Kamis, 02 November 2017
Buta Warna
Semalam, aku menghabiskan waktu menonton di bioskop bersama Jonathan. Dalam perjalanan ke gedung pertunjukkan, kami melintas di bawah simpang susun Semanggi. Jakarta menyala-nyala malam ini. Joe berdecak kagum, mengajakku melayangkan pandang ke lampu jalan serupa bintang, berkedap-kedip terbentang sejauh jembatan layang itu. "Sebentar lagi Natal," katanya bergumam. Aku mengangkat tanganku tinggi di udara, melepaskan peganganku dari pangkal kain bajunya dari atas bangku motor yang kami kendarai, menghirup udara malam. Kebebasanku. "Sebentar lagi Natal," aku mengulang perkatannya. Membenarkan. Menyadarkan. Merah muda yang cantik sekali, pikirku dalam diam. Seperti sisi feminis malam di Jakarta, yang selama ini terlalu macho bertahan: Jakarta tak pernah tidur.
Perjalanan semalam mengingatkanku akan konsep warna. Kau tahu, tidak. Akbar buta warna. Pengetahuan itu membuatku ingin tertawa lebar-lebar. Lucu sekali bermain tanya jawab akan persepsi yang ia lihat. Hijauku dan hijaunya, pasti berbeda. Ia tidak mampu membedakan ungu dan biru. Baginya, warna ungu pada terong hanyalah sebuah pengetahuan umum.
Aku ada, aku nyata. Aku adalah entitas yang solid dan setiap hari bersiborok dengan kehadiran pikiran. Aku jadi berfikir sendiri. Seringkali, begitukah cara kita memahami kehidupan dan segala sesuatu? Begitu pula hubungan manusia dengan individu? Apa yang kupahami abu-abu, pun abu-abu dipersepsi orang lain, meski pada kenyataannya kita melihat dunia secara berbeda. Tidakkah mengesankan ketika perbedaan dapat menyepakati suatu konsep yang sama tentang keindahan, tentang bagaimana manusia melihat bumi dan alam raya, serta tersenyum oleh karenanya.
My muse is in everybody's DNA. I love deep thoughts and good talks. I think that is what makes human the most interesting for me, the ability to think and question things, as well as to feel and connecting emotions. As if we're all creature with the same antenna, we connect to each other like none ever could.
Kamis, 26 Oktober 2017
Untuk PARAMABIRA dan Hati Kita
Kepada setiap orang dalam perjuangan di balik
kemenangan Maasmechelen yang beralih fungsi menjadi rumah tempat rasa hatiku
berpulang.
P.S: Gak akan lupa pagi hari 6 Oktober, betapa sedihnya
kita diingatkan seberapa sayangnya kita pada sosok Rainier Revireino, seberapa
besar ingin kita yg sama untuk bawa pulang kemenangan untuk Indonesia, serta
serentetan kata-kata ini,
"Gue gak tau kapan akan nyanyi lagi sama kalian.
Mungkin ini terakhir kali.." (Hegra Soetrisno)
"Kita semua sayang Pepi kan? Sebentar lagi Pepi
ultah. Dia udah memberikan lebih dr porsi seorang pelatih. Ayo kita kasih yg
terbaik juga buat Pepi." (Eduard Pratama)
"Gue adalah orang pertama di keluarga gue yg
pernah ke Eropa.." (Jonathan Edward)
"... meski bosen gimanapun, setidaknya kita ada.
Duduk di belakang laki-lakinya, kita support mereka, kita support satu sama
lain." (Yohana Theresia Stefani)
Astaga. Terima kasih atas tahun terbaik dalam hidupku,
PARAMABIRA.
Kepada setiap orang dalam perjuangan di balik
kemenangan Maasmechelen yang beralih fungsi menjadi rumah tempat rasa hatiku
berpulang.
P.S: Gak akan lupa pagi hari 6 Oktober, betapa sedihnya
kita diingatkan seberapa sayangnya kita pada sosok Rainier Revireino, seberapa
besar ingin kita yg sama untuk bawa pulang kemenangan untuk Indonesia, serta
serentetan kata-kata ini,
"Gue gak tau kapan akan nyanyi lagi sama kalian.
Mungkin ini terakhir kali.." (Hegra Soetrisno)
"Kita semua sayang Pepi kan? Sebentar lagi Pepi
ultah. Dia udah memberikan lebih dr porsi seorang pelatih. Ayo kita kasih yg
terbaik juga buat Pepi." (Eduard Pratama)
"Gue adalah orang pertama di keluarga gue yg
pernah ke Eropa.." (Jonathan Edward)
"... meski bosen gimanapun, setidaknya kita ada.
Duduk di belakang laki-lakinya, kita support mereka, kita support satu sama
lain." (Yohana Theresia Stefani)
Astaga. Terima kasih atas tahun terbaik dalam hidupku,
PARAMABIRA.
