Aneh. Hei, kau tahu? Tak akan kau kukurung
dalam sangkar perasaanku. Biar bagaimanapun juga, adalah suatu sukacita untuk aku bisa mendengar kicauanmu
pada semesta. Sudah semestinya begitu, bukan, cinta itu? Membebaskan, tidak mengekang. Rasanya dunia ini jadi lebih baik meski tanpa perlu kau lakukan apapun. Hanya bicara, dan tertawa. Tetapi ada gelitik
samar, yang tak mengenakkan, dalam tatapan nanarku pada pelukanmu. Aku tak tahu apa, tapi posesif, katanya. Bagaimanakah mungkin ada
ratap ketika hati bertemu
hati, empunya orang yang
tepat, disaat yang tidak
tepat? Kau bukan siapa-siapa. Aneh.
Aku tahu, ada kalanya mataharimu
redup dan gerhanamu penuh. Aku ingat kau bicara begini padaku, 'memangnya aku tidak
bisa bersedih?' katamu kala itu. Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, bintangmu akan datang,
sayang, dan awan hitammu pergi jauh. Ia tidak akan datang
lagi lain hari. Seperti lagu pengusir hujan yang seringkali kita nyanyikan, mungkin begitu juga adanya dengan kesedihan. Percayalah ketika kukatakan, 'bersedihlah, bersedihlah sesedih-sedihnya, aku akan tetap mencintaimu,' Aku sungguh-sungguh untuk itu.
Ketika engkau menangis, pertahananku juga hancur. Sungguh, tidak ada lara yang lebih
menyesakkan, daripada melihat segala kamu
dan segala kesahmu yang enggan engkau bagikan. Bagaimana, ya, mengatakannya? Bukan kau figur yang bersedih, aku lah yang harusnya begitu. Tapi kali ini semestamu terbalik, gravitasi kita terbalik, cara kerja dan sistem kita terbalik. Terbalik denganku. Cepatlah songsong
fajarmu di ujung timur. Semua bintang
merindukan pendar cahayamu. Begitu juga aku. Terutama aku.
(Tapi aku bukan bintang itu).
(Tapi aku bukan bintang itu).
Atau kecuali aku, yang menyayangimu
dengan cara yang aneh. Dalam doa dan racau. Dan rindu, dan sesak,
dan bayangmu sepenuh ruangku.
Dari senyum yang
terlalu perih dan terlalu dusta untuk
ditebar. Seperti badut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar