ada pada tubuh kecil mungil, wajah cantik, dan gelimang harta. Jikapun aku tidak memiliki ketiganya, setidaknya aku masih diriku. Ambil waktu sebentar dan resapi hal ini: aku masih punya diriku. Setidaknya aku pribadi yang selalu paham, bahwa berkat bukan hanya melulu perihal koneksi dan kenalan. Berkat juga datang lewat teman-teman yang ada di saat tersulit, di jam-jam tersibuk, dan dalam cerita tengah malam yang tidak bermutu. Aku menghitung berkatku sebesar itu. Lalu aku merasa jauh lebih baik karena aku paham.

Ada kalanya hari-hari begitu buruk hingga aku sesak napas. Dalam proses ditempa seperti ini, aku belajar bahwa kebencian dapat begitu tidak menyehatkan. Materi bukan teman yang selamanya, bukan yang membuatku mencapai tempat tertinggi dalam Hierarki Kebutuhan Maslow: aktualisasi diri. Dalam proses sulit ini, aku belajar mengenal diriku dan berkaca. Aku juga belajar banyak tentang kehidupan, tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih baik. Juga tentang Tuhan dan agungNya yang seringkali oleh beberapa oknum tanpa sadar, dilecehkan habis-habisan. Begitu banyak perspektif yang bisa berubah dalam periode beberapa bulan. Lalu berkat-berkat eksternal itu terlihat lebih nyata sekarang. Memang benar orang bilang, jika tidak ada langit gelap, kau tidak akan bisa melihat bintang.

Aku tidak bisa menjamin hari esok, tetapi aku yang memiliki hari ini. Aku bisa menjamin rasa sayang yang kurasakan pada orang tuaku, teman-teman, dan Tevinstein Amos hari ini. Aku bisa menjamin rasa syukurku karena mereka ada hari ini.  Aku tidak pernah begitu spiritual dan relijius sebagai individu, tetapi Tuhan, dimanapun Engkau ada, terima kasih sudah mewujudkan diri lewat berkatku hari ini. Aku hanya tau hari ini, tapi aku harap besok juga demikian.




Dua setengah bulan lagi, Stefany. Semangatlah!

Kamis, 17 Maret 2016

Entwined.

I read the word somewhere.
I felt something so weird, so weird that it warms my heart.
Entwined. It's like my soul unto yours.
It's like Saturday nights and Sunday evenings
that echo and follow, always.

I saw you yesterday.
I'll meet you tomorrow.
In between, I am entwined
to the promise that I will see you again.

Your big day is getting closer.
I can't wait to witness it with you.
Entwined, deeper, harder,
I don't mind how painful it must be
when one day we have to let go.
I entwined myself in you.

I'm tangled.

Selasa, 01 Maret 2016

Internship 2.0

I should keep myself inspired.
These days, I feel like I lost myself somewhere.
I tried to look back my tracks and pick up my pieces:
passions, things I love to do, my confident, lots of things.
See, I have this one crack someplace, I am not a whole now..
My insides are overflowing, poured out.
I wonder how I could feel so heavy and burdened
when my innards were detached, piece by piece, day by day.
This is the exact time I feel like,
Writings get ugly, songs are not pretty.
Anymore.
Not anymore.
This is the exact time I feel like,
I'm living, but I'm not alive..

Minggu, 21 Februari 2016

Internship

When I told him all this, regretting and cursing all this,

All I know is that I spilled out my bitterness till I am zero,
and he was sitting still, quiet as I spoke.
Then I am overwhelmed by his presence and eye sights.


For I need nothing but he sat there listening to me.

Sabtu, 13 Februari 2016

Not true.

What if after all this time, I misinterpreted you:
I do not have feelings for you the way I confessed.
I managed to make myself believe that I was in love, while in fact I was just lonely.
And you're the only better person around.
I was scared of having no one to fight for,
therefore I chose you to be the person I 'love'.
I try to speculate an act and believe what I wanted to believe.
It's some kind of pity--what I did, of making myself so sure that I was in love.
What if I don't love you at all, what if all this,
was just a massive manipulation I created to myself
so that I wouldn't feel so lost. So when people speak of love,
I would also understand. While in fact I don't have any!
I just happened to pretend that I do,
pretend that I love you.

How arrogant is that.