Kamis, 19 Oktober 2017
Maascmechelen, 2017
My Paramabira,
congratulations on our achievements:
2nd place of Mixed Choir Category,
2nd place of Equal Voice Category,
Best Performance of the Compulsory Work of Mixed Choir, and
The Prize of the Audience.
---
Ketika tujuan dan keinginan kita yang sama menjadi doa yang terwujud,
tetaplah merunduk seperti padi yang menguning,
tapakkan kakimu pada tanah, kariblah dengan ibu bumi.
Ketika kau telah menerima kebaikan semesta sebaik ini, tengadahlah,
di bawah Tuhan yang menjelma malam,
dalam takzim dan sembah semahdi,
mengucap syukurlah,
mengucap syukurlah sepenuh hati.
---
I am so proud of us.
![]() |
Singing Marendeng Marampa (Arr. Hegra Soestrisno) |
![]() |
Piso Surit (Arr. Amilio Fahlevi) is one of the best Indonesian folksong I've sung. |
![]() |
Details, hand gestures, crumples, and gold finishes. |
![]() |
My precious, I present you, the male choir. |
![]() |
When feminism is not an issue. |
![]() |
Close up look to the basses section. |
![]() |
Singing Ahtoi Porosh, one of the best piece they brought that I loved. |
![]() |
Singing Yamko Rambe Yamko (Arr. Agustinus Bambang Jusana). |
![]() |
Tenors and their expressions. |
![]() |
The eminent Gayatri Mantram, on pitch. |
![]() |
The complete mixed choir, and I was smiling 'cause I was living a life. |
![]() |
Having this idea crystal clear in my head before even taking it. |
Now that it ends,
I found out somehow that
there's nothing more frightening than
having your dreams come true.
Senin, 16 Oktober 2017
Dalam Perjalanan ke Tempat Latihan
Here are some pictures that Audy took, just to remind me of how amazing nature is when it comes to autumn. We got to walk a lot, minutes spent admiring beautiful greeneries and blue skies. While having melodies wryly ringing on our hearts, with heart as light as the first December snow.
MiMA -- and Sir Joan Cornella hanging there. |
A morning walk to the studio. |
Was waiting for the light to turn green. |
Walked pass this structured red bridge. |
I was so happy, living life. |
The garden nearby we crossed. |
Pigeons eating whole bread. |
One of Brussels' best museum I've seen. |
The color changes as the autumn came. |
The other side of the museum. |
In front of the studio we rehearsed. |
While waiting to get inside. |
The road full of cars, sometimes people pass by, and uniform blocks of building. |
I'll miss this. I will, I definitely will.
Senin, 18 September 2017
Malam Tujuh Belas September
Sebuah perayaan keberagaman,
dan hadirat syukur pada Sang Maha Pencipta,
Tuhan yang Maha Baik,
Allah semesta alam.
Buatku, konser ini bercerita tentang kebaikan.
Dan tidak ada kebaikan serta kebajikan
yang pergi tanpa meninggalkan
rasa syukur.
![]() |
Gayatri Mantram, semoga semua mahkluk berbahagia. |
![]() |
Marendeng Marampa, pesta Toraja. |
![]() |
Untuk Indonesia. Dengan ini kami pamit. |
![]() |
Kepada Tuhan kami yang satu. |
![]() |
Bersama Clairene (Alto 1) |
Meski telah berjalan baik, masih banyak yang harus dibenahi.
Aku ingat seorang teman berkata padaku,
"Aku juga takut. Tapi kita sama-sama, kan. Gak sendirian."
Di luar batas kemampuanku,
"Aku juga takut. Tapi kita sama-sama, kan. Gak sendirian."
Di luar batas kemampuanku,
aku harus tetap optimis.
Label:
catatan harian,
foto dan gambar,
kisah,
personal,
syukur
Senin, 11 September 2017
September
Pada awal September, tanah belum basah.
September datang membawa cerita dan kisah melankolis,
juga air mata, hujan yang mengalir dari mataku.
September menjanjikan akhir yang pahit-manis.
Ada sesuatu yang mengharu-biru, ada sesuatu yang seperti duka
menggantung di udara, menekan, menghimpit.
Kemarin malam hujan turun. Aku sedang bersama cinta dalam hidupku.
Ada senandung di udara, tertimpa derap-derap langkah hujan.
Hatiku penuh dengan lelaguan yang menyenangkan.
Kulitku bertemu kulit mereka, tatapan kami bertemu.
Mereka tak berhenti menari. Aku tak menghentikan nyanyianku
yang semakin ditelan gelegak petir dan adzan maghrib.
Semoga ada akhir yang baik dari setiap perjalanan ini.
Malam itu aku tersenyum. Aku tak berhenti tersenyum.
Langganan:
Postingan (Atom)