"Selamat natal, Inspirasi."
"Wow, pukul tiga pagi. Seberapa larut tidurmu belakangan ini? Bagaimana hidupmu?"
-----
"Apa kabar dia? Apakah ia baik-baik saja?"
"Kurasa begitu, she's having a delight."
"Apa kabar dia? Apakah ia baik-baik saja?"
"Tidak tahu, ia tidak membalas pesanku. Aku tidak tahu."
"Apa kabar dia? Apakah.. ia baik-baik saja?"
"Sesuatu baru saja terjadi. Ia baru saja berulang tahun. Baru saat itulah aku bicara lagi padanya. Ia bilang keluarganya kerampokan. Uang tabungannya habis."
"Bagaimana dengan mimpi-mimpinya?"
"Entahlah, ia pun mencemaskan hal yang sama."
-----
"Apakah kau baru saja mengirimiku uang?"
"Terima kasih karena sudah kau terima."
"What am I supposed to do with this money?"
"Now that it's yours, it's up to you."
"Aku tidak bisa. Ini terlalu berlebihan."
"Terimalah, sungguh. Hanya itu yang kumiliki untuk membantu. Lagipula dulu aku sering lupa membayar hutang-hutangku, kan? Anggap saja kado ulang tahunmu."
"..."
"Omong-omong, aku minta maaf, ya, atas sikapku yang tak acuh, yang tidak peka pada perasaanmu selama ini. Mungkin kau frustasi. Tapi kau harus tahu, it's always been me."
"..."
"Ya, kurasa begitu saja."
"Terima kasih, Tevinstein."
-----
Semua pesan kami berakhir pada tanda read. Entah aku atau dia. Kami berhenti bicara enam bulan, sebelum aku rasa aku ingin mengucapkannya selamat natal, dimanapun ia berada.
Meskipun segalanya telah berubah, beberapa hal tetaplah sama. Ia masih dirinya, yang berubah-ubah dan tak dapat kuterka. Ia masih menjawabku dengan balasan yang tidak seharusnya, namun lebih membahagiakan karena aku tahu ia memperhatikan detail kecil tentang diriku.
Pesannya masih membuatku lebih senang dibanding pesan teman-teman lain.
Jika kau bertanya-tanya bagaimana aku bisa berpisah darinya dan baik-baik saja menghadapi ini semua, kurasa.. karena ia menjadikanku tetap utuh. Hanya saja masa kami sudah selesai.
"He never said the word, 'I love you,' too. But now I understand."
Jumat, 20 Januari 2017
What Makes Me Happy #13
Tidakkah menyedihkan, kita memasuki postingan-postingan terakhir kita sekarang, Put?
Aku bersumpah atas langit dan bumi, aku menikmati rasa sedih dan nelangsa yang kurasakan ketika melihat ke langit malam. Seperti diriku yang mencari-cari alasan untuk tidak baik-baik saja, kau tahu? Mencari-cari seseorang untuk aku sedihkan, untuk aku pikirkan. Aku hanya heran--jika tak dapat kau katakan sedih--atas begitu banyaknya rasa cinta dan afeksi yang sungguh-sungguh ingin kubagi, tetapi tak ada siapa-siapa disini. Tersebut nama seseorang di benakku, tetapi.. ah, rasanya bukan dia. Karena jika dia orangnya, aku akan tahu.
I started to question my worth, again.
-----
Tentang sedihku dan postingan terakhirmu.
Mungkin saja pada semesta yang berlawanan, kita sedang duduk bersamping-sampingan. Mendiskusikan rasa awan, warna-warna perasaan. Lucu sekali di dunia paralel, ada aku dan kamu yang dekat secara badaniah. Mungkin pula kita bertanya-tanya, menertawakan, bagaimana jadinya jika kita tidak pernah bertemu.
Atas satu-dua kali pertemuan, kita dulu tak banyak bicara, ya? Tapi aku sungguh bersyukur aku mengenal tulisanmu, rasanya seperti bicara dengan diri sendiri.
-----
Sudah lama tidak menulis, I got so much in my mind. Meski aku tidak tahu harus mulai darimana, tetapi menyenangkan rasanya kembali menumpahkan diri dalam tulisan receh ini.
Aku menyukai sentuhan, sungguh. Aku tidak senaif dulu, berfikir bahwa manusia salah jika bergumul dengan nafsu. What can I say? Sentuhan itu menyenangkan, entah apapun maksud dibaliknya. Aku menyukai sentuhan yang bersamamu. Aku merasa jatuh cinta dengan sentuhan kita. Kukatakan padamu, bukan pikiran atau karaktermu yang membuatku suka, tetapi betapa kita cocok dalam sentuhan. Aku juga baru tahu, manusia bisa jatuh cinta pada sisi lain yang satu ini. Baru kutahu, karena baru pertama kali ini kualami. Mungkin beberapa hal tidak selaras dengan nilai yang kita percaya. Mungkin kau merasa kita harus memelihara jarak.. Mengapa kita harus selalu mempersulit segala hal, ketika sesuatu sebenarnya tidak serumit yang kita kira? Why can't we leave things as things are?
Seandainya beberapa hal bisa terus saja sama, selalu begitu. Aku tidak ingin ada yang berubah.
-----
Aku baru sadar, ini bukan postingan yang membahagiakan. Maafkan aku.
Minggu, 11 Desember 2016
Catatan Sedih
Aku mau menulis, tapi apalagi?
Bagaimana lagi kesedihan ini kubagi?
-----
Sembari mendengarkan sebuah rekaman lagu yang bercerita tentang pengantar tidur, aku mengingatmu. Aku mulai menyesali berlalunya tiga tahun tanpa pernah sungguh-sungguh mengenalmu, bersamamu. Aku rasa karena setiap orang dan setiap hubungan punya masanya sendiri, dan kau ada di penghujung. Aku ingat percakapan kita suatu malam, tentang Awal dan Akhir. Kau bilang hiduplah diantaranya. Lalu, bagaimana mungkin jika kau saja hadir pada Akhirnya?
-----
Beberapa waktu ini berat untuk kita. Kita adalah segelintir yang tersisa dari pejuang lain yang dipaksa kehidupan untuk berhenti berjuang di tengah-tengah. Ditempa kehilangan banyak hal dan rasa lelah, kau menyelesaikan masamu. Aku masih punya satu tahun genap untuk kuhadapi. Kau pernah bertanya, bagaimana jadinya kita tanpa semua ini. "Apa maksudmu? Siapa maksudmu?" kataku kala itu.
Sesuatu yang menjadikan kita ada, sesuatu yang membentuk kita, yang membuat kita jatuh cinta sedalam ini.
-----
Aku hanya begitu sedih mengetahui kau harus pelan-pelan mulai berhenti. Cresscendo. Lalu tinggal aku yang tidak terbiasa dengan ketidakhadiranmu. Kau menyebalkan, tapi akan sangat-sangat-sangat kurindukan. Terima kasih atas malamnya! Aku.. tidak menyesali apapun.
-----
Tulisan yang buruk.
Kamis, 17 November 2016
Selipan Kotor
Beberapa hari ini ingin menulis, bukan hanya karena menstruasi dan hormon, lebih tepatnya karena banyak hal berseliweran di kepala. Seorang teman membagikan catatan yang ia buat sendiri untuk teman-temannya belajar materi UTS. Menurutku, itu yang namanya heroik. Ketika kita melakukan yang terbaik dan memberi seluas-luasnya, tanpa pernah berfikir tersusul atau diungguli. Jadi teringat kata orang tua, "Ilmu itu seperti lilin. Ketika kau menyalakan sumbu lilin lain, kau tidak perlu takut cahayamu redup." Padahal di kelas ia bukan gadis yang cemerlang, tapi hatinya baik luar biasa.
Susah sekali rasanya hidup tanpa uang, ya? Jangankan kebutuhan sekunder, kebutuhan primer saja kadang masih kurang. Aku tidak mau jadi hamba uang, tapi bagaimana ya? Ambisiku untuk kompetisi tahun depan sangat besar, menggebu-gebu setiap hari seperti dentum. Aku bisa saja menangis karena menyanyikan lagu tertentu bersama seorang dua orang teman. Ada bucket list yang sebentar lagi akan dicoret. Dikelilingi oleh orang-orang dengan bakat dan suara merdu, dan berita kemarin itu: bulan Oktober tahun depan, kita akan lomba ke Belgia.
Menemani seorang teman mengunjungi dokter, lalu pulang dan makan di warteg sehabis mengeluarkan uang sebesar tiga ratus lima puluh tujuh ribu rupiah. Membantu teman mengajar paduan suara SMA, dan menyanyikan bagian Sopran dalam O Nata Lux yang tinggi. Lalu seorang diantaranya menyapaku lewat pesan di ponsel, "Kak, boleh foto dan profil kakak kami muat dalam buku program konser kami?"
Melihat dan menyaksikan segala kekacauan 4 November 2016, menjadi sangat takut karena keturunan Tionghua. Massa yang berseliweran, bukan hanya pada laman media sosial, tapi di depan muka sendiri. Mereka memakai peci hitam dan baju putih panjang, serta membawa bendera entah apa. Dari jauh terlihat sangat suci. Setelah mencaci maki pak gubernur, mereka teriakkan "Allahu Akbar!"
Bertemu dengan kawan lama dari sang ibu pada suatu jamuan pesta. Menyadari bahwa ibuku tidak suka berbasa-basi dengan orang-orang kaya. Bisa kutebak, sih. Dalam pikiran mereka pasti bukanlah apa yang terucap. Waktu itu lucu, ya. Bukan hanya mendewasakan tetapi juga mengkerdilkan pikiran. Setelah lama tidak berjumpa, meninggalkan luka atas kemunafikan masing-masing, berani-beraninya bertanya, "Apa kabar?" Sungguh, sangat, menggelikan. Pilihan yang tepat, Mom.
Melayani seorang kawan baik meredakan insekuritas diri dan pikiran negatif tentang suatu penyakit kelamin. Menemani seorang sahabat yang sedang mempertanyakan agama dan konsep ketuhanan untuk mendoakan nenek yang ia kasihi. Serta mengambil waktu dari jam-jam terlelah dan kesendirian untuk meladeni celoteh teman yang introvert. Karena ia telah keluar dari zona nyamannya.
Suatu pagi bangun dari tidur dan menghirup aroma masakan, mendengar bunyi kuali dan oseng-oseng, serta mendapatkan buah pir sebagai hidangan penutup. Makan makanan yang sama setiap kali pulang ke rumah, semata karena ayah ibuku tahu aku suka sekali. Dibelikan banyak suplemen kesehatan, dijejali makanan dan susu, karena kesehatan adalah yang utama katanya.
Mengecat rambut, mendapatkan hibah baju-baju yang membuatku merasa cantik, serta mulai ahli dalam membuat alis dalam waktu 2 menit. Melihat adanya tanggal kadaluarsa pada powder perona pipi, dan memadatkan serpihan yang lepas dengan dua jari. Setiap hari berusaha bangun lebih pagi, agar punya waktu merias diri dan berlama-lama melihat cermin, ternyata tidak sejelek yang aku kira.
Menghabiskan waktu seharian di pusat perbelanjaan dengan seorang sahabat: menikmati semangkuk udon panas dan bakpao isi telor asin. Merencanakan hal baru untuk dilakukan dalam waktu dekat, dan berbincang tentang tugas akhir dan kehidupan sashimi girl di Jakarta. Lalu menertawakan pandangan beberapa oknum yang menganggap LGBT adalah virus menular. Sadar dan bersyukur kami tumbuh di lingkungan yang membuat otak lebih cerdik, bukan semakin dungu.
Mengetahui bahwa lingua franca berarti bahasa pergaulan, dan bahwa Bob Sadino telah menginspirasi banyak pihak termasuk orang-orang mancanegara. Biar aku saja yang mengambil peran sebagai pihak yang tidak mengathui siapa dia dan apa karyanya.
Menemukan banyak keindahan di diri setiap orang, aroma berbeda yang tubuh seseorang keluarkan, pandangan dan pola pikir... bagaimana mungkin aku tidak menuliskan ini semua?!
Susah sekali rasanya hidup tanpa uang, ya? Jangankan kebutuhan sekunder, kebutuhan primer saja kadang masih kurang. Aku tidak mau jadi hamba uang, tapi bagaimana ya? Ambisiku untuk kompetisi tahun depan sangat besar, menggebu-gebu setiap hari seperti dentum. Aku bisa saja menangis karena menyanyikan lagu tertentu bersama seorang dua orang teman. Ada bucket list yang sebentar lagi akan dicoret. Dikelilingi oleh orang-orang dengan bakat dan suara merdu, dan berita kemarin itu: bulan Oktober tahun depan, kita akan lomba ke Belgia.
Menemani seorang teman mengunjungi dokter, lalu pulang dan makan di warteg sehabis mengeluarkan uang sebesar tiga ratus lima puluh tujuh ribu rupiah. Membantu teman mengajar paduan suara SMA, dan menyanyikan bagian Sopran dalam O Nata Lux yang tinggi. Lalu seorang diantaranya menyapaku lewat pesan di ponsel, "Kak, boleh foto dan profil kakak kami muat dalam buku program konser kami?"
Melihat dan menyaksikan segala kekacauan 4 November 2016, menjadi sangat takut karena keturunan Tionghua. Massa yang berseliweran, bukan hanya pada laman media sosial, tapi di depan muka sendiri. Mereka memakai peci hitam dan baju putih panjang, serta membawa bendera entah apa. Dari jauh terlihat sangat suci. Setelah mencaci maki pak gubernur, mereka teriakkan "Allahu Akbar!"
Bertemu dengan kawan lama dari sang ibu pada suatu jamuan pesta. Menyadari bahwa ibuku tidak suka berbasa-basi dengan orang-orang kaya. Bisa kutebak, sih. Dalam pikiran mereka pasti bukanlah apa yang terucap. Waktu itu lucu, ya. Bukan hanya mendewasakan tetapi juga mengkerdilkan pikiran. Setelah lama tidak berjumpa, meninggalkan luka atas kemunafikan masing-masing, berani-beraninya bertanya, "Apa kabar?" Sungguh, sangat, menggelikan. Pilihan yang tepat, Mom.
Melayani seorang kawan baik meredakan insekuritas diri dan pikiran negatif tentang suatu penyakit kelamin. Menemani seorang sahabat yang sedang mempertanyakan agama dan konsep ketuhanan untuk mendoakan nenek yang ia kasihi. Serta mengambil waktu dari jam-jam terlelah dan kesendirian untuk meladeni celoteh teman yang introvert. Karena ia telah keluar dari zona nyamannya.
Suatu pagi bangun dari tidur dan menghirup aroma masakan, mendengar bunyi kuali dan oseng-oseng, serta mendapatkan buah pir sebagai hidangan penutup. Makan makanan yang sama setiap kali pulang ke rumah, semata karena ayah ibuku tahu aku suka sekali. Dibelikan banyak suplemen kesehatan, dijejali makanan dan susu, karena kesehatan adalah yang utama katanya.
Mengecat rambut, mendapatkan hibah baju-baju yang membuatku merasa cantik, serta mulai ahli dalam membuat alis dalam waktu 2 menit. Melihat adanya tanggal kadaluarsa pada powder perona pipi, dan memadatkan serpihan yang lepas dengan dua jari. Setiap hari berusaha bangun lebih pagi, agar punya waktu merias diri dan berlama-lama melihat cermin, ternyata tidak sejelek yang aku kira.
Menghabiskan waktu seharian di pusat perbelanjaan dengan seorang sahabat: menikmati semangkuk udon panas dan bakpao isi telor asin. Merencanakan hal baru untuk dilakukan dalam waktu dekat, dan berbincang tentang tugas akhir dan kehidupan sashimi girl di Jakarta. Lalu menertawakan pandangan beberapa oknum yang menganggap LGBT adalah virus menular. Sadar dan bersyukur kami tumbuh di lingkungan yang membuat otak lebih cerdik, bukan semakin dungu.
Mengetahui bahwa lingua franca berarti bahasa pergaulan, dan bahwa Bob Sadino telah menginspirasi banyak pihak termasuk orang-orang mancanegara. Biar aku saja yang mengambil peran sebagai pihak yang tidak mengathui siapa dia dan apa karyanya.
Menemukan banyak keindahan di diri setiap orang, aroma berbeda yang tubuh seseorang keluarkan, pandangan dan pola pikir... bagaimana mungkin aku tidak menuliskan ini semua?!
Selasa, 25 Oktober 2016
What Makes Me Happy #12
The art of holding hands.
I always fond of the idea of unity when people hold their hands together.
They would breath the same anxiety of their uncomfortable partner, while
excitement would play around, makes them groggy and nervous.
Yesterday, I held his hand. This guy, whom I tried so hard to love, but can't.
We were sitting next to each other. It was raining outside as we sat on a bus on our way home.
Strange. I don't feel homesick at all. It feels like the touch of our hands onto each other,
makes right everything that is not. He took my left hand, held it tight, filling the spaces..
We were listening to the same song beat. We sang along as our fingers entwined.
He uplifted it in the air when he tried to dance, and took it back close to his heart.
We talked in low voices, as he teased me and came back holding my hands tighter.
We were so close, his scent stained on my shirt, inside my palm, on my mind.
This is nice, right? Holding hands, unrequited love. I don't know which side.
I looked out the window and traced the raindrops. My vision blurred,
I saw only the reflection of us. I rubbed my thumb unto his,
softly reminded myself: When the road ends, we will too.
I always fond of the idea of unity when people hold their hands together.
They would breath the same anxiety of their uncomfortable partner, while
excitement would play around, makes them groggy and nervous.
Yesterday, I held his hand. This guy, whom I tried so hard to love, but can't.
We were sitting next to each other. It was raining outside as we sat on a bus on our way home.
Strange. I don't feel homesick at all. It feels like the touch of our hands onto each other,
makes right everything that is not. He took my left hand, held it tight, filling the spaces..
We were listening to the same song beat. We sang along as our fingers entwined.
He uplifted it in the air when he tried to dance, and took it back close to his heart.
We talked in low voices, as he teased me and came back holding my hands tighter.
We were so close, his scent stained on my shirt, inside my palm, on my mind.
This is nice, right? Holding hands, unrequited love. I don't know which side.
I looked out the window and traced the raindrops. My vision blurred,
I saw only the reflection of us. I rubbed my thumb unto his,
softly reminded myself: When the road ends, we will too.
Jumat, 14 Oktober 2016
What Makes You Happy #11
Hatiku sedang berbahagia. Beberapa hari terakhir, aku begitu meresahkan tugas sponsorship. Intinya begitu, lah. Aku tidak suka dibebani secara finansial untuk sesuatu yang belum pasti. Mengingat ini akan mempengaruhi nilai akhir salah satu mata kuliahku semester ini, aku rasanya hendak menangis. Hari ini tiba-tiba seseorang menelpon. "Saya Nicholas, dari EF," katanya. Aku tidak biasanya mengangkat telfon dari orang yang tidak kuketahui. Aku juga jarang hanya duduk diam memperhatikan awan di siang bolong libur harianku. Tapi hari ini lain. Ah, iya. Lalu ia bilang tertarik untuk menjadi sponsor. Kami janjian bertemu di kampus (aku tidak perlu berkunjung ke perusahaan dan merogoh kocek uang saku!), sekaligus menandatangani MoU (langsung!). Aku tidak biasanya membahas hal sereceh ini, karena tidak bisa jadi cantik entah sepandai apa aku menulis. Tapi aku sungguh bahagia. Aku jadi teringat malam-malam resah ketika aku bicara sendiri: ya Tuhan, luputkanlah semester tujuh daripadaku. Seperti seseorang pernah berkata, "Jika kau menghargai ilmu, ilmu akan kembali menghargaimu.", begitu juga adanya dengan segala sesuatu.
Kepada Putri, aku juga takut hantu. Sering sekali kala malam aku membayangkan hantu wanita tersenyum sambil melotot, anak kecil dengan pupil mata hitam yang berdiri menoel-noel ujung jari kaki, atau.. kebanyakan wujud anak-anak yang berdarah atau tubuh abnormal lain. Aku selalu takut dengan hantu anak-anak. Mungkin karena mereka tidak tahu konsep kehidupan, tidak tahu kemana harus pergi setelah dijemput kematian, karena mereka tidak tahu mereka terbentuk dari rasa percaya, yang tiba-tiba menjadikan mereka ada dari partikel energi di udara. Ah, aku bisa membicarakan teoriku begitu panjang. Intinya malam itu aku terkejut-kejut mendengar ketukan di pintu, yang ternyata hanyalah teman satu kost yang memberikan obat tetes mata. Baik sekali, bukan? Wujud hantu-hantu itu hanya ada di kepala, atau tentu saja di pojok kamar mandi jorok yang membuatmu klaustrofobik. Jika di malam lain kau juga tidak bisa tidur untuk alasan yang sama, selalu ingat pukul tiga lebih satu, mereka sudah berhenti berlalu-lalang. Lalu kita bisa tidur setelah itu.
Aku juga menghabiskan beberapa malam mengunjungi kafe sepi bersama lingkaran kecilku. Itu lagi, itu lagi. Memesan menu yang sama, topik yang berbeda. Aku selalu suka musim hujan, seiring aroma tanah basah yang masuk dari celah jendela kamar yang tidak pernah aku tutup. Dan rasanya waktu-waktu ini adalah yang paling tepat untuk pergi dari sibuk dan rasa sepi. Entah karena suatu pekerjaan berat telah terselesaikan, atau konsep penghargaan bentuk tubuh yang semakin hari semakin kupahami, rasanya ringan sekali mengetik sore ini.
Akhirnya aku berhasil menjadikan Spotifyku premium selama-lamanya! Dan benar-benar membuat playlist personal yang sudah sejak lama aku pikirkan. Road Trip at Night. Untuk kalangan sendiri. Terima kasih, Oktober. Hujanmu sungguh-sungguh menjadikanku lebih hidup.
Senin, 12 September 2016
What Makes You Happy #10
Kurang dari seminggu lagi liburan selesai. Rasanya berat sekali harus berpura-pura menyukai semua orang, mencari teman baru di lingkungan belajar ras-ras yang kompetitif, serta berusaha mengambil hati dosen yang seringkali kupikir kinerjanya tidak sesuai dengan gelar yang mereka sandang. Tidak terasa aku memasuki tahun terakhirku! Wow. Sebentar lagi aku resmi jadi pengangguran. Aku tidak pernah menyukai perintah dari orang yang tidak kompeten (dimana kita tahu sekarang sedikit sekali mereka yang cerdas dan bijaksana, dunia dimenangkan oleh orang kaya dan anak-anak mereka), juga tidak puas mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan suasana hati dan kesukaanku. Ini juga yang beberapa lama aku pikirkan dengan matang: sulit sekali jika aku harus hidup mengikuti norma (sekolah, kuliah, lulus, kerja, menikah) hanya untuk menyenangkan hati masyarakat, dan betapa lelahnya segala kepura-puraan ini. Harus sampai kapan? Ah, aku harus segera merencanakan liburan.
Aku setuju dengan kemampuan menulis yang terkikis setelah lebih dari 3 minggu. Bahkan buatku, jangankan tiga. Satu minggu tanpa aksara sudah merupakan tindak pembodohan diri, kau tahu? Biasa aku mensiasatinya dengan bicara sendiri. Orang tuaku pikir aku gila--terutama ketika aku kedapatan, dan malu sekali rasanya! Tapi sering kali, kurasa aku butuh berceloteh dengan diriku ketika itu menyangkut hal-hal yang luar biasa membebani, seperti salah satu postingan dari akun pembela satwa liar di Instagram yang baru-baru ini kuikuti, pernikahan dini yang kuhadiri, atau pola hidup vegan temanku yang mengejutkan. Aku berterimakasih atas self independence ku yang melonjak begitu tinggi, sungguh. Aku merasa lebih kuat menjadi diri sendiri.
Entah sejak kapan, aku semakin jauh dengan si "sumber inspirasi". Kami tidak saling benci, juga tidak bermasalah. Aku hanya.. pada akhirnya mendapati diriku tidak lagi bebas ketika bersamanya, juga terkungkung dengan ketakutan membuatnya bosan. Alhasil kami tidak lagi bicara. Kami saling menyapa dan berteguran, kami juga menanggapi satu sama lain jika salah satu mengajukan pertanyaan, atau pernyataan.. Hanya saja kami tidak lagi punya keinginan untuk memulai dan peduli. Mungkin ini yang mereka katakan, 'setiap hubungan punya tanggal kadaluarsa,' dan aku rasa.. aku tidak apa-apa jika ia tak ada. Ia bukan lagi satu-satunya sumber inspirasi yang aku punya.
Aku bertanya-tanya, kemana bagian diriku yang cengeng dan manja itu? Hal ini seharusnya meresahkanku, tetapi tidak. Aku juga seharusnya hancur setengah mati. Tetapi tidak. Aku berasumsi bahwa kini aku sudah lebih dewasa dalam menyikapi kesendirian.
Oh iya, kau ingat postingan terakhirku? Aku dan temanku kini menjadikan pertengkaran kami lelucon bodoh yang hanya kami yang paham. Kau tahu maksutku, bukan? Syukurlah.
Langganan:
Postingan (Atom)