Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Selasa, 22 Agustus 2017
Solstice
Aku sedang menangis.
Tahun ini, aku menargetkan beberapa hal. Mengamini, mengimani setiap rinci mimpi-mimpiku itu. Aku memberikan versi diriku yang terbaik, lepas dari kenyataan aku ini pribadi yang begitu sulit. Kemudian segalanya terasa semakin berkelok, namun aku yakin aku masih mampu memegang kendali. Aku stir hasrat dan perspektifku mengikuti. Sebentar lagi segalanya akan selesai. Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya nanti, ketika aku tiba di puncak segala mimpiku. Begitu besar, begitu dahsyat, begitu luar biasa.. sampai-sampai aku takut ikut mati bersamanya.
Aku tidak tahu apakah krisis seperempat abad itu betul ada. Akhir-akhir ini seperti.. Apa ya lebih tepatnya? Seperti ada yang memburuku, menyuruhku bergegas setiap hari. Aku tiba dengan tergesa-gesa, pulang dengan debar yang tak karuan, bahkan ketika segalanya berjalan seirama. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu khawatir. Ide tentang hidup yang miskin dan tak berkecukupan membuatku takut. Disaat yang bersamaan, aku membenci arus dan ritme hidup yang monoton. "Kurang bersyukur, kali" begitu kata orang. Namun tidak, tidak. Aku tahu pasti. Aku merasa ada yang salah.
Aku ingin sekali menjadi pribadi yang berani. Berani mengambil risiko untuk hidup lebih susah, kemudian belajar dan memahami dunia dengan mata kepalaku sendiri. Aku juga ingin menulis buku, merapihkan hal-hal di benakku yang kacau berantakan. Aku ingin keluar dari pekerjaanku yang membosankan, aku ingin mampu secara baik menggunakan aplikasi video editor dan berkontribusi untuk sesuatu yang kusegani. Aku ingin bernyanyi, aku ingin berkarya. Aku ingin mengajar, aku ingin menjadi inspirasi. Aku ingin menggali hal-hal terbaik di diriku yang selama ini takut kusalurkan, semata-mata karena aku bukan seorang pemberani.
Aku merasa kemampuan menulisku semakin kabur tertutup debu rutinitas. Aku kesulitan mengungkapkan maksud hati dan pikiranku, membuatku terikat satu mata rantai tak kasat mata: membelenggu, mengikat, menekan. Yang mana seumur hidupku, aku karib dengan kebebasan.
Solstice adalah titik balik matahari, ketika ia ada pada posisi tertinggi atau terendah di langit pada siang hari. Pada tempat yang sama, titik balik ini ditandai dengan hari terpanjang, sekaligus hari terpendek dalam suatu masa. Aku berada diantaranya. Hanya saja, siklusku agaknya terlalu lama. Aku mengalami hari-hari terpanjang.
I was so sure of who I was, I could picture everything so very clearly. Now I second guessed my becoming and who I should have been, what I wanted to become. How I wish I had my life figured out. I can feel the urge, the tick-tock. It insists, it pushes me aback. It tries to kill me.
Senin, 03 Juli 2017
Introvert, Ekstrovert
Hari-hariku terdiri dari dua lanskap:
Tanah hutan dengan wangi dedaunan basah,
kemerahan di kala senja, selamanya berada di bawah kanopi tebal.
Daun-daun bagaikan kertas-kertas warna-warni.
Mereka menari-nari lembut, saling bersentuhan, saling berpagutan.
Sejauh kerling mata mereka ada, mereka bicara.
Bumi mencintai mereka, menganugerahkan daun-daun
warna surga dan hangat matahari.
Aku harap aku memiliki ketangguhan mereka dalam bertahan.
Kau tahu, badai bisa begitu menyulitkan, memporak-porandakan.
Seluruh hutan lelap pada malam yang bercahaya.
Wujud-wujud neon dari daun-daun tidur. Mereka berpendar-pendar,
tenang dan melayang. Naik turun degup nafas mereka
membuat rusa berlari bersama ritmiknya dan burung-burung hantu terjaga.
Ada lantunan sesuatu di kejauhan, menjadikan hutan seperti pemerannya.
Hutan jadi pemeran utama di negeri dongeng yang jauh.
Kecantikan yang introvert, seperti melamun.
Aku tak ada, aku hanyalah ilusi akan keberadaan.
Hariku berganti pada fajar.
(black out)
Ruang hampa udara. Tidak ada batas antara neraka dan dunia.
Lantai tempatku berpijak menyatu dengan masa yang kusentuh.
Disekelilingku putih bercahaya, lalu sayup-sayup ada kepakan sayap burung--atau malaikat,
percikan air di dak-dak kapal, seteru angin pada kusen jendela tua, serta
lonceng gereja dan tawa anak-anak tak berdaya.
Kini datang aroma-aroma yang membuatku nostalgia, seperti bunga teratai.
Yang mengingatkanku akan hari nenek dikuburkan. Seperti zaitun,
pada masakan ibu dan jerit kemenangan atas usaha di masa yang lampau.
Seperti tanah basah, yang membawaku pada ingatan akan ketidakadaan.
Segalanya nyata, juga segalanya kabur.
Lalu gelap sepenuhnya. Hanya aku partikel yang ada.
Wujudku nyata, sentuhanku nyata, degup jantungku nyata.
Perlahan-lahan aku mulai mengerjap.
Perlahan-lahan langit mulai biru.
Ada horizon yang membelah dunia,
ada rasa angin bergerak di pusara telingaku.
Lalu semua begitu meyakinkan,
seolah aku tahu aku baik-baik saja.
Aku bernafas. Aku hidup.
Senin, 10 April 2017
Now Playing: Should Have Known Better (Sufjan Stevens)
Pada saat tertentu dalam subuh yang basah, kau bisa bertatapan langsung dengan Purnama. Ia putih cerah dan bulat sempurna, datang dari laki-laki yang membawakanmu oleh-oleh dari perjalanannya ke langit. Purnama menyapamu selalu pada malam-malam yang gemerlapan, ketika kau jauh dari sedih dan dukacita. Rasa bahagia menariknya padamu, ia bagai hantu pemelihara keseruan pesta: satu yang mampu menjadikan semua sel dalam tubuhmu terjaga. Ketika kau mengangkat tanganmu ke udara seperti hendak menari, nadimu akan berkilauan tertimpa cahayanya. Ombak yang bersemayam di rambutmu akan menderu-deru, dan sesuatu dari dalam tubuhmu berpendar seperti fosfor. Diam, coba diam. Di hadapan Purnama, kau jadi yang paling memesona diantara semua ciptaan.
Seperti badai, bulan pasti berlalu. Purnama bosan menatapmu yang tak konsisten, sesaat bahagia sesaat gundah gulana. Kau pikir kau lain dari yang lain? Sebentar lagi juga kau dibuang. Ini toh bukan satu dua kali kau ditinggalkan. Mungkin takdir itu ada dalam rasi bintang dan astrologimu, kadang-kadang bulan yang ini tidak sesuai dengan elemen yang kau sesap. Mungkin Venus cocok, tapi ia tinggi diatas sana. Butuh berapa tahun cahaya baginya untuk sampai padamu? Purnama lelah, ia digantikan oleh saudaranya yang separoh, dan lalu mulai memberikan pekerjaan sampingan pada Sabit untuk menemuimu setiap jelang fajar. Lama-lama bulan hilang. Lama-lama kau kehilangan pesonamu, dirimu. Kau bagai bayang-bayang dan temaram. Begitulah awal mulanya kau mulai karib dengan rasa sepi.
Sepulang dari petualangannya di luar angkasa, laki-laki itu kembali membawa debu bintang. Kerlap-kerlip itu ia satukan dalam satu sabuk panjang berlapis gas-gas tak kasat mata. Ia mengangkatnya dengan takzim, seolah menyulap bintang-bintang untuk tunduk pada perintah lekuk jemarinya. Kali ini ia serahkan perhiasan langit pada wanita lain yang lebih nyata, lebih bahagia. Sejatinya lelaki tidak menyukai wanita yang bersedih hati, bukan? Debu bintang akrab dengan rasinya, bagai merangkul sahabat lama. Oleh wanita itu, sabuknya dilingkarkan di atas kepala sebagaimana mahkota dari batu-batu angkasa: warna-warni, berkedip bergantian dan menyala dalam gelap. Ia tidak akan pernah lagi kekurangan cahaya, ia bertendeng terang yang mengharu biru. Cinta yang berbalas. Pada malam Purnama gerhana, sabuk bintang itu bersinar semakin terang. Hanya pada musim-musim penghujan, keduanya menetes dari pelupuk mataku.
-----
Aku sedang merindukan seseorang, menyadari eksistensiku yang samar-samar di latar belakangnya. Mengira dan menerka-nerka ada sesuatu, namun manusia dan ekspektasi memang bukan kawan baik. Dini hari ini aku ingin menuliskan sedih dalam elemen-elemen kesukaanku: alam semesta dan benda langit. Mungkin dengan begitu, sedihku jadi tidak terasa terlalu sedih.
Tuhanku Yang Maha Pemberi, aku memohon keikhlasan...
Kamis, 23 Februari 2017
Gloomy Friday
Pagi ini tidur pukul setengah lima jelang adzan subuh. Pagi ini pula aku bangun tanpa sengaja setidaknya pukul sembilan. Biasanya aku tidak akan bangun secepat ini, sampai-sampai harus pasang alarm agar tidak melewatkan pagi hari. Kepalaku kembali memutar skenario kekalutan semalam, rasanya benar-benar belum luntur. Kulihat ke luar jendela, nampaknya hujan sebentar lagi turun. Udara akhir-akhir ini begitu bersahabat. Aku merasa lapar sekali. Maka bukannya kembali tidur, aku beranjak bangun untuk membeli sebungkus nasi. Kuhitung sudah lebih dari 10 hari aku makan makanan yang sama setiap hari, satu hari bisa dua kali. Aku bukan penggemar berat cabai dan makanan pedas, tapi aku mulai menemukan rasa yang cocok dengan lidahku pada satu sendok penuh cabe ijo di warteg AW. Probably I was just a woman of routine, pikirku. Mas-mas berkacamata yang melayaniku mungkin heran setiap hari aku bisa makan menu yang sama, setiap kali pula sok-sok berfikir seolah aku akan memutuskan memilih menu yang berbeda. Jika aku bisa menamai manusia, aku akan menamainya Robin. Seperti seorang temanku yang berotot yang kuubah namanya menjadi Brandon, atau gadis introvert berkacamata dengan pribadi menyenangkan yang kupanggil Olive. Semua tanpa alasan yang jelas, aku hanya punya kecenderungan sembarangan mengubah nama teman-temanku karena kurasa lebih cocok demikian. Sepuluh ribu rupiah harga menuku pagi ini, angka yang genap dan aku punya uang pas. Kenyataan ini membuatku merasa beruntung dan penuh harapan. Dalam perjalanan pulang, hujan kecil mulai turun. Hujan itu berubah besar tepat ketika aku membuka pintu kamar tidur yang lupa aku kunci.
Mudah tergerak adalah dua kata yang melekat pada alamiahku. Dalam beberapa kesempatan aku rasa sifat ini positif, membawaku pada kedalaman ilmu yang tidak pernah kusukai sebelumnya. Dari 'mudah tergerak' itulah aku mulai menulis dan jatuh cinta pada literatur. Aku juga menemukan diriku pada lukisan, ternyata aku bisa mengsketsa ulang self-portrait dengan cukup baik. Bermain gitar, menyanyi seriosa. Tidak sempurna, sih, tetapi seolah alasan ini cukup, aku mudah tergerak, kok! Disatu sisi, aku jadi menjambangi begitu banyak hal, terkadang rasanya begitu overwhelming dan aku mulai mengutuki diriku yang tidak terlahir multi talenta. Namun, lihatlah ini. Kepada diriku yang kusayang, ingatlah betapa kecintaanmu akan berbuah manis sebentar lagi, seluruh kesulitan dan kerja kerasmu hanya akan jadi bumbu-bumbu utama dalam pengalaman hidup yang membuatmu berada di puncak dunia. Lihat ini, ingatlah betapa beruntungnya kau ada dalam sesuatu yang begitu besar. Kau tidak lagi hanya tergerak, kau yang menggerakkan hati dan jiwa orang lain. Berbahagialah.
Selamat berkompetisi, Paramabiraku sayang. Aku mengulang-ulang dalam hati, Tuhan Yang Maha Baik, terima kasih. Sebuah kutipan dari jurnal yang semalam suntuk kutelanjangi habis-habisan. Melukai lagi-lagi sudut hatiku yang masih luka, tapi keadaannya cocok sekali. Aku punya perasaan aku akan sering menulis tahun ini.
Selasa, 29 September 2015
Menuju Pagi
![]() |
Jakarta, 29 September 2015 // 05:13 |
What I did.
I woke up and saw a beautiful Sun.
She was so close and peach.
She let the wind breathed, because she knew,
she was too hot to bear by Morning.
I took a picture of her,
with my eyes closed.
She was not as pretty as eyes could see.
But still, the Sun and my morning,
I've never realized how pretty she could have been.
No wonder the Moon loved her so much.
I fell asleep before I could see her again,
but it was warm, and it calmed my soul.
I talked to my man today,
just to tell him how my day went.
He listened.
I was here.
and he was there.
We didn't see each other.
But just like the Moon and the Sun,
We exist in silence.
----------------
Tevinstein Amos
----------------
Tevinstein Amos
Senin, 20 Juli 2015
Prologue
She had heard a lot of
people talk—blabber around—about love. How it was the first sight that catches
your heart the most. She thought there was no such thing. How could you explain
scientifically to yourself, how a single sight could manipulate so much it made
your mind couldn’t stop working, your body were sore, aching of missing the
incomplete figure of one’s sight. It sounded wrong, you wouldn’t get that. And
so when she first met him, she couldn’t understand how it finally made sense to her that a single sight could do so much. She couldn’t help but to stare. Like she has been blind for so long, it
was her first time looking at the sun.
When two people met
and their lives collided, like, somehow the universe conspired to align two
lifelines of human being, we called it destiny. It happens every once in a
while, if you’re careful enough to see it. Sometimes it gets so blur, like a
phantom. But when you finally did, you would see that life—well, no matter how
hard it has been, or how much you hated it—was such a great director for
everybody. Doesn’t mean it couldn’t screw up, though. When life put two people
together, tangling their paths, it forgot to see the correlations between them:
whether their grandparents, or their great grandparents had met in one, solid
line. Then you began to think. If descent was the issue, if one day they’d be
so in love, if the next day they fell outta love, how could they be separated completely? It was the worst part, to be
honest.
She dreamed of him a lot, she knew it was prohibited. But she
couldn’t stand it. In her dreams, he was as surreal as he has been. He was out
of her reach, but keep coming to her and said, ‘where are we going?’. It was
some kind of revelation, she realized. They wouldn’t go anywhere, they were too
close by blood. When she woke up, she would usually miss him more than she
should.
Langganan:
Postingan (Atom)