Dari sepuluh, sampai satu.
Semoga proyek jalan ini bisa terus, seperti juga saya;
berjalan.
Kalau diberi waktu dua jam untuk dihabiskan, aku akan selalu memilih jalan sore. Senang rasanya, membawa kaki-kaki dan hati yang gemetar pergi jauh dari riuh rendah seisi kepala. Tak ada yang marah semisal aku berjalan lambat, atau berhenti, atau putar balik, atau hilang arah. Tak ada yang perlu dipusingkan selain bagaimana langit bisa begitu biru di bulan hujan yang abu-abu. Langkah-langkah jadi tak berarti dan tanpa tujuan. Tapi justru di sanalah intinya; akhir segala pencarian.
Dan selama sesaat, gang-gang yang kususuri disulap jadi arena bermain di mana aku bebas jadi apa saja.
Kematian selalu membawa tanda-tanda.
Di beberapa kesempatan, tanda itu jelas sekali. Seperti racauan atau omongan yang tidak biasa. Mereka yang hendak meninggal, diberi kelebihan untuk berucap melampaui waktu. Jangan dibakar nanti, aku takut panas api. Maka keluarga yang ditinggalkan punya waktu mencari liang lahat terbaik. Kalau bisa yang di bawah pohon-pohon rindang, sebab dunia orang mati itu hampa udara. Sehingga sebuah tempat peristirahatan diharapkan bisa membawa angin segar. Ada juga mereka yang lebih pemberani, bakar saja aku, katanya, lalu tebar abuku di laut. Dari situ, keluarga menanti dengan waswas, sebab takada yang bisa dipersiapkan.
Pada kematian lainnya, tanda-tanda tak selalu jelas terbaca. Seperti sayup-sayup angin, hanya berupa perubahan sikap dan gerak-gerik yang tak kasat mata. Kecupan yang lebih lama. Bicara yang lebih halus. Sorot mata yang lebih dalam, seolah menembus melewati batas-batas dunia. Sebab kematian adalah laut yang tenang. Dan mereka yang hendak meninggal, sedang berjaga-jaga agar tak membangunkan apa-apa yang sedang tidur lelap.
Tanda-tanda jangan kautepis. Oleh sebab ketibaannya; kematian itu, sungguh takbisa menunggu siapapun.
*
Ditulis untuk sahabatku, Ridacia Sananta. Semoga kuatnya hatimu seluas langit dan sedalam laut, tahu bahwa ke sanalah perginya; tinggi dan jauh dan lepas, jiwa-jiwa manusia.
Selain mengenali kebiasaan, jalan sore membawaku dalam misi pencarian rumah terbaik. Tapi tak butuh waktu lama menentukannya. Pilihan itu jatuh pada sebuah rumah bergaya Bali dengan empat pahat batu besar berbentuk dewa-dewa yang tak kukenali namanya, menjaga empat sudut pagar batu. Setiap kali, aku menyempatkan diri berlama-lama berdiri mengamati. Temboknya tinggi, terbuat dari semen yang demi estetika, sengaja dibiarkan tidak rata. Gerbangnya mistis, dan nyaris setengahnya tertutup daun-daun pohon kamboja. Dinding rumah itu bata merah, dengan ulir-ulir di tiap pilar penyangga. Kukira rumah itu, meski malam turun sekalipun, justru akan menyala-nyala dalam gelap.
Di salah satu beranda yang menghadap jalan, ada lonceng angin yang bergemerincing sesekali, kalau sore sedang dingin seperti hari ini. Sehabis hujan tadi, di atas daun-daun pohon kamboja banyak titik air yang jatuh menetesi ronce-ronce melati dan bunga telang. Tanaman itu tumbuh rambat mengelilingi pagar rumah, seolah jadi satu dengan sekelilingnya. Semakin diperhatikan lama, rumah itu, dalam hati ada rasa seperti diajak masuk ke dunia yang antik. Berdecak-decak aku kagum. Orang-orang kaya ini hebat, ya. Mereka membangun rumah, yang di dalamnya berdiri hutan, sekaligus sebuah kota